Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2012

13 Hari tegang sekitar Suharto lengser

BAGIAN-15 – Epilog Tiba-tiba aku teringat pada masa-masa pacaran kami di sepanjang jalan menuju ke kompleks perumahan Akademi Ilmu Pelayaran (AIP) di tepi Kali Ancol dahulu. Bunga flamboyan yang tumbuh di tepi kali bermekaran merah menyala ria, lalu berguguran disentuh angin, seakan menaburi jalan kami dengan lambang cinta dan kasih sayang kami berdua – aku dengan seorang taruna AMN (Akademi Militer Nasional) yang jangkung, pendiam dan cerdas: Johny Yosephus Lumintang. Saat itu pada Ulang Tahun Perkawinan kami yang ke-25 (pada 2012 ini berarti sudah 39 tahun, red )  kami benar-benar diuji oleh Tuhan. Sekarang ini, saat ini, aku sangat bahagia dapat melewati waktu-waktu sulit itu dan dapat merayakan Ulang Tahun Perkawinan kami setiap tahun hingga kini, disaksikan oleh anak-anak, cucu-cucu kami, serta para saudara dan handai taulan semuanya. Selama ini sejak perkawinan kami, aku dan JL telah melewati masa-masa yang sulit, penuh onak dan duri dengan gelombang kehidupan ser

13 Hari tegang sekitar Suharto lengser

-           BAGIAN-14 – Hari ke-13, 23 Mei 1998 : “Petir” datang: suamiku diganti Malam bergulir melewati pukul 24.00 dan datanglah pagi 23 Mei 1998. Sulit mataku memejam sejak semalam walaupun suamiku dilantik menjadi Panglima Kostrad. Sejumlah pertanyaan masih bergayutan: Berhasilkah dia menjalankan tugasnya mengeluarkan para mahasiswa dari Senayan? Atau gagalkah dia? Apakah keadaan semakin memburuk? Pertanyaan ini terus mengaduk-aduk pikiranku. Ketika pagi semakin menggelinding, aku pun jatuh tertidur. Tibat-tiba pada pukul 02.30 ponselku berdering berkali-kali. Aku bangun meraihnya. Ternyata dari suamiku yang sedang bersusah-payah menjalankan tugasnya selagi penduduk Jakarta masih terlelap dalam tidurnya. “Mah, doa kita dikabulkan, mahasiswa sebagian besar sudah keluar,” katanya. Para mahasiswa itu memilih menggunakan kendaraan Korps Marinir daripada milik Kostrad yang sudah disediakan. Ia bercerita tak ada insiden apa-apa semalam semuanya berjalan lancar, mulus,

13 Hari tegang sekitar Suharto lengser

-           BAGIAN-13 – Hari ke-12, 22 Mei 1998 : Suamiku jadi Pangkostrad Pagi hari ini aku sudah punya rencana yang pasti yaitu mengontak suamiku, JL, di kantornya lewat ponsel. Tentu saja aku sampaikan pula permintaan maafku karena aku telah “kabur” tanpa sengaja dari rumah mertua. Tapi ada satu hal penting yang ingin ku- check kembali kepada JL, yaitu kabar mengenai diangkatnya dia menjadi Panglima Kostrad menggantikan Panglima waktu itu yaitu Letjen TNI Prabowo yang juga menantu Presiden Suharto. Kabar itu justru kudapatkan dari kakak iparku, Willy Lumintang. Semalam ia menelepon aku guna mengatakan bahwa suamiku akan menjadi Pangkostrad. Dari mana ia tahu kabar itu kakak iparku tak mau bercerita sama sekali. Panggilan ponselku kepada JL sampai pula padanya segera pagi itu. Lalu kuceritakan apa saja yang aku alami kemarin termasuk kelupaan berpamitan kepada mertua. Kukatakan kepadanya kalau Willy mendengar adiknya akan diangkat menjadi Panglima Kostrad.      

13 Hari tegang sekitar Suharto lengser

-           BAGIAN-12 – Hari ke-11, 21 Mei 1998 : Pak Harto mundur Pagi-pagi sekali aku sudah minta agar pesawat televisi terus dihidupkan agar dapat memantau perkembangan di Jakarta. Semalam aku sudah merasa sesak di dada memikirkan keadaan yang semakin memanas itu. Aku sungguh heran kenapa pemerintah tidak tanggap melihat perkembangan terakhir ini . Tapi sudahlah itu urusan orang-orang di Jakarta. Presiden sendiri nampaknya kukuh sekali pendiriannya. Waduh, kalau sudah begini bagaimana nanti jadinya? Apakah orang-orang di atas tidak memikirkan nasib rakyat yang sudah terhimpit berbagai krisis itu? Sebagaimana biasanya udara pagi di Ratahan begitu sejuk. Sisa-sisa dinginnya malam masih terasa hingga pukul 08.00 pagi waktu setempat atau 07.00 WIB. Di layar kaca repoter TVRI Magdalena Daluas sedang melaporkan perkembangan terakhir dari Istana Merdeka Jakarta. Diinformasikan bahwa akan ada pengumuman penting dari pemerintah menanggapi perkembangan situasi terakhir di tan

13 Hari tegang sekitar Suharto lengser

  -           BAGIAN-11 – Hari ke-10, 20 Mei 1998 : Gagal bujuk ‘Babe’ Pada keesokan harinya terjadi perkembangan yang menarik. Waktu itu kami berkumpul di ruang tengah rumah di Ratahan guna menyaksikan perkembangan politik di Jakarta. Terlihat dalam tayangan TV bahwa sejumlah tokoh masyarakat seperti KH Abdurahman Wahid, Dr. Nurcholish Madjid, Emha Ainun Najib, dan lain-lainnya baru saja mengadakan diskusi mengenai perkembangan terakhir di tanah air. Di lain bagian laporannya TV menayangkan bagaimana aparat keamanan mulai memasang barikade kawat berduri tajam di beberapa tempat. Tokoh-tokoh itu mengatakan bahwa Pak Harto masih nampak kukuh tidak mau bergeser dari posisinya. Kudengar juga acara kumpul-kumpul di Monas yang semula digagas oleh Dr. Amien Rais dibatalkan. Ia antara lain mengatakan tak perlu menambah korban lagi hanya untuk menurunkan seorang kakek-kakek. Mendengar itu semua badanku merinding. Entah apa yang terjadi waktu itu, tapi ucapan Dr. Amien

13 Hari tegang sekitar Suharto lengser

-           BAGIAN-10 – Hari ke-9, 19 Mei 1998 : Makin panas Aku masih ingat bagaimana Presiden Suharto membikin kompromi-kompromi untuk tidak mundur begitu saja, antara lain menawarkan perombakan kabinet dan sebagainya. Tapi nampaknya gayung tak bersambut. Dalam sebuah berita yang dilansir oleh stasiun TV asing yang tertangkap siarannya di Ratahan, Presiden Suharto dinyatakan tidak jadi dan tidak mau mengundurkan diri. “Aduh, gawat nih,” kataku. Meskipun aku bukan orang politik, tapi ketika itu aku sudah merasa bahwa akan terjadi gelombang kekerasan lagi, yang mungkin saja lebih besar dari yang sebelumnya. Logikanya sederhana saja. Kalau ada dua kekuatan – yaitu Presiden Suharto serta penentangnya saling bersikukuh untuk bertahan maka clash pasti akan terjadi. Akan muncul benturan-benturan yang dahsyat yang aku sendiri tentu tak mampu untuk memperkirakannya. Lalu terbayanglah olehku kepulan-kepulan asap, kobaran api serta gelombang massa liar yang mengobrak-abrik J

13 Hari tegang sekitar Suharto lengser

-           BAGIAN-7 – Hari keenam 16 Mei 1998 : Anak jenderal-pejabat diancam Keluargaku terancam? Harus mengungsi? Pagi ini aku mulai menjalani hari dengan hati yang penuh kekhawatiran mengenai keadaan yang saat itu sudah betul-betul chaos. Setelah selesai mengerjakan tugas-tugas rumahtangga biasa serta mengecek keadaan Mami yang waktu itu sudah ditunggui oleh saudara-saudaraku tahu-tahu datanglah kejutan! Ajudan JL yang lain, Serma Ujang, tiba-tiba muncul di rumah dengan agak tergopoh-gopoh. “Aduh, ada apa lagi ini ya?” tanyaku dalam hati penuh was-was. Serma Ujang menyampaikan bahwa aku dan keluarga harus segera pergi meninggalkan rumah dan terbang ke Manado guna menghindari kejadian-kejadian yang tak diinginkan. Semua sudah disiapkan, dan pesawat akan lepas landas pukul 14.00. Semula aku menyampaikan keberatan karena menurutku waktu itu aku belum perlu untuk meninggalkan Jakarta apalagi rumahku. Namun Ujang setengah memaksa meyakinkan diriku. “Bu, dari selur

13 Hari tegang sekitar Suharto lengser

-           BAGIAN-9 – Hari ke-8 18 Mei 1998 : Hari-hari yang alot Tuntutan agar Presiden Suharto lengser dari kedudukannya semakin menguat. Presiden sendiri waktu itu ramai diberitakan bahwa ia ingin lengser keprabon (mundur dari singgasana) untuk madeg mandita ratu. Artinya hanya ingin sebagai seorang begawan yang tidak memegang kekuasaan langsung tapi masih dimintai nasihat untuk menyelenggarakan kekuasaan negra. Barangkali, menurut taksiranku, beliau ingin seperti mantan Perdana Menteri  Singapura Lee Kuan Yew yang setelah mundur dari kedudukannya ia menjadi ‘menteri senior’, tempat orang berkonsultasi dengannya. Namun konsep itu belum jelas benar. Dalam suatu kesempatan Presiden Suharto justru mengingatkan bahwa sebelumnya ia pernah bertanya kepada seorang pembantunya apakah rakyat masih mempercayainya pada periode berikutnya. Bahkan seorang pejabat tinggi negara menjamin akan masih besarnya kepercayaan rakyat kepadanya. Itulah politik, serba ruwet. Kabarnya

13 Hari tegang sekitar Suharto lengser

-           BAGIAN-8 – Hari ketujuh 17 Mei 1998 : Mundur! Teriaknya Sekarang hari Minggu. Aku telah bangun pagi-pagi lalu berjalan-jalan mengelilingi kebun. Udara di daerah Ratahan masih sangat segar belum terpolusi berat seperti Jakarta. Daerah ini sejuk, damai, penuh pepohonan seperti nyiur serta cengkih. Berita mengenai Jakarta masih saja mengenai kerusuhan yang terus saja terjadi. Sementara itu sejumlah tokoh nasional semakin keras menyuarakan reformasi total. Beberapa di antaranya malahan terus terang menginginkan Presiden Suharto mundur, meletakkan jabatannya. Hanya sebatas tuntutan saja yang mampu mereka suarakan hingga saat itu sebab pada kenyataannya posisi Presiden Suharto masih cukup kuat, sementara MPR dan DPR belum mengadakan sidang apa pun juga. Radio Australia yang saya dengar memberitakan ketegangan masih saja terjadi di ibukota. Beberapa kali aku berusaha mengontak JL tapi selalu gagal. Kelihatannya dia sangat sibuk dalam keadaan seperti itu. Saya

KA dan politisi

                Para penumpang rangkaian KA baru yang cepat dan mewah tekejut ketika di tengah perjalanan terasa ada getaran beberapa kali. Seorang penumpang keheranan lalu bertanya pada kondektur.                 “Oh ya, kami baru saja melindas beberapa orang politisi,” jawab si kondektur.                 “Lho, ngapain orang-orang sinting itu berkeliaran di tengah rel?”                 “Oh tidak, mereka memang tidak ada di tengah rel, tapi kami yang menempatkan mereka di rel,” jawab kondektur kalem.