Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2013

Teater Koma, IBU Bertolt Brecht

                Perang bagi seorang oportunis seperti Nyonya Anna Pirling, si Ibu Brani, adalah sumber keuntungan, sedangkan damai merupakan cita-cita yang tidak dia inginkan. Simbol dari ‘kerakusannya’ adalah sebuah kereta (caravan) yang berisi barang dagangan, serta tiga orang anak, dua laki dan seorang anak perempuan bisu.                 Ibu Brani terjebak dalam perang antara pasukan Matahari Hitam dan Matahari Putih. Dan di posisinya itulah Ia memainkan peran sebagai ‘pengendali’ situasi. Kereta itu sudah bertahun-tahun ditarik oleh dua putranya berkelana menjual apa saja kebutuhan di masa perang. Dua orang anak lelakinya terbujuk ikut terjun dalam pertempuran dan seorang di antaranya, yaitu Fejos mati, sedangkan Elip tak jelas rimbanya. Si bisu, Katrin menjadi beban ibunya. Psikologi orang menang: Mabuk                 Di masa seperti itu, di mana kata damai tak pernah bertemu dengan perang, banyak karakter manusia yang limbung kehilangan arti. Seorang

Jokowi, Bu Cicih dan Waduk Pluit

Bu Cicih   Angin laut lembut berembus, membawa serta hawa sejuk segar menyapu tepi waduk yang luas. Senja hendak merembang dan perempuan paruh baya itu duduk menatap gubuk-gubuk yang berimpitan jauh di seberang. Kulit putihnya mulai kemerahan terkena sinar matahari terik kemarau di belahan utara Jakarta. Sengat matahari seolah tertindih hawa laut di Penjaringan itu.                 “Enggak kebayang deh,” kata perempuan itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ingatannya melayang kembali ke masa lima bulan silam ketika lapangan terbuka tempat dia duduk di bangku dengan nikmat itu masih berupa kampung padat, sesak oleh gubuk dan bangunan semi-permanen. Mereka berimpitan seolah berebut hawa segar, tersuruk di atas rawa-rawa yang penuh ditumbuhi enceng gondok.                 Gang-gang sempit mengular becek penuh bau amis. Anak-anak berlari-larian beradu dengan padatnya pejalan kaki, sepeda motor yang melintas membawa barang-barang berlebihan, sepeda butut, atau gerobak. Hidup

Buah saga bisa gantikan kedelai?

Krisis harga kedelai pada pertengahan tahun 2013 lalu seharusnya mendorong masyarakat mencari bahan alternatif untuk tempe, kecap, tauco, dan tauge. Sayangnya ini meyangkut masalah selera yang tidak mudah diubah dalam tempo sesingkat-singkatnya. Bisa jadi memerlukan waktu satu generasi.                 Kedelai sekarang telah naik pangkat menjadi komoditas bergengsi. Ia  diskusikan di sejumlah rapat kabinet, jadi pemberitaan utama media masa dan media sosial, bahan debat di seminar, jauh dari gambaran Bung Karno di masa lalu. “Jangan menjadi bangsa tempe!” kata Bung Karno. Ini bisa dimengerti sebab kedelai rebus yang akan dijadikan bahan tempe di masa lalu harus diinjak-injak di dalam keranjang bambu (Jw, rinjing) untuk memisahkan biji kedelai dengan kulit arinya. Sekarang sudah ada mesin pengupas kulit ari kedelai.                 Kedelai dikenal memiliki gizi tinggi kaya dengan asam amino komplet. Bahkan negara-negara lainnya kini ikut membuat tempe, seperti Malaysia, Thai