-
BAGIAN-10 – Hari ke-9, 19 Mei 1998: Makin panas
Aku masih
ingat bagaimana Presiden Suharto membikin kompromi-kompromi untuk tidak mundur
begitu saja, antara lain menawarkan perombakan kabinet dan sebagainya. Tapi
nampaknya gayung tak bersambut. Dalam sebuah berita yang dilansir oleh stasiun
TV asing yang tertangkap siarannya di Ratahan, Presiden Suharto dinyatakan
tidak jadi dan tidak mau mengundurkan diri.
“Aduh, gawat
nih,” kataku. Meskipun aku bukan orang politik, tapi ketika itu aku sudah
merasa bahwa akan terjadi gelombang kekerasan lagi, yang mungkin saja lebih
besar dari yang sebelumnya. Logikanya sederhana saja. Kalau ada dua kekuatan –
yaitu Presiden Suharto serta penentangnya saling bersikukuh untuk bertahan maka
clash pasti akan terjadi. Akan muncul
benturan-benturan yang dahsyat yang aku sendiri tentu tak mampu untuk
memperkirakannya.
Lalu
terbayanglah olehku kepulan-kepulan asap, kobaran api serta gelombang massa
liar yang mengobrak-abrik Jakarta, merusak, membakari dan membunuhi orang-orang
tak bersalah.
Ya Tuhan
jangan biarkan hal itu terjadi.
Masalahnya
jika ada dua kekuatan bertumbuk maka yang menjadi korban tidak ada lain lagi
kecuali rakyat yang tak berdosa. Para pemimpin di atas bertempur maka rakyatlah
yang akan menjadi korbannya, compang-camping terkoyak oleh badai kekerasan.
Jika ada dua gajah berkelahi maka pelanduk mati di tengahnya. Begitu kata
peribahasa yang selalu diingatkan oleh para leluhur kita.
Terus terang
hatiku gusar, sedih, dan jengkel melihat perkembangan terakhir itu.
Beberapa orang
tokoh masyarakat, di antaranya para pemuka agama, berusaha untuk menghadap
Presiden Suharto dan menasihati agar mundur supaya keadaan tidak bertambah
buruk lagi. Sampai malam harinya aku belum mendapatkan informasi mengenai
perkembangan politik yang baru.
Aku masih
sempat berhubungan telepon dengan suamiku, tapi pembicaran berjalan sangat
singkat. Kukira keadaan bertambah gawat.
(BERSAMBUNG – Bagian 11: Gagal membujuk ‘Babe’)
Komentar
Posting Komentar