- BAGIAN-3 – Memoar drg. Sonya Henny Johny Lumintang, MARS
- Hari kedua 12 Mei 1998: Jatuh korban penembakan
Pada
tanggal 12 Mei, demonstrasi
mahasiswa sudah berkembang begitu besarnya. Konsentrasi demonstran
berada di kampus Univ. Trisakti dan sekitarnya. Aksi mereka meluber
hingga ke jalanan di depan dan di samping kampusnya di daerah Grogol,
Jakarta Barat.
Nampak
keadaan sudah demikian panasnya sehingga terjadi bentrok fisik
antara para mahasiswa dengan
aparat keamanan. Dari layar tv kulihat mereka terlibat saling dorong.
Kelihatan juga beberapa mahasiswa menerima pukulan dari personel
keamanan, sementara dari pihak mahasiswa tak kalah pula galaknya,
yaitu dengan membakari ban-ban bekas serta melempari petugas dengan
batu-batuan.
Terdengar
serentetan tembakan yang diarahkan ke kampus. Dari pemberitaan mass
media sesudahnya, kuketahui bahwa
penembakan itu dilakukan dari jembatan layang Grogo; yang belum
terlalu lama diresmikan pemakaiannya. Pembangunan jalan layang
tersebut penah memakan korban sejumlah kuli bangunan yang tewas
tertimpa reruntuhan jembatan yang sebenarnya belum mengeras betonnya
tapi sudah dilepas tiang-tiang perancahnya.
Petang
itu kira-kira pukul 17.00 WIB daerah sekitar jalan layang Grogol
kembali memakan korban, karena pada malam harinya baru kuketahui
bahwa indsiden itu telah menewaskan 4 (empat) orang mahasiswa
Trisakti dan melukai sejumlah lainnya. Suasana dikabarkan begitu
mencekam. Pra mahasiswa kaget, pani, tapi juga marah dengan jatuhnya
korban rekan-rekan mereka diterjang peluru. Kudengar kemudian para
mahasiswa bubar berlarian dikejar aparat keamanan hingga ke
kampung-kampung di belakang kampus. Seorang mahasiswa menceritakan
waktu itu penduduk ikut melindungi para mahasiswa dan sebagian
menembunyikannya di rumah-rumah mereka.
Begitulah
demonstrasi yang semula berjalan aman-aman saja lantas berubah
menjadi keras. Insiden tersebut belakangan disebut sebagai Indsiden
Trisaksi. Perjuangan untuk reformasi sudah memakan korban mahasiswa.
Insiden inilah yang oleh para pengamat disebut sebagai pemicu
kerusuhan yang amat mendirikan bulu roma dan berekor pada mundurnya
Presiden Suharto yang telah berkuasa 32 tahun.
Pada
hari itu sekitar pukul 17.00 petang Kitty, putriku, mendapat telepon
dari dosennya di Trisakti. Ia bilang bahwa situasi di daerah sekitar
kampus sudah tidak dapat terkendalikan lagi. Ia bertanya di mana Pak
Johny Lumintang berada, karena ia akan minta tolong suamiku agar
bagaimana sebaiknya anak-anak Trisaksi dalam keadaan seperti itu.
Dosen itu akan minta saran agar tidak lagi terjadi bentrokan antara
mahasiswanya dengan aparat keamanan.
“Keadaan
sudah sangat serius Kitty, sudah jatuh korban,” begitu kurang lebih
kata dosen tersebut seperti yang dituturkan Kitty kepadaku. Lalu
putriku bertanya berapa yang sudah jatuh korban.
Dosen
menjawab, “Pokoknya mereka sudah menembaki kita!”
Sayangnya
pada tanggal 12 Mei itu suamiku, JL, tak ada di rumah. Dia sudah
berada di Singapura untuk menyelesaikan beberapa tugasnya.
(BERSAMBUNG
– Bagian 4 mendatang: Ibukota berkobar)
Komentar
Posting Komentar