Langsung ke konten utama

Kongres Pelacur se Dunia (Bagian 3)


Violetta, Belanda


- Menjadi pelacur
karena pilihan sadar
(Hanya untuk orang dewasa) Miriam asal Lebanon
Oleh Adji Subela
Satu tuntutan yang mengejutkan para orang Indonesia seperti saya yaitu bahwa mereka, para pelacur itu, minta agar mereka dapat menyediakan pelayanan pada kondisi yang sepenuhnya ditentukan oleh mereka sendiri, dan bukan oleh siapa pun juga. Sebagai orang-orang yang menganut kebebasan, maka tuntutan itu wajar sekali mengingat mereka menjadi pelacur atas pilihannya sendiri, dan menganggap pekerjaan itu sama terhormatnya seperti pekerjaan lainnya.
Itu belum apa-apa, mereka ini minta agar ada satu komisi khusus untuk menjamin perlindungan hak-hak pelacur, dan dapat menampung gugatan-gugatan dari anggota mereka. Entah kenapa mereka tidak mengusulkan ICPR menjadi Komisi Hak-hak Pelacur se Dunia.
“Komisi ini harus terdiri dari para pelacur dan profesi lainnya seperti pengacara, medis, serta para pendukung hak-hak pelacur,” demikian yang tertulis pada pernyataan pers.
Komisi Hak-hak Pelacur di Indonesia?

Ketika menulis ringkasan artikel ini di awal bulan September 2011 lalu, langsung terbayang negeri saya tercinta Indonesia. Negara ini sedang rajin alias getol membikin komisi-komisi. Seharusnya ada yang mengusulkan Komisi Penjamin Hak-hak Pelacur Indonesia.
Bukankah anggotanya cukup banyak? Sebab selain pelacur seksual ada juga banyak pelacur politik, pelacur idealisme dan lain-lainnya. Apa hak-hak mereka tak perlu dilindungi?
Sudahlah ini sekedar selingan yang menjengkelkan hati. Tuntutan berikutnya yang disiarkan kepada pers ialah bahwa mereka – para pelacur itu – menganggap perlu menghapus Undang-Undang atau peraturan yang berisi diskriminasi pada kegiatan berserikat, berkumpul, dan bekerja secara kolektif dalam rangka mencapai keamanan yang tinggi.
Betul bukan? Kita jangan main-main dengan para pelacur di negeri Barat. Mereka memiliki latar belakang pendidikan tinggi, pandai berdiplomasi dan faham hukum. Tapi pembaca sekalian, bukankah para pelacur di Indonesia sekarang ini sudah sampai pula pada taraf seperti itu pula? Mungkin pelacur formal yang sering digusur Satpol PP dan organisasi massa keagamaan tidak. Tapi tidakkah kita percaya bahwa pada masyarakat kita yang tingkat intelektualitas dan pendidikannya sudah tinggi banyak pula pelacur? Dalam kaitan ini ada wawancara khusus saya dengan seorang perempuan pelacur, mantan Polisi Wanita (Polwan) asal California, AS, yang mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur California waktu itu. Definisi yang ia pakai akan banyak menjerat begitu banyak orang yang sebenarnya mereka itu “pelacur” juga.
Maka dari itu ikuti terus tulisan berseri saya ini.
Special tax? No way!
Pada Kongres Pelacur se Dunia I di Amsterdam tahun sebelumnya, jelas dituntutkan bahwa mereka menolak pajak khusus (special tax), baik perorangan maupun dalam kaitan bisnisnya itu. Di Inggris pada masa itu para pelacur dikenai pajak khusus, dan menjadi bahan cemoohan, kritikan, di dalam Kongres Pelacur se Dunia II di Brussel, Belgia, tahun 1986 itu.
Delegasi dari Inggris sendiri di kongres mengeluh bahwa pelacur yang diakui dan mendapat kewajiban membayar pajak khusus tersebut belum mendapatkan hak-haknya, bahkan belum sama dengan jenis profesi lainnya.
Kejadian kocak terjadi dalam konperensi pers hari kedua. Di sana seorang wartawan Inggris, yang mungkin agak panas kupingnya mendengar kritikan pelacur dari negerinya lantas bertanya, “Apakah kalian tidak sekalian membikin standard tarif jasa kalian?”
Ada jawaban usil dari peserta, “Kenapa Anda betul-betul menginginkan Tuan?” dan langsung disambut tawa.
“Ini pertanyaan serius,” potongnya.
“Tuan boleh simpan nomer telepon saya, tarif saya negotiable,” ujar si pelacur gigih. Semuanya tertawa ditambah gebrakan di meja riuh rendah. Tngkah itulah mungkin yang menyamakan tingkah laku pelacur di mana pun di dunia. Kasihan betul anggota Parlemen Eropa saat itu. Gedungnya yang berwibawa menjadi semacam bordil raksasa.
Sektor ekonomi bidang seksual
Tuntutan berikutnya lebih seru lagi. Para perempuan pelacur (dan juga ternyata ada prianya! Nanti akan saya ceritakan) minta diadakan pendidikan mengenai kepelacuran itu. Nanti dulu. Maksudnya di antara para pelacur itu sendiri khususnya, yaitu mengenai perlunya memahami hak dan kewajiban profesi ini. Kepada masyarakat pendidikan itu hendaknya diarahkan untuk memahami profesi yang katanya tertua di dunia itu dan masyarakat dapat menempatkan mereka para tataran yang memadai, tidak dihinakan, sebab memiliki potensi ekonomi signifikan.
Point ini ketika berlangsung Kongres Pelacur se Dunia ke II itu belum saya pahami. Tapi kelak kemudian, saya membaca hasil penelitian International Labour Organization (ILO), dalam buku yangberjudul The Sex Sector, maka nampak terbukti “usaha” pelacuran telah mampu membentuk pusaran ekonominya sendiri, sehingga sudah menjadi sektor ekonomi tersendiri yaitu “sex sector” tersebut. Bahkan di Indonesia pada kurun waktu tertentu mampu menghasilkan putaran uang jutaan dolar per tahun di bidang sex sector.
Nanti akan saya sampaikan, ikuti terus serial tulisan ini.
Oleh karena selama dua hari ini kami hanya bertemu dengan para official kongres, maka jumpa pers menjadi menjemukan. Padahal, acara ini kelihatannya mulai menarik lebih banyak wartawan media massa. Saya lihat kian banyak wartawan yang datang meliput. Salah seorang di antaranya berasal dari koran Le Provencal, Prancis, yang begitu suka ngobrol dengan saya. Kami terlibat obrolan hangat, walaupun dia bicara dalam Bahasa Prancis, yang sedikit sekali saya pahami dan saya dalam Bahasa Inggris semi-Tarzan yang nampak sedikit dia pahami.
Akhirnya panitia berinisyatif untuk mendatangkan para delegasi Kongres Pelacur se Dunia II tersebut. Sejumlah bidadari masuk ke ruang jumpa pers, dengan segala macam gaya pakaiannya. Ada yang memakai topeng, seperti yang kita lihat dalam pesta topeng di Venesia, Italia, itu, dan ada yang berani tanpa topeng sama sekali. Mungkin mereka berpikir ini kesempatan berpromosi gratis ke seluruh dunia, agar bisnisnya maju. Lha, siapa tahu berhasil ‘kan?
Ternyata wartawan yang haus berita dan haus kepingin lihat “barang lainnya” meledak, dan panitia menawarkan dulu kepada para delegasi apakah mau menjumpai wartawan. Ternyata banyak yang suka rela “open house!” Kami para nyamuk pers menyambut gembira, dan panitia mengambil kebijaksanaan agar konperensi pers diserahkan kepada wartawan dan para narasumbernya menurut negara atau bahasa yang dipakainya. Unsur bahasa penting, sebab ada pelacur asal Cyprus yang cantik manis, ternyata memilih kelompok Bahasa Inggris, sedangkan delegasi asal Belanda yang paling laris karena umumnya mereka mampu berbicara dalam empat bahasa sekaligus.
Waduh, ramai bukan main. Ruang rehat konperensi berubah total menjadi pasar pelacur. Suasana meriah dan nampaknya teknik ini berhasil memuaskan semua pihak. Maksudnya memuaskan keinginan untuk berkomunikasi, bukan dalam kaitan profesi si peserta kongres!
Pelacur Belanda paling terbuka
Di antara para peserta Kongres Pelacur se Dunia II itu maka delegasi asal Belanda paling terbuka, komunikatif, ramah. Mereka tidak mengenakan topeng. Maka saya pun nimbrung di kelompok Belanda yang menguasai Bahasa Belanda, Inggris, Prancis, Jerman. Tak salah kalau banyak wartawan mengerumuni mereka.
Violetta adalah perempuan Belanda yang berperawakan gemuk, rambut pendek dicat oranye. Ketika melihat saya, dia langsung “menembak” saya, “Kalau tak salah Anda datang dari Jepang atau Indonesia bukan?”
“Saya dari Indonesia,” jawab saya.
"Oh ya saya kenal daerah-daerah di Indonesia, sejarah dan makanannya. Nasi goreng, gado-gado, sate ayam, bakmi rebus, kerupuk, dan lain-lain....,” ujarnya. Teman saya dari Le Provencal tersenyum.
“Apakah Anda pernah punya klien dari Indonesia?” tanya saya lancang. Tapi biarlah, saya ‘kan wartawan? Bukan laki-laki iseng.
“Off the record,” jawabnya sambil menggerakkan tangannya seolah mengunci mulutnya. Saya baru sadar atas kebodohan saya. Mereka profesional, bukan pelacur amatiran yang pamer siapa kilen-kliennya supaya laris atau hendak membikin deal-deal tertentu.
Pelacur asal Jerman lain lagi gayanya. Umumnya mereka berpakaian nyentrik, gaya rambut punk dicat warna-warni. Mereka pun segera merebut perhatian wartawan. Tapi ada beberapa di antaranya yang justru berpakaian dan bersikap sopan. Mereka ramah dan tidak menunjukkan kepelacuran mereka.
Di kelompok lain, ada pelacur cantik, manis dan seksi asal Timur Tengah. Namanya Miriam, seorang perempuan muda kelahiran Lebanon. Seperti yang sudah dikenal, orang-orang Lebanon memang cantik-cantik dan tampan-tampan. Miriam mewakili Cyprus tempat dia dibesarkan. Ia anak bungsu dari empat bersaudara dan menjadi tulang punggung ekonomi keluarganya di Cyprus. Ia mengatakan, bisnisnya yang berbasis di Belanda sangat bagus.
.......bersambung ......

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima