-
BAGIAN-7 – Hari keenam 16 Mei 1998: Anak jenderal-pejabat diancam
Keluargaku
terancam? Harus mengungsi?
Pagi ini aku
mulai menjalani hari dengan hati yang penuh kekhawatiran mengenai keadaan yang
saat itu sudah betul-betul chaos.
Setelah
selesai mengerjakan tugas-tugas rumahtangga biasa serta mengecek keadaan Mami
yang waktu itu sudah ditunggui oleh saudara-saudaraku tahu-tahu datanglah
kejutan!
Ajudan JL yang
lain, Serma Ujang, tiba-tiba muncul di rumah dengan agak tergopoh-gopoh. “Aduh,
ada apa lagi ini ya?” tanyaku dalam hati penuh was-was.
Serma Ujang
menyampaikan bahwa aku dan keluarga harus segera pergi meninggalkan rumah dan
terbang ke Manado guna menghindari kejadian-kejadian yang tak diinginkan. Semua
sudah disiapkan, dan pesawat akan lepas landas pukul 14.00. Semula aku
menyampaikan keberatan karena menurutku waktu itu aku belum perlu untuk
meninggalkan Jakarta apalagi rumahku. Namun Ujang setengah memaksa meyakinkan
diriku.
“Bu, dari
seluruh keluarga jenderal yang ada tinggal Ibu Johny Lumintang saja yang masih
berada di Jakarta,” tuturnya bersungguh-sungguh.
Wah, nampaknya
memang gawat sekali keadaannya sekarang. Tapi aku pun belum yakin benar-benar
bahwa aku dan keluargaku harus pergi, katakanlah mengungsi ke daerah asal
suamiku. Ternyata kemudian keragu-raguanku tiba-tiba terhapus total!
Anak jenderal-pejabat diancam
Ini dimulai
ketika aku menerima telepon dari keponakanku yang aktivis mahasiswa seperti
yang aku ceritakan dulu itu melalui ponsel. Dengan nada serius ia minta agar
Tante Sonya (aku) dan Kitty segera pergi dari Jakarta. Ia bercerita bahwa
anak-anak jenderal dan pejabat tinggi negara mendapat tekanan hebat dari pra
mahasiswa pengunjuk rasa.
Keponakanku
itu menyebutkan contoh, seorang putra pejabat tinggi negara di lembaga
legislatif mendapat ancaman dari teman-temannya. Leher bajunya dicekik dan
badannya ditekan ke dinding ramai-ramai sambil diancam agar mitna bapaknya
berhenti dari jabatannya. Anak-anak pejabat tinggi negara lainnya, menurut penuturannya,
sudah banyak yang menghilang guna menyelamatkan diri.
Para mahasiswa
terutama sekali mengincar anak-anak pejabat militer. Gawat!
Nah, pada saat
mendengar saran dari keponakank itulah aku baru mulai ketakutan. Tak dapat
kubayangkan lagi bagaimana seandainya anak-anakkulah yang mengalami ancaman
seram seperti itu. Siapa yang dapat menjamin keselamatannya di tengah kobaran
emosi antipemerintah yang begitu tinggi waktu itu? Aku dan anakku Kitty
langsung berkemas secepat mungkin.
Menjelang
tengah hari Serma Ujan memebritahu kami harus segera pergi ke Bandara
Sukarno-Hatta guna menghindari kemacetan, apalagi dalam situasi yang serba
kacau-balau semacam itu. Semula akan diadakan pengawalan ketat oleh anggota
Paskhas TNI AU yang sudah saya sebutkan sebelumnya, tapi aku menolak. Terus
terang aku takut rombongan kami akan segera menarik perhatian massa dan apalagi
kalau tahu kami dari keluarga ABRI. Akiabt-akibatnya tak bisa diprediksi.
Aku usul agar rombongan
hanya terdiri dari satu mobil dengan empat penumpang, yaitu aku, Kitty, Serma
Ujang yang mengemudikan serta seorang pengawal dari Paskhas tersebut. Selama
perjalanan dari rumah hingga ke bandara tak henti-hentinya aku mengawasi
keadaan. Jakarta kini sudah kusut masai. Bekas ban yang dibakar, barang-barang
yang rusakbertebarak di jalan-jalan.
Kerumunan
massa semakin banyak saja ditambah dengan wajah seram-seram. Mereka jelas bukan
mahasiswa, tapi mungkin para preman yang mencari kesempatandalam situasi yang
kacau-balau tersebut. Sedapat mungkin kami harus berjalan kalem agar tidak
mencurigakan, tapi juga harus tetap waspada menjaga segala kemungkinan.
Di sepanjang
perjalanan itu pula aku begitu cerewet agar pengawal tidak menampakkan
identitasnya, apalagi kalau orang melihat senjata yang dibawanya. Jelas
berbahaya.
“Tolong simpan
sajalah,” pintaku.
“Mohon maaf
tidak bisa Bu. Senjata ini tak bsia dilipat. Tapi sudah saya sembunyikan di
jaket dan belakang kepala saya,” jawabnya dengan sabar. Dari radio di mobil
kudapat informasi pembakaran masih terus berjalan, penjarahan meraja lela.
Disebutkan terjadi kebakaran di pertokoan yang menghanguskan belasan orang di
dalamnya.
Laporan lain
menyebutkan anak-anak pejabat tinggi negara mendapat ancaman dan tekanan serius
dari pengunjuk rasa. Hatiku makin miris, dan desakan Serma Ujang agar kami
menyingkir dari ibukota tepat. Di kemudian hari kudapat berita bahwa semua
pejabat tinggi ABRI telah mengungsikan keluarganya ke kampung halaman
masing-masing beberapa hari sebelumnya. Serma Ujang benar.
Keadahan di
Bandara Sukarno-Hatta ketika itu tegang sekali. Sejak memasuki tol ke arah
bandara suasananya mencekam. Terdapat sejumlah kelompok orang atau pemuda yang
wajahnya seram-seram, mirip kriminal. Kami harus berhati-hati, menyamar sebagai
warga sipil biasa.
Aku tak henti-hentinya
berdoa. Berita di radio menyebutkan anggota tentara menjadi sasaran ejekan
bahkan penyerangan. Gubernur Sulut Mangindaan yang tiba dari Manado kesulitan
mendapatkan kendaraan umum, dan tak ada penjemput di sana. Ia pun menyewa ojek
untuk pergi ke Jakarta. Mungkin itu pengalaman menarik yang takkan terlupakan
olehnya.
Di bandara
suasana bikin miris. Banyak orang bergerombol, tak jelas identitasnya. Ini
membahayakan. Semula pengawal minta agar bsia mengawalnya sampai pesawat. Tapi
kutolak mentah-mentah. Aku khawatir massa mengenalinya sebagai anggota ABRI,
maka akan celakalah kami semua.
Aku dan
putriku turun dari mobil seolah-oleh penumpang biasa, dan aman sampai ke
pesawat, walaupun aku tetap merasa ketakutan.
Dari pesawat
kuliaht Jakarta kian banyak asapnya. Pikiranku tak keruan-keruan, melayang ke
mana-mana tak tahu apa yang akan menimpa kami nantinya, atau bagaimana
Indonesia setelah kejadian itu. Aku baru sadar ketika pramugari menawariku
minuman………..
Pesawat
mendarat di Manado sekitar pukul 16.00 WIT. Keadaan di sana tetap tenang
tenteram. Udara segar menyambut kami, penuh damai. Kalau pun ada orang
bergerombol di bandara, mereka adalah para kerabat yang akan menjemput saudara
mereka, umumnya dari Jakarta. Wajahnya rata-rata penuh kecemasan. Ketika
bertemu dengan saudara yang dijemputnya mereka langsung terlibat pembicaraan
ramai tentang keadaan Jakarta.
Penjemput kami
adalah Sersan Giman dari Kodim yang keliahtan bahagia kami selamat.
“Gimana
keadaan di Jakarta, Bu?” tanyanya.
“Lautan api,
Man.”
Kubayangkan
bagaimana kami harus menembus kerusuhan di Jakarta tadi. Kami tiba di Ratahan,
tempat tinggal mertuaku dengan aman. Udara terasa lebih sejuk dan lebih damai
di tempat yang sejuk dan indah tersebut…setidaknya sampai saat itu!
(BERSAMBUNG – Bagian 8: Mundur! Teriak mereka)
Komentar
Posting Komentar