- BAGIAN-2 – Memoar drg. Sonya Henny Johny Lumintang, MARS
- Hari pertama 11 Mei 1998: Kasak-kusuk melawan Presiden Suharto
Aku
punya dua orang keponakan yang cukup istimewa posisinya dalam
rangkaian kenanganku ini. Mereka adalah putra adik kandungku,
Andries, pengusaha apotek di Tanjung Priok. Seorang anak lainnya
putri. Hubungan kami baik-baik saja akan tetapi karena tertelan
kesibukan masing-masing kami belakangan jarang berkomunikasi.
Tapi
pada suatu hari yaitu tanggal 9 Mei 1998, Andries menceritakan
aktivitas kedua putranya kepada Mami kami. Dia amat khawatir pada
mereka. Mami ikut berprihatin tentang kedua cucunya itu lalu minta
Andries berkonsultasi denganku. Adikku itu langsugn datang padaku
petang harinya, dengan wajah sanagt tertekan akibat aktivitas kedua
anak lelakinya yang disebutnya mulai “bermasalah”. Pada awalnya
aku terkejut dan membayangkan kedua keponakanku itu terlibat masalah
narkoba atau kejahatan lainnya. Alangkah sedihnya.
Para
korban narkoba itu membawa kesedihan dan kesengsaraan tak hanya pada
orangtuanya tapi juga teman dan lingkungannya. Siapa yang tega
melihat anaknya menderita seperti itu? Ia takkan mudah lepas dari
jeratan barang haram semacam itu. Apalagi jika anak mereka terjerat
dalam sindikat jual-beli barang haram tersebut, maka jeruji besi akan
siap menanti kapan saja. Itulah bayanganku ketika Andries datang
padaku.
Aktivitas
“berbahaya”
Ternyata
tidak! Andries menegaskan, kedua anaknya tidak terjerat
masalah semacam itu, tapi terlibat aktivitas yang menurutnya cukup
berbahaya.
“Apa?
Aktivitas berbahaya?” begitu aku bertanya pada adikku. Dalam hati
aku bertanya-tanya smapai sejauh mana tingkat “bahaya” itu?
Andries
lantas bercerita bahwa kedua putranya yang mahasiswa itu telah terjun
ke dalam gerakan mahasiswa untuk menggulingkan Presiden Suharto.
Kegiatan itu digambarkannya sedemikian jauh sehingga mereka jarang
pulang, dan amat membatasi komunikasi dengan kedua orangtuanya.
Pokoknya mereka menjadi misterius. Tentu saja mendengar kedua cucunya
terlibat dalam aktivitas yang kala itu dianggap membahayakan dirinya,
Mami mengalami syok berat.
Adikku
bercerita kedua anaknya sering dijemput seseorang di depan apoteknya
memakai taxi setelah mendapat panggilan telepon dari seseorang. Aku
sendiri menyaksikan, selama ini kedua keponakan tersebut tak suka
memakai ponsel dengan alasan agar menghemat pengeluaran. Tapi pada
suatu saat kemudian aku memergoki keduanya memegang masing-masing
satu ponsel. Mereka nampak terkejut melihat aku mengetahuinya dan
buru-buru berkata benda-benda itu milik kawan-kawannya.
Tentu
aku tak percaya begitu saja. Kutanya mereka macam-macam sehingga
akhirnya mereka mengaku terlibat dalam usaha menentang pemerintahan
Presiden Suharto. Mereka menganggap sudah tak dapat dipertahankan
lagi. Keduanya mengaku tak pernah tahu siapa yang menggalang mereka
dan hanya mendapat perintah dari ponsel secara sepihak. Pada
saat-saat yang diperlukan mereka akan dihubungi dan mengadakan janji
bertemu di suatu tempat dengan kode-kode tertentu.
Hal
itu aku sampaikan kepada suamiku, Johny Lumintang, yagn sering aku
panggil JL.
Ketika itu ia menjabat sebagai Asisten Operasi (Asops) pada Kepala
Staf Umum (Kasum) ABRI Letjen TNI Fachrurozi. Ketika mendengar cara
kerja mereka JL terkejut. Dia bilang teknik-teknik semacam itu sudah
termasuk ke dalam kategori kegiatan intelejen. Ia paham betul bahwa
kegiatan semacam itu bisa membahayakan kedua keponakanku. Aku menjadi
khawatir mendengarnya. Dalam khawatiranku semacam itu JL punya ide
agar keduanya diungsikan ke Irian Jaya, hendka dititipkan kepada
seorang rekannya yang dapat dipercaya.
Meneruskan
perjuangan
Tawaran
itu ditolak oleh keduanya. Mereka tetap kukuh ingin meneruskan
perjuangan sampai Presiden Suharto benar-benar bisa dilengserkan.
Penolakan kedua cucu menjadikan Mamiku semakin takut, sedih, dan
panik. Akibatnya kadar gula dalam darah semakin meningkat tanpa dapat
dikendalikan lagi. Aku harus mengawasinya baik-baik sambil mencarikan
obat-obatan baginya.
Di
luar sana aksi-aksi mahasiswa terus menggelombang. Demo demi demo
terus datang susul menyusul. Sejak kedatangan Andries pada 9 Mei itu
pikiranku ikut tertambat pada mereka. Harus diakui tujuan mahasiswa
itu tentunya baik dan murni tapi pemerintahan ketika itu masih kuat
dan orang belum dapat meramalkan apa yang yang bakal terjadi
nantinya. Maka wajarlah kalau kami semuanya selalu berdebar-debar
memikirkan kedua orang keponakan tadi. Aku puji mereka para mahasiswa
itu sebagai anak muda yang cukup tanggap terhadap tuntutan jaman
seperti kami dulu yang menghendaki sebuah reformasi setelah puluhan
tahun berada dalam keadaan tertekan.
Bakat
“turun-temurun”?
Nampaknya
kedua orang keponakanku itu menuruni “bakat” turun-temurun dari
Opanya, yaitu almarhum Papiku, Pieter Riupassa. Beliau adalah pejuang
kemerdekaan yang darah-dagingnya tulen berjuang mengabdi ke pada
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perjuangannya tidak hanya muncul ketika pecah perang kemerdekaan
saja, tapi hingga akhir hayatnya amat dekat dengan rakyat kalangan
bawah. Pergaulannya luas termasuk dengan Bung Karno segala. Mereka
berteman baik.
Di
tahun 1966 kakak kandungku ikut berjuang menumbangkan Orde Lama dan
membangun pondasi Orde Baru. Ia tergabung ke dalam Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI), sedangkan aku berada di Kesatuan Aksi
Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI).
Goyangan
terhadap pemerintahan Presiden Suharto kian keras hingga riaknya
menyebar di kalangan bawah dan menajdi diskusi menarik. Beberapa
pasien di klinikku sesekali juga mengomentari kejadian-kejadian yang
muncul antara 9 hingga 11 Mei.
(BERSAMBUNG
– Bagian 3 mendatang: Jatuh korban penembakan)
Komentar
Posting Komentar