Langsung ke konten utama

13 Hari tegang sekitar Suharto lengser




  • BAGIAN-2 – Memoar drg. Sonya Henny Johny Lumintang, MARS
  • Hari pertama 11 Mei 1998: Kasak-kusuk melawan Presiden Suharto

Aku punya dua orang keponakan yang cukup istimewa posisinya dalam rangkaian kenanganku ini. Mereka adalah putra adik kandungku, Andries, pengusaha apotek di Tanjung Priok. Seorang anak lainnya putri. Hubungan kami baik-baik saja akan tetapi karena tertelan kesibukan masing-masing kami belakangan jarang berkomunikasi.
Tapi pada suatu hari yaitu tanggal 9 Mei 1998, Andries menceritakan aktivitas kedua putranya kepada Mami kami. Dia amat khawatir pada mereka. Mami ikut berprihatin tentang kedua cucunya itu lalu minta Andries berkonsultasi denganku. Adikku itu langsugn datang padaku petang harinya, dengan wajah sanagt tertekan akibat aktivitas kedua anak lelakinya yang disebutnya mulai “bermasalah”. Pada awalnya aku terkejut dan membayangkan kedua keponakanku itu terlibat masalah narkoba atau kejahatan lainnya. Alangkah sedihnya.
Para korban narkoba itu membawa kesedihan dan kesengsaraan tak hanya pada orangtuanya tapi juga teman dan lingkungannya. Siapa yang tega melihat anaknya menderita seperti itu? Ia takkan mudah lepas dari jeratan barang haram semacam itu. Apalagi jika anak mereka terjerat dalam sindikat jual-beli barang haram tersebut, maka jeruji besi akan siap menanti kapan saja. Itulah bayanganku ketika Andries datang padaku.

Aktivitas “berbahaya”
Ternyata tidak! Andries menegaskan, kedua anaknya tidak terjerat masalah semacam itu, tapi terlibat aktivitas yang menurutnya cukup berbahaya.
Apa? Aktivitas berbahaya?” begitu aku bertanya pada adikku. Dalam hati aku bertanya-tanya smapai sejauh mana tingkat “bahaya” itu?
Andries lantas bercerita bahwa kedua putranya yang mahasiswa itu telah terjun ke dalam gerakan mahasiswa untuk menggulingkan Presiden Suharto. Kegiatan itu digambarkannya sedemikian jauh sehingga mereka jarang pulang, dan amat membatasi komunikasi dengan kedua orangtuanya. Pokoknya mereka menjadi misterius. Tentu saja mendengar kedua cucunya terlibat dalam aktivitas yang kala itu dianggap membahayakan dirinya, Mami mengalami syok berat.
Adikku bercerita kedua anaknya sering dijemput seseorang di depan apoteknya memakai taxi setelah mendapat panggilan telepon dari seseorang. Aku sendiri menyaksikan, selama ini kedua keponakan tersebut tak suka memakai ponsel dengan alasan agar menghemat pengeluaran. Tapi pada suatu saat kemudian aku memergoki keduanya memegang masing-masing satu ponsel. Mereka nampak terkejut melihat aku mengetahuinya dan buru-buru berkata benda-benda itu milik kawan-kawannya.
Tentu aku tak percaya begitu saja. Kutanya mereka macam-macam sehingga akhirnya mereka mengaku terlibat dalam usaha menentang pemerintahan Presiden Suharto. Mereka menganggap sudah tak dapat dipertahankan lagi. Keduanya mengaku tak pernah tahu siapa yang menggalang mereka dan hanya mendapat perintah dari ponsel secara sepihak. Pada saat-saat yang diperlukan mereka akan dihubungi dan mengadakan janji bertemu di suatu tempat dengan kode-kode tertentu.
Hal itu aku sampaikan kepada suamiku, Johny Lumintang, yagn sering aku panggil JL. Ketika itu ia menjabat sebagai Asisten Operasi (Asops) pada Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI Letjen TNI Fachrurozi. Ketika mendengar cara kerja mereka JL terkejut. Dia bilang teknik-teknik semacam itu sudah termasuk ke dalam kategori kegiatan intelejen. Ia paham betul bahwa kegiatan semacam itu bisa membahayakan kedua keponakanku. Aku menjadi khawatir mendengarnya. Dalam khawatiranku semacam itu JL punya ide agar keduanya diungsikan ke Irian Jaya, hendka dititipkan kepada seorang rekannya yang dapat dipercaya.

Meneruskan perjuangan
Tawaran itu ditolak oleh keduanya. Mereka tetap kukuh ingin meneruskan perjuangan sampai Presiden Suharto benar-benar bisa dilengserkan. Penolakan kedua cucu menjadikan Mamiku semakin takut, sedih, dan panik. Akibatnya kadar gula dalam darah semakin meningkat tanpa dapat dikendalikan lagi. Aku harus mengawasinya baik-baik sambil mencarikan obat-obatan baginya.
Di luar sana aksi-aksi mahasiswa terus menggelombang. Demo demi demo terus datang susul menyusul. Sejak kedatangan Andries pada 9 Mei itu pikiranku ikut tertambat pada mereka. Harus diakui tujuan mahasiswa itu tentunya baik dan murni tapi pemerintahan ketika itu masih kuat dan orang belum dapat meramalkan apa yang yang bakal terjadi nantinya. Maka wajarlah kalau kami semuanya selalu berdebar-debar memikirkan kedua orang keponakan tadi. Aku puji mereka para mahasiswa itu sebagai anak muda yang cukup tanggap terhadap tuntutan jaman seperti kami dulu yang menghendaki sebuah reformasi setelah puluhan tahun berada dalam keadaan tertekan.

Bakat “turun-temurun”?
Nampaknya kedua orang keponakanku itu menuruni “bakat” turun-temurun dari Opanya, yaitu almarhum Papiku, Pieter Riupassa. Beliau adalah pejuang kemerdekaan yang darah-dagingnya tulen berjuang mengabdi ke pada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perjuangannya tidak hanya muncul ketika pecah perang kemerdekaan saja, tapi hingga akhir hayatnya amat dekat dengan rakyat kalangan bawah. Pergaulannya luas termasuk dengan Bung Karno segala. Mereka berteman baik.
Di tahun 1966 kakak kandungku ikut berjuang menumbangkan Orde Lama dan membangun pondasi Orde Baru. Ia tergabung ke dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), sedangkan aku berada di Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI).
Goyangan terhadap pemerintahan Presiden Suharto kian keras hingga riaknya menyebar di kalangan bawah dan menajdi diskusi menarik. Beberapa pasien di klinikku sesekali juga mengomentari kejadian-kejadian yang muncul antara 9 hingga 11 Mei.
(BERSAMBUNG – Bagian 3 mendatang: Jatuh korban penembakan)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par