-
BAGIAN-5 – Hari keempat 14 Mei 1998: Membawa Mami ke RSPAD di tengah lautan api
Kondisi Mami
benar-benar parah. Aku sudah tak tega melihatnya, beliau nampak semakin lemah
saja. Sementara itu di luar sana orang-orang sudah seperti kesetanan membakari
apa saja yang mereka temukan, baik itu kompleks perkantoran, pertokoan, pusat
perbelanjaan lain, mobil sedan, tangki minyak, serta sepeda motor.
Penjarahan terjadi di mana-mana. Bahwa
telah hkan belakangan tersebar kabar dari mulut ke mulut berjadi perkosaan
terhadap perempuan dari etnis minoritas. Penyiksaan-penyiksaan lainnya juga
terjadi di mana saja bila dimungkinkan. Pendek kata ibukota saat itu
benar-benar telah merah membara dibakar amuk massa yagn kesetanan. Kepulan asap
menghitami langit Jakarta dan emosi begitu meluap-luap menyesaki dada.
Pembangunan yang dilaksanakan tahap demi
tahap selama tiga dekade dengan pengorbanan darah maupun air mata rakyat, kini
seolah terkulai layu hangus oleh emosi rakyat yang begitu memuncak.
Temanku, seorang pria yang sama-sama
dokter, mengalami nasib yang menyedihkan. Pria yang berkulit kuning langsat dan
bermata agak kesipit-sipitan itu hendak pulang ke rumahnya setelah selesai melaksanakan
tugasnya di sebuah rumah sakit. Dengan perhitungan hari itu tidak akan ada
kendaraan umum, selagi amat berbahya jika mengendarai kendaraan pribadi, ia
lantas menyewa seorang pengojek sepeda motor untuk mengantarkannya pulang.
Hari itu dia
memang apes. Di dalam perjalanan, belum lagi jauh dari rumah sakit tempatnya
bertugas, mereka dihadangoleh sejumlah pemuda yang sudah seperti kalap-kalap
semua. Lengan tangan temanku yang nampak kuning terang menarik perhatian
mereka, dokter itu dianggap seorang WNI keturunan Tionghoa. Dengan susah payah
temanku dokter ini menjelaskan siapa dirinya, tapi orang-orang yang sudah
dirasuki setan itu tidak mempercayainya dan menghujaninya dengan bogem mentah.
Merasa
terancam jiwanya ia minta tukang ojek untuk berbalik jalan kembali ke rumah
sakitnya. Ia menginap di ruang kerjanya di rumah sakit, satu-satunya tempat
yang terbukti paling aman buatnya hari itu. Ia menderita luka-luka lebam.
Inilah salah
satu cuilan gambaran yang menyeramkan, mendirikan bulu roma, yang dilakukan
oleh warga dari suatu bangsa yang sering disebut sebagai bangsa yang
ramah-tamah, banyak senyum. Tiba-tiba saja jika mereka tersinggung kemudian
marah, maka ia akan mengamuk sejadi-jadinya di luar akal sehat. Dari sinilah
kosa kata amoc (amuk) dalam bahasa Inggris berasal, guna
menggambarkan sifat orang-orang yang hidup di Asia Tenggara yang sering
mengumbar amarah untuk sesuatu yang oleh orang lain mungkin dianggap tidak
berarti apa-apa.
Melihat
keadaan Mami yang parah, kuputuskan untuk segera membawanya ke RSPAD Gatot
Subroto. Ditemani seorang soir dan Kitty, aku memberanikan diri membawa Mami ke
RSPAD agar mendapatkan perawatan yang tepat. Ini sebuah usaha nekad, didorong
keinginan agar Mami mendapat perawatan dan kulakukan melebihi rasa takutku sendiri.
Sepanjang perjalanan dari Permata Hijau hingga ke RSPAD, aku dan putriku terus
berdoa kepada Tuhan agar kami dilindungi-Nya dari serangan brutal
kelompok-kelompok yang mungkin sudah bercampur-baur dengan para kriminal.
Apalagi mobil yang kukendarai bermerk Honda buatan Jepang.
Sepanjang
perjalanan kulihat di mana-mana terdapat kelompok-kelompok orang yang tidak
jelas maksud dan tujuannya untuk apa berkumpul. Suasananya seperti akan sangat
berbahaya jika saja kita salah melangkah. Emosi massa begitu tinggi sehingga
hanya karena satu teriakan saja maka bisa ludeslah semuanya.
Sesampainya di
Bendungan Hilir kulihat asap semakin banyak mengepul mengotori udara ibukota.
Entah bangunan apa lagi yang dibakar oleh para perusuh dan penjarah vandalists itu. Guna berjaga-jaga dari
segala kemungkinan yang terburuk maka tidaklupa aku bawa identitas dokterku.
Kalau pun nanti ada yang mencegat aku akan pakai tanda pengenal itu dan
beralasan membawa pasien ke rumah sakit.
Selewat dari
Bendungan Hilir aku mendapat telepon dari suamiku, JL (Johny Lumintang).
Kusebutkan aku sedang membawa Mami ke RSPAD untuk pengobatan dan perawatan. JL
nampaknya terkejut mendengar tindakanku. Kujelaskan bahwa ini harus kulakukan
demi Mami yang kian kritis. Kuceritakan bagaimana keadaan Jakarta sepanjang
yang kulewati.
Ternyata JL
sudah pulang ke tanah air dan langsung menuju ke Markas Departemen Pertahanan
Keamanan di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, dikonsinyir. Ia berada di sana
selama hari-hari genting dan tak pernah bertemu denganku.
Dengan
ketegangan tinggi akhirnya atas ijin Tuhan kami sampai di RSPAD di daerah
Kwitang, Senen, yang ketika itu juga mulai “membara” rusuh bukan main. Kami
dapat menembus kerusuhan itu dengan selamat hingga ke RSPAD.
Ketika sudah
begitu susah-payah berhasil menembus berbagai rintangan, ternyata setibanya di
RSPAD, kami mendapatkan bahwa RS itu ditutup tidak menerima pasien. Aduh.
Kerusuhan yang
meletus di mana-mana di ibukota membuat RSPAD mengosongkan ruangan-ruangan
perawatannya untuk mengantisipasi keadaan darurat. Aku sempat syok. Tapi aku
mendapatkan jalan keluar. Kukatakan kepada petugas bahwa pasien yang kubawa
adalah Ibunda Mayjen TNI Johny Lumintang, Asops Kasum ABRI. Mendengar nama itu
mereka segera membantu menempatkan Mami di ruang perawatan VIP.
Dari
pemeriksaan laboratorium kuketahui bahwa kadar gula Mami mencapai angka 500
lebih. Aku terhenyak. Kalau saja terlambat membawanya ke RS sungguh tak tahu
apa yang akan terjadi pada Mamiku yang tercinta. Dia bsia jadi akan menjadi
korban kerusuhan Mei dengan cara dan jalan lain.
(BERSAMBUNG – Bagian 6 mendatang: Telepon misterius)
Komentar
Posting Komentar