BUKU
Judul :
Batu
Kesabaran – Singge Sabur
Penulis : Atiq Rahimi
Penerbit : Jalasutra
Jl. Mangunnegaran Kidul
No.25
Yogyakarta 55131
Bersama : Institut Français
d’Indonésie
Forum Jakarta Paris
Hak
Cipta terjemahan
Bahasa
Indonesia : Penerbit Jalasutra
Edisi :
Cetakan I Maret 2012
Jumlah
halaman : 166
Ukuran
buku : 12
cm x 19
cm
Batu
Kesabaran – Singge Sabur
adalah novel karya pria sastrawan asal Afghanistan Atiq Rahimi (lahir
di Kabul 26 Februari 1962) yang aslinya ditulis dalam bahasa Prancis
dengan judul Syngué
sabour – Pierre de patience.
Penulis ini pindah ke Prancis tahun 1984 dan mendapatkan suaka
politik serta mendapatkan kewarganegaraan ganda setelah mengungsi
selama beberapa tahun di Pakistan. Atiq Rahimi kembali ke Afghanistan
pasca tumbangnya kekuasaan Taliban. Penulis ini semula produktif
menulis dalam bahasa Persia. Di Prancis ia dikenal sebagai penulis
dan pembuat film dokumenter.
Batu
Kesabaran (singe sabur) menurut legenda Persia berupa batu hitam
tempat manusia mengeluh atau curhat. Bila batu itu pecah maka
persoalan manusia berakhir.
Sepulangnya
ke Afghanistan Atiq membuat
film berjudul Earth
and Ashes
adaptasi dari novel pertamanya yang memenangkan Official Selection
pada Festival Film Cannes tahun 2004 dan menyabet penghargaan Prix
du Regard vers L’Avenir.
Novelnya kali ini memenangkan penghargaan Prix
Goncourt 2008.
Atiq
banyak mengritik perlakuan kaum pria terhadap perempuan di negeri
asalnya,terutama selama berkuasanya Taliban, bahkan meledeknya. Oleh
karena itulah ia lebih suka menulis ceritanya dalam bahasa Prancis
karena dengan demikian ia bisa berbicara lebih leluasa. Oleh sebab
itu gaya penulisannya pun “sangat Prancis”. Buku ini diinspirasi
oleh satu kisah nyata yang dialami Nadia Anjuman yang sering disiksa
suaminya. Perempuan penyair sahabatnya itu tewas disiksa suaminya
yang kemudian ditahan. Suami Nadia mencoba bunuh diri dan kemudian
dirawat di RS penjara. Atiq masih sempat mengunjungi suami sahabatnya
itu.
Beberapa
tahun kemudian dia bercerita, “…….bila aku seorang perempuan,
ingin aku meludahinya dengan kebenaran selama ia terbaring di sana.”
Atiq
Rahimi mengawali novelnya dengan kalimat : Di suatu tempat di
Afghanistan atau di tempat lainnya. Ia ingin mengatakan bahwa
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tak hanya terjadi di negeri yang
sampai kini terus bergolak tersebut, tapi juga di tempat-tempat
lainnya di dunia.
Dalam
pengantar novel ini disebutkan, perempuan Indonesia masih mengalami
KDRT. Mengutip Komnas Perempuan selama tahun 2010 lalu 96% kasus
kekerasan terhadap perempuan merupakan KDRT.
Novel
ini menjadi semacam pelampiasan Atiq Rahimi terhadap apa yang dialami
kaum perempuan di negara-negara berkembang. Novel berbentuk monolog
perempuan yang dimarginalkan, hanya sebagai benda dan belum menjadi
manusia mitra sejajar. Ditulis dengan ringan, lancar tapi sangat
ekspresif, novel ini menjadi aktual di tengah kasus kekerasan di
Indonesia. Seperti kita simak di layar kaca serta berita media cetak,
terasa kian banyak perempuan (dan juga anak-anak mereka) yang tewas
di tangan suaminya yang rata-rata mengalami tekanan akibat beban
ekonomi, di tengah usaha meyakinkan rakyat bahwa harga-harga sembako
sudah turun.
Setting
novel adalah Afghanistan yang dicekam perang saudara antar-faksi.
Lokasinya hanya di dalam rumah pejuang yang hebat di pertempuran tapi
tertembak dalam perkelahian konyol. Akibat peluru bersarang di
tengkuk pejuang tanpa nama itu sekarat, dipelihara istrinya yang
setia yang terus mengurusi si suami dan dua anak perempuannya.
Lama
tak menunjukkan kemajuan, baik hidup sembuh atau mati sekali pun, si
perempuan yang juga tanpa nama ini menumpahkan segala
keterkungkungannya dan menggugat ketidakadilan padanya.
Novel
yang lebih tepat disebut sebagai cerita pendek panjang atau mungkin
juga novelette ini tak membosankan, dan sulit melepasnya sebelum
tamat. Cerita diakhiri secara mengejutkan.
Komentar
Posting Komentar