Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2011

Kongres Pelacur se Dunia (Bagian 3)

Violetta, Belanda - Menjadi pelacur karena pilihan sadar (Hanya untuk orang dewasa) Miriam asal Lebanon Oleh Adji Subela Satu tuntutan yang mengejutkan para orang Indonesia seperti saya yaitu bahwa mereka, para pelacur itu, minta agar mereka dapat menyediakan pelayanan pada kondisi yang sepenuhnya ditentukan oleh mereka sendiri, dan bukan oleh siapa pun juga. Sebagai orang-orang yang menganut kebebasan, maka tuntutan itu wajar sekali mengingat mereka menjadi pelacur atas pilihannya sendiri, dan menganggap pekerjaan itu sama terhormatnya seperti pekerjaan lainnya. Itu belum apa-apa, mereka ini minta agar ada satu komisi khusus untuk menjamin perlindungan hak-hak pelacur, dan dapat menampung gugatan-gugatan dari anggota mereka. Entah kenapa mereka ti

Dasar.....

Tiga orang serdadu dijatuhi hukuman masing-masing 50 kali cambukan di punggung. Komandannya mengatakan mereka boleh mengolesi punggungnya dengan minyak zaitun atau balsem sebelum hukuman dilaksanakan. “Saya minta punggung saya diolesi minyak zaitun,” kata serdadu yang berdarah Inggris. “Huh, saya tidak seperti si Inggris itu, saya tidak pakai apa-apa di punggung karena saya orang kuat, tangguh,” kata orang berdarah Irlandia. “Permintaan kamu apa buat punggungmu sebelum dicambuk?” tanya komandan kepada serdadu berdarah Yahudi. “Tolong pasang orang Irlandia itu di punggung saya.” ***** Seorang Inggris, seorang Australia, dan seorang Skotlandia diundang ke sebuah pesta. Orang Inggris menenggak enam botol Guiness, orang Australia enam kaleng bir, sedangkan orang Skotlandia menenggak milik teman-temannya itu.

Kongres Pelacur se Dunia (Bagian 1)

Gambar kanan: Saya dipotret teman wartawan Le Provencal, Marseille, Prancis, di depan gedung Parlemen Eropa, Rue Belliard, Brussel, Belgia. - “ Tolong ceritakan pada saya....” (Hanya untuk orang dewasa) Tulisan ini bersifat laporan jurnalistik. Isinya bukan berupa pendapat pribadi dan tidak menggambarkan persetujuan penulis, tapi laporan sesuai apa yang dilihat, dan didapatkan keterangan lainnya mengenai materi kongres, sesuai perannya sebagai reporter. Kalau di sana-sini ada terselip pandangan pribadi, tidak menunjukkan persetujuannya, dukungan atau penolakannya terhadap materi liputan. Oleh Adji Subela Saya girang sekali menemui bulan Oktober 2011 ini. Ada keinginan untuk merayakan satu karya ‘masterpiece’ yang pernah saya buat tepat 25 tahun lalu. Satu ‘mahakarya’ dalam pekerjaan saya di bidang jurnalisme sejak 1977 hingga tahun 2004 (27 tahun) setelah saya memutuskan untuk menjadi penulis lepas saja. Perkenanlah saya menyom

Kongres Pelacur se Dunia (Bagian 2)

(Hanya untuk orang dewasa) - Menuntut status hukum jelas Oleh Adji Subela Saya tiba di kota Brussel, Belgia, 28 September 1986. Tentu saja, seperti kota-kota lain di Eropa, kota ini bersih, teratur, dan lalulintasnya tertib. Pada jam-jam kerja, keadaannya sepi seperti kota mati. Warganya bekerja diam-diam tanpa banyak kata di dalam gedung-gedung jangkung. Pada pagi hari, manusia menyemut keluar dari liang-liang kereta api bawah tanah ( subway ), lantas sepi kembali, setelah mereka terserap ke dalam gedung-gedung itu. Pada jam-jam pulang, mereka menyemut kembali berarak masuk liang bawah tanah dan lalu kota sepi lagi. Tempat Kongres Pelacur se Dunia itu adalah Gedung Parlemen Eropa di Rue Belliard nomer 97 – 133 dekat ke wilayah Luxembourg. Sungguh luar biasa, kongres seperti ini mendapat tempat terhormat. Ini tak lain atas usaha ICPR (International Committee for Prostitutes’ Rights) serta GRAEL, satu organisasi perempuan anggo

Indian Street di kota Kuching

Teks foto: Indian Street di kota Kuching, Serawak. Dulu namanya Keling Street lalu diubah guna menghindari kesan rasisme. Mirip Pasar Baroe bukan? Tapi lebih bersih dan lebih teratur. Pasar Baroe Punya Kembaran di Kuching, Serawak Oleh Adji Subela Sama seperti Jakarta, kota Kuching, ibukota Serawak, Malaysia Timur, juga memiliki daerah pertokoan yang mirip Pasar Baroe, di Jakarta Pusat itu. Sama seperti di Pasar Baroe tempo doeloe, daerah pertokoan ini dulunya juga didominasi oleh para pedagang asal India yang umumnya beragama Islam, dan sama-sama terhubung oleh sepotong jalan ke daerah yang juga disebut Gambir. Persis sama seperti di Jakarta.

Mengeruk Gunung Mengais Rejeki

Mengeruk Gunung Mengais Rejeki Oleh Adji Subela Jika Anda berjalan-jalan ke Kecamatan Sampung, Kab. Ponorogo, Jatim, maka pemandangan pertama yang mengikat mata adalah hutan jatinya. Yang kedua di kejauhan nampak gunung kapur yang krowak (terkeruk) dengan menyisakan batu-batu kapur atau batu gamping mentah putih kekuningan. Batu gamping (limestone) ini menjadi komoditas penting Sampung sejak puluhan tahun lalu. Batu kapur yang sudah masak dipasarkan di dalam kota hingga ke luar kota lainnya seperti Madiun, Ngawi, Surabaya, dan sebagainya. Proses pembuatan batu gamping ini sebetulnya sederhana saja. Bongkah-bongkah batu kapur mentah dibakar mencapai suhu k.l. dua ratus derajat Celcius selama 24 jam guna mengeluarkan kandungan air di dalamnya. Setelah ‘masak’ maka batu kapur telah berubah menjadi batu gamping yang memiliki kandungan kalsium lebih murni lagi.

Delivery Order Sate Ayam Ponorogo ala Bu Togog

Delivery Order Sate Ayam Ponorogo a la Bu Togog Oleh Adji Subela Sudah 70 tahun lebih daerah “Segitiga Emas” Ngepos, Ponorogo, menjadi pusat penjualan sate ayam. Di sana berkumpul paling tidak sepuluh orang penjual sate yang masih mempertahankan ciri mereka, yaitu tetap memajang angkringan yang di jaman dulu dipikul ke sana kemari, serta tempat pembakaran sate dari terakota (anglo) yang bentuknya khas dari Kota Reog itu. Kini Gang Sate di Desa Nologaten juga sudah menjadi pusat sate ayam lainnya.