Krisis harga kedelai pada pertengahan tahun 2013 lalu seharusnya mendorong masyarakat mencari bahan alternatif untuk tempe, kecap, tauco, dan tauge. Sayangnya ini meyangkut masalah selera yang tidak mudah diubah dalam tempo sesingkat-singkatnya. Bisa jadi memerlukan waktu satu generasi.
Kedelai sekarang telah naik pangkat menjadi komoditas bergengsi. Ia diskusikan di sejumlah rapat kabinet, jadi pemberitaan utama media masa dan media sosial, bahan debat di seminar, jauh dari gambaran Bung Karno di masa lalu. “Jangan menjadi bangsa tempe!” kata Bung Karno. Ini bisa dimengerti sebab kedelai rebus yang akan dijadikan bahan tempe di masa lalu harus diinjak-injak di dalam keranjang bambu (Jw, rinjing) untuk memisahkan biji kedelai dengan kulit arinya. Sekarang sudah ada mesin pengupas kulit ari kedelai.
Kedelai dikenal memiliki gizi tinggi kaya dengan asam amino komplet. Bahkan negara-negara lainnya kini ikut membuat tempe, seperti Malaysia, Thailand, Jepang, Belanda, AS, dan sejumlah negara lain di Timteng.
Biji saga dan cangkang buahnya |
Nama saga yang lain adalah saga telik, atau saga rambat (Abrus precatorius) tanaman menjalar yang buahnya berwarna merah-hitam, sering dipakai sebagai obat sariawan dicampur kalau dengan daun sirih.
Kelebihan biji saga
Biji buah saga tidak mengandung asam cyanida atau (HCN) yang berbahaya, tapi mengandung protein (NX 6,25) 48,2%, setara dengan biji kecipir sehingga lebih tinggi dari kedelai (k.l. 35%). Kandungan air 9,10%, lemak 22,6%, karbohidrat 10%, serat 5,66%. Biji saga juga mengandung asam amino lengkap. Pohon saga dapat tumbuh di sembarang tempat tanpa memandang kesuburannya, dan hidup di derah berketinggian dari 0 hingga 500 meter dpl (di atas permukaan laut). Perakarannya kuat dan berbuah tanpa memandang musim hingga berusia 40 tahun. Akar pohon saga yang besar-besar tidak membayakan bangunan di sekitarnya berbeda dengan pohon besar lainnya semisal flamboyan dan sebagainya. Bahkan kulit bijinya masih mengandung gizi yang baik sehingga dapat dipakai sebagai tambahan makanan ternak.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi Departemen Kesehatan serta Balai Penelitian Kimia Departemen Perindustrian di Bogor akhir dekade 70-an lalu mengadakaan serangkaian penelitian buah saga. Tujuannya a.l. untuk mengembangkan buah yang potensial ini untuk dapat dikonsumsi secara umum oleh masyarakat.
Bahkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) saat itu mencoba membuat mesin pengupas biji saga yang liat itu, selain mencari cara guna mengurangi bau yang langu.
Sayangnya upaya itu tidak bergaung sama sekali saat ini, sebab ketergantungan masyarakat pada bahan kedelai kian tinggi sementara produksi dalam negeri tidak mampu mencukupi kebutuhan sebab hanya sekitar 20% saja.
Seperti dituturkan sebelumnya, tidak mudah mengubah selera orang sehingga perlu waktu lama untuk mengenalkannya. Akan tetapi dengan usaha yang keras dan konsisten bukan tidak mungkin masyarakat menerima buah saga sebagai bahan makanan bergizi tinggi ini, sebagai bahan asupan gizi yang murah, dan tidak harus mengimpornya. (dari berbagai sumber)
Komentar
Posting Komentar