Delivery Order Sate Ayam Ponorogo a la Bu Togog
Oleh Adji Subela
Sudah 70 tahun lebih daerah “Segitiga Emas” Ngepos, Ponorogo, menjadi pusat penjualan sate ayam. Di sana berkumpul paling tidak sepuluh orang penjual sate yang masih mempertahankan ciri mereka, yaitu tetap memajang angkringan yang di jaman dulu dipikul ke sana kemari, serta tempat pembakaran sate dari terakota (anglo) yang bentuknya khas dari Kota Reog itu.
Kini Gang Sate di Desa Nologaten juga sudah menjadi pusat sate ayam lainnya.
Tak ada persaingan sengit di antara para penjual sate itu, baik yang di Ngepos, Gang Sate Nologaten dan Setono, Kota Lama. Pada garis besarnya, memang ada tiga kelompok ‘madzab’ sate ayam gaya Ponorogo, yaitu Ngepos – yang umumnya berasal dari Desa Purbosuman asal pelopor sate ayam Ponorogo Pak Bagong – kemudian Gang Sate Nologaten dan Setono tersebut.
Nama Pak Bagong menjadi “brand” sate ayam Ponorogo, karena dia memang berjualan sejak tahun 1920, menjadi kesayangan Presiden RI Pertama Ir. Sukarno dan sering diajak ke luar negeri. Sate ayam yang dikenalkan ke dunia internasional tahun 50-60-an itu pada dasarnya ya sate ayam Ponorogo.
Oleh karena nama Bagong sudah dimiliki pria asal Desa Purbosuman ini, maka saudara-saudaranya pun memakai merk Pak Gareng, dan Togog. Mereka turun-temurun membuat dan berjualan sate ayam gaya Ponorogo hingga sekarang ini sampai pada generasi keempat. Dari sekian banyak saudaranya, maka Bu Togog memiliki cara berjualan berbeda. Kalau semuanya membuat dan menjajakan satenya, maka Bu Togog hanya membuat sate ayam atau bumbunya berdasarkan pesanan saja. Dia tidak menjajakan dagangannya.
Almarhum suaminya, Pak Kademun “Togog”, sejak muda berjualan di dekat Mesjid Muhammadiyah, juga tak jauh dari Ngepos. Setelah sang suami meninggal di akhir tahun 89, Bu Togog berjualan sendiri dan sejak tahun 2006 Bu Togog memutuskan untuk berhenti berjualan dan hanya melayani pesanan dari dalam maupun luar kota.
Penggemar sate ayamnya tinggal menelepon pesan berapa banyak dan kapan harus dikirimkan. Bu Togog memiliki langganan tetap di berbagai kota seperti Surabaya, Semarang, dan Bali. Mereka umumnya perantau asal Ponorogo, yang rindu akan sate ayam kota asalnya.
Ketika masih hidup Pak Kadimun Togog tidak pernah mau mengembangkan cabang ke luar kota. Beberapa tawaran untuk mengembangkan warung ke Bali ditolaknya. Padahal beberapa saudaranya, seperti Pak Musirin – anak Pak Bagong – dahulu pernah memiliki warung sate ayam di Blok M, Jakarta, dan Surabaya.
Bu Togog memiliki kiat khusus dalam penjualan tidak langsung ini, yaitu membuat sate hanya dari ayam yang betul-betul sehat dan baik. Kacang tanah yang dipakainya sebagai bumbu pilihan, disortir sama besar agar ketika digoreng matang merata sehingga tidak pahit.
Untuk sate ayamnya yang dibakar kering tanpa bumbu Bu Togog hanya mau melayani pesanan yang dapat terjangkau rute bis, sehingga dalam tempo kurang lebih 12 jam sate sudah sampai ke tempat pemesan masih dalam keadaan segar. Jika sate masak tanpa bumbu ini lekas dimasukkan ke dalam kulkas, dapat bertahan seminggu karena dimasak dengan bersih hygienis.
Sedangkan pesanan bumbu dapat dikirim lewat pos atau perusahaan jasa kurir. Jika tidak disentuh tangan dapat bertahan sampai sebulan lebih, bahkan di dalam kulkas lebih lama lagi, walaupun tanpa bahan pengawet.
“Semuanya itu harus dikerjakan dengan cermat dan bersih mas, jadi awet tanpa bahan kimia,” ujarnya. Bahan-bahan kimia menurutnya justru dapat menurunkan kualitas rasa.
Pemesan dari luar kota cukup menghubungi Bu Togog atau anaknya lewat HP, lantas mengirimkan uang sesuai harga sambal bumbu ditambah ongkos kirimnya. Tinggal menunggu beberapa saat dan kiriman nikmat mereka dapat.
“Ya semuanya itu tergantung dari pelayanan kita pada pembeli dan mempertahankan rasanya, Mas,” tuturnya ketika ditanya kiat mengikat langganan.
Bu Togog kini menjadi satu di antara puluhan penjual sate ayam Ponorogo yang resepnya diciptakan oleh Pak Bagong almarhum yang sudah berjualan sejak tahun 1920. Tahun 1930 ia tidak berjualan keliling lagi tapi ganti mangkal di “Segitiga Emas” Ngepos hingga diteruskan oleh generasi-generasi berikutnya sekarang.
Penjual sate ayam Ponorogo masih mempertahankan ciri-ciri fisik khasnya, seperti angkring atau dua kotak berisi bahan-bahan sate, lontong, bumbu, dan sebagainya. Selain itu yang nampak menyolok adalah anglo pembakaran sate dari tanah liat bakar yang ukurannya besar. Seberapa lama alat itu dipakai dapat dilihat dari kerak-kerak hitam mengilat padanya. Selama itu pula anglo melayani penggemar sate ayam Ponorogo.
Di Hari Raya Iedul Fitri 1432 H yang lalu, angkringan sate ayam Ponorogo diserbu pembeli asal luar kota, baik para perantau asal Kota Reog itu maupun mereka yang sudah gandrung pada rasa sate ayam Ponorogo yang gurih legit ini.
Sate Ponorogo memang mempunyai ciri khas tersendiri, rasa bumbu yang menyatu dengan daging menjadi sensasi tersendiri sebagai hidangan bersama orang-orang tercinta.
BalasHapussate di Setono rasanya pedas.
sate di gang sate rasanya manis.
kalau sate di segitiga emas gimana?
Sate Ponorogo di Ngepos alias "segitiga emas" umumnya gurih.
BalasHapus