Langsung ke konten utama

13 Hari tegang sekitar Suharto lengser






-       





















   BAGIAN-5 – Hari keempat 14 Mei 1998: Membawa Mami ke RSPAD di tengah lautan api

Kondisi Mami benar-benar parah. Aku sudah tak tega melihatnya, beliau nampak semakin lemah saja. Sementara itu di luar sana orang-orang sudah seperti kesetanan membakari apa saja yang mereka temukan, baik itu kompleks perkantoran, pertokoan, pusat perbelanjaan lain, mobil sedan, tangki minyak, serta sepeda motor.
      Penjarahan terjadi di mana-mana. Bahwa telah hkan belakangan tersebar kabar dari mulut ke mulut berjadi perkosaan terhadap perempuan dari etnis minoritas. Penyiksaan-penyiksaan lainnya juga terjadi di mana saja bila dimungkinkan. Pendek kata ibukota saat itu benar-benar telah merah membara dibakar amuk massa yagn kesetanan. Kepulan asap menghitami langit Jakarta dan emosi begitu meluap-luap menyesaki dada.
      Pembangunan yang dilaksanakan tahap demi tahap selama tiga dekade dengan pengorbanan darah maupun air mata rakyat, kini seolah terkulai layu hangus oleh emosi rakyat yang begitu memuncak.
      Temanku, seorang pria yang sama-sama dokter, mengalami nasib yang menyedihkan. Pria yang berkulit kuning langsat dan bermata agak kesipit-sipitan itu hendak pulang ke rumahnya setelah selesai melaksanakan tugasnya di sebuah rumah sakit. Dengan perhitungan hari itu tidak akan ada kendaraan umum, selagi amat berbahya jika mengendarai kendaraan pribadi, ia lantas menyewa seorang pengojek sepeda motor untuk mengantarkannya pulang.
Hari itu dia memang apes. Di dalam perjalanan, belum lagi jauh dari rumah sakit tempatnya bertugas, mereka dihadangoleh sejumlah pemuda yang sudah seperti kalap-kalap semua. Lengan tangan temanku yang nampak kuning terang menarik perhatian mereka, dokter itu dianggap seorang WNI keturunan Tionghoa. Dengan susah payah temanku dokter ini menjelaskan siapa dirinya, tapi orang-orang yang sudah dirasuki setan itu tidak mempercayainya dan menghujaninya dengan bogem mentah.
Merasa terancam jiwanya ia minta tukang ojek untuk berbalik jalan kembali ke rumah sakitnya. Ia menginap di ruang kerjanya di rumah sakit, satu-satunya tempat yang terbukti paling aman buatnya hari itu. Ia menderita luka-luka lebam.
Inilah salah satu cuilan gambaran yang menyeramkan, mendirikan bulu roma, yang dilakukan oleh warga dari suatu bangsa yang sering disebut sebagai bangsa yang ramah-tamah, banyak senyum. Tiba-tiba saja jika mereka tersinggung kemudian marah, maka ia akan mengamuk sejadi-jadinya di luar akal sehat. Dari sinilah kosa kata amoc  (amuk) dalam bahasa Inggris berasal, guna menggambarkan sifat orang-orang yang hidup di Asia Tenggara yang sering mengumbar amarah untuk sesuatu yang oleh orang lain mungkin dianggap tidak berarti apa-apa.
Melihat keadaan Mami yang parah, kuputuskan untuk segera membawanya ke RSPAD Gatot Subroto. Ditemani seorang soir dan Kitty, aku memberanikan diri membawa Mami ke RSPAD agar mendapatkan perawatan yang tepat. Ini sebuah usaha nekad, didorong keinginan agar Mami mendapat perawatan dan kulakukan melebihi rasa takutku sendiri. Sepanjang perjalanan dari Permata Hijau hingga ke RSPAD, aku dan putriku terus berdoa kepada Tuhan agar kami dilindungi-Nya dari serangan brutal kelompok-kelompok yang mungkin sudah bercampur-baur dengan para kriminal. Apalagi mobil yang kukendarai bermerk Honda buatan Jepang.
Sepanjang perjalanan kulihat di mana-mana terdapat kelompok-kelompok orang yang tidak jelas maksud dan tujuannya untuk apa berkumpul. Suasananya seperti akan sangat berbahaya jika saja kita salah melangkah. Emosi massa begitu tinggi sehingga hanya karena satu teriakan saja maka bisa ludeslah semuanya.
Sesampainya di Bendungan Hilir kulihat asap semakin banyak mengepul mengotori udara ibukota. Entah bangunan apa lagi yang dibakar oleh para perusuh dan penjarah vandalists itu. Guna berjaga-jaga dari segala kemungkinan yang terburuk maka tidaklupa aku bawa identitas dokterku. Kalau pun nanti ada yang mencegat aku akan pakai tanda pengenal itu dan beralasan membawa pasien ke rumah sakit.
Selewat dari Bendungan Hilir aku mendapat telepon dari suamiku, JL (Johny Lumintang). Kusebutkan aku sedang membawa Mami ke RSPAD untuk pengobatan dan perawatan. JL nampaknya terkejut mendengar tindakanku. Kujelaskan bahwa ini harus kulakukan demi Mami yang kian kritis. Kuceritakan bagaimana keadaan Jakarta sepanjang yang kulewati.
Ternyata JL sudah pulang ke tanah air dan langsung menuju ke Markas Departemen Pertahanan Keamanan di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, dikonsinyir. Ia berada di sana selama hari-hari genting dan tak pernah bertemu denganku.
Dengan ketegangan tinggi akhirnya atas ijin Tuhan kami sampai di RSPAD di daerah Kwitang, Senen, yang ketika itu juga mulai “membara” rusuh bukan main. Kami dapat menembus kerusuhan itu dengan selamat hingga ke RSPAD.
Ketika sudah begitu susah-payah berhasil menembus berbagai rintangan, ternyata setibanya di RSPAD, kami mendapatkan bahwa RS itu ditutup tidak menerima pasien. Aduh.
Kerusuhan yang meletus di mana-mana di ibukota membuat RSPAD mengosongkan ruangan-ruangan perawatannya untuk mengantisipasi keadaan darurat. Aku sempat syok. Tapi aku mendapatkan jalan keluar. Kukatakan kepada petugas bahwa pasien yang kubawa adalah Ibunda Mayjen TNI Johny Lumintang, Asops Kasum ABRI. Mendengar nama itu mereka segera membantu menempatkan Mami di ruang perawatan VIP.
Dari pemeriksaan laboratorium kuketahui bahwa kadar gula Mami mencapai angka 500 lebih. Aku terhenyak. Kalau saja terlambat membawanya ke RS sungguh tak tahu apa yang akan terjadi pada Mamiku yang tercinta. Dia bsia jadi akan menjadi korban kerusuhan Mei dengan cara dan jalan lain.
(BERSAMBUNG – Bagian 6 mendatang: Telepon misterius)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par