-
BAGIAN-12 – Hari ke-11, 21 Mei 1998: Pak Harto mundur
Pagi-pagi
sekali aku sudah minta agar pesawat televisi terus dihidupkan agar dapat
memantau perkembangan di Jakarta. Semalam aku sudah merasa sesak di dada memikirkan
keadaan yang semakin memanas itu. Aku sungguh heran kenapa pemerintah tidak
tanggap melihat perkembangan terakhir ini . Tapi sudahlah itu urusan orang-orang
di Jakarta. Presiden sendiri nampaknya kukuh sekali pendiriannya. Waduh, kalau
sudah begini bagaimana nanti jadinya?
Apakah
orang-orang di atas tidak memikirkan nasib rakyat yang sudah terhimpit berbagai
krisis itu? Sebagaimana biasanya udara pagi di Ratahan begitu sejuk. Sisa-sisa
dinginnya malam masih terasa hingga pukul 08.00 pagi waktu setempat atau 07.00
WIB. Di layar kaca repoter TVRI Magdalena Daluas sedang melaporkan perkembangan
terakhir dari Istana Merdeka Jakarta. Diinformasikan bahwa akan ada pengumuman
penting dari pemerintah menanggapi perkembangan situasi terakhir di tanah air.
“Waduh,
apalagi ini ya?” kataku. Semua anggota keluarga yang ada ramai-ramai berkumpul
di depan TV untuk menunggu perkembangan terbaru. Detik demi detik kami ikuti
dengan seksama. Kami semuanya terdiam mendengar laporan Magdalena Daluas, tidak
tahu apa yang akan terjadi di Jakarta.
Gara-gara akan
ada pengumuman penting itu maka rencana kami hendak ke gereja untuk mengadakan
kebaktian Kenaikan Isa Almasih tertunda. Kami lantas merubungi TV itu.
Gambar di
layar kaca menunjukkan sebuah ruang yang sering dijadikan tempat untuk
menyampaikan pengumuman penting atau konperensi pers. Sebuah podium kecil yang
ada lambang kenegaraan burung garuda nampak jelas, sedangkan di atasnya ada
sejumlah mikropon milik para reporter. Di sebelah kiri maupun kanan tampak
berjejer sejumlah pejabat tinggi negara, di antaranya Pangab Jenderal TNI
Wiranto. Beberapa tokoh masyarakat, yaitu para ulama serta tokoh agama lainnya
nampak berjejer menunggu pengumuman pemerintah yang kabarnya akan disampaikan
sendiri oleh Presiden.
“Ada apa ya?”
kataku. Kami semuanya bertanya-tanya. Detik demi detik berlalu dengan penuh
tanda tanya. Detik demi detik itu pula suara reporter TVRI itu menyampaikan
reportasenya. Suaranya semakin pelan dan suasana nampak makin tegang.
Kemudian
muncullah Presiden Suharto ke podium dengan wajah tenang seperti biasanya dan
tetap dengan senyumnya yang terkenal itu. The Smiling General. Ia membuka suara
dengan mengucapkan salam dan kemudian membacakan pernyataannya yang tentu saja
akan amat bersejarah. Presiden Suharto menyatakan mundur dari jabatannya
sebagai presiden!
Dan yang
menggantikannya diumumkan pula yaitu Wakil Presiden BJ Habibie. Aku tersentak
kaget tak percaya akan apa yang terjadi di depan mataku. Pak Harto mengundurkan
diri setelah kukuh mempertahankan kekuasaannya yang sudah berlangsung begitu
lama? Tuhan, akhirnya Engkau telah memberi jalan.
Hari Kenaikan
Isa Almasih Kamis 21 Mei 1998, ternyata telah menjadi tonggak sejarah baru, di
mana Presiden Suharto menyatakan mundur setelah ada desakan dari kiri kanan sehingga
mengakhiri kekuasannya selama kurang lebih 32 tahun.
Entah apa yang
kurasakan waktu itu, apakah aku senang, apakah sedih, apakah terkejut? Tak bisa
kujelaskan secara gamblang . Yang jelas saja aku tiba-tiba tergerak untuk
kembali pulang ke Jakarta hari itu juga. Dorongan hatiku begitu kuat untuk
segera pulang ke rumah guna mengikuti perkembangan selanjutnya, terutama yang
bersangkut-paut dengan suamiku, Jl.
Dorongan kuat
itu langsung aku turutkan dengan meminta sopir untuk segera memesan tiket
pesawat ke Jakarta.
Hari itu aku
harus pulang ke ibukota! Aku tak peduli apakah bandara akan diblokir oleh siapa
pun juga! Kalau perlu aku rela naik ojek dari Cengkareng hingga ke Permata
Hijau bilamana terpaksa. Peduli amat! Yang penting hari ini aku harus tiba di
rumah. Titik!
Segera aku berkemas
terburu-buru dan sorenya aku sudah terbang pakai pesawat meninggalkan Bandara
Sam Ratulangi Manado menuju ke Sukano-Hatta, Cengkareng. Aku heran sekali
selama penerbangan dari Manado ke Jakarta aku tak terlalu ingat apa yang
terjadi. Pikiranku satu, yaitu agar cepat-cepat tiba di Jakarta. Sebelum
berangkat tadi aku menelepon adikku Evie dan suaminya, Christ, agar menjemputku
di Cengkareng, bila situasi memungkinkan. Bila tidak ya tidak apa-apa. Dalam
hatiku aku masih punya rencana B yaitu: naik ojek.
Pesawat
mendarat pada pukul 20.00 WIB dan ternyata adik serta suaminya sudah
menjemputku. Puji Tuhan.
Di Ratahan ibu
mertuaku justru yang ribut. Ia telah kehilangan anak menantu perempuannya yang
pergi entah ke mana tanpa pamit. Oh ya, aku sampai lupa berpamitan ke pada
mertuaku! Aduh!!!
(BERSAMBUNG – Bagian 13: Suamiku jadi Pangkostrad )
Komentar
Posting Komentar