-
BAGIAN-4 – Memoar drg. Sonya Henny Johny Lumintang, MARS
-
Hari ketiga 13 Mei 1998: Ibukota berkobar
Upacara
pemakaman jenasah para mahasiswa Trisakti itu dilakukan esok harinya pada
tanggal 13 Mei pagi di TPU Tanah Kusir. Suasana pemakaman yang seharusnya khusuk dilaporkan oleh mass media lantas
berubah menjadi heroik ketika apra mahasiswa meneriakkan yel-yel
antipemerintah. Diberitakan kemudian terjadi demonstrasi yang lebih besar di
beberapa tempat di ibukota dan kabarnya juga di kota-kota lainnya.
Sebagian
kejadian-kejadian itu aku monitor dari epsawat televisi di rumah kami di
apartemen Permata Hijau, Senayan. Apartemen ini bukan milik keluarga kami tapi
kepunyaan seorang teman baik JL di Irian Jaya. Kami akrab dengan kelaurga
mereka saat JLsebagai Pangdam bertugas di provinsi Indonesia paling timur itu
hingga menjabat sebagai Pangdam di sana. Dari pada apartemen itu kosong tidak
ada yang menempati kami disarankan untuk pindah ke sana, karena menurut sahabat
ini agak kurang pas atau kurang sreg jika pejabat militer berbintang dua masih
saja menempati rumahnya yang sederhana di Bekasi.
Unit yang kami
tinggali berada di lantai satu sehingga memudahkan akses kami untuk masuk
maupun keluar serta gampang melihat keadaan di sekitarnya. Kemudahan inilah
yang pada suatu hari nanti amat menolong aku saat menghadapi kejadian-kejadian
penting karena mendapat “teror” lewat telepon.
Sementara itu
keadaan Mami semakin parah saja. Kondisi badan beliau semakin melemah saja,
apalagi setelah mendengar berita tentang tertembaknya empat orang mahasiswa
Trisakti hingga tewas. Mungkin sekali Mami merasa tegang dan khawatir
memikirkan keadaan dua orang cucunya yang juga aktivis mahasiswa itu. Bagaimana
kalau yang menjadi korban itu mereka berdua? Kasihan sekali Mami. Aku
menghiburnya sebisa-bisanya agar dapat mengurangi penderitaan karena penyakit
gula (diabetes)nya.
Siaran
televisi menunjukkan para mahasiswa yang marah mengadakan unjukrasa lagi di
depan kampus Trisakti. Gugurnya rekan-rekan mereka dikabarkan memicu kemarahan
luar biasa dan kesalahan ditimpakan kepada aparat keamanan atau pemerintah.
Yel-yel diserukan kembali dan menuntut agar Presiden Suharto dengan seluruh
jajaran pemerintahnya turun. Kembali, mereka membakar ban-ban bekas di jalan di
depan kampus mereka. Menurut berita yang dilansir sejumlah media massa,
mahasiswa yang berkumpul siang itu berasal dari berbagai universitas di
Jakarta, ditambah warga masyarakat yang bergabung.
Nampak di
layar kaca bahwa warga yang berasal dari kampung-kampung di sekitar kampus itu
ikut meramaikan suasana yang panas itu. Sebagian massa yang datang dari
berbagai arah berahasil dihalau dengan baik oleh satuan-satuan aparat keamanan.
Namun tanpa
diduga-duga, massa di depan kampus itu telah membakar sebuah truk tangki bahan
bakar minyak dan mendorong dan menggelindingkannya begiu saja. Kendaraan itu
segera diselimuti api yang berkoba-kobar. Aksi pembakaran juga dikabarkan
merembet ke sebuah stasiun pompa bensin dan terus berkembang menjadi amuk massa
yang ganas. Asap mengepul-ngepul dari daerah Grogol itu dan suasana begitu
mencekam.
Aku tertegun
di depan pesawat televisi melihat perkembangan terakhir situasi sosial-politik.
Aku langsung berdoa kepada Tuhan agar kejadian yang mengerikan itu tidak berlarut-larut.
Sepanjang hari
itu, JL sering menelepon ke rumah minta kepadaku agar tidak keluar rumah karena
Jakarta sudah terbakar. Terjadi pembakaran pusat-pusat perbelanjaan serta
penjarahan terjadi di mana-mana. Dalam keadaan yang menegangkan seperti itu
kondisi Mami masih juga belum menunjukkan kemajuan yang berarti.
Teks foto: Berpose berdua di depan Gedung Capitol Hill, ketika JL menjalani pendidikan di AS
Teks foto: Berpose berdua di depan Gedung Capitol Hill, ketika JL menjalani pendidikan di AS
(BERSAMBUNG – Bagian 5 mendatang: Mengantar Mami ke RSPAD di tengah
lautan api)
Komentar
Posting Komentar