-
BAGIAN-14 – Hari ke-13, 23 Mei 1998: “Petir” datang: suamiku diganti
Malam
bergulir melewati pukul 24.00 dan datanglah pagi 23 Mei 1998. Sulit mataku
memejam sejak semalam walaupun suamiku dilantik menjadi Panglima Kostrad.
Sejumlah pertanyaan masih bergayutan: Berhasilkah dia menjalankan tugasnya
mengeluarkan para mahasiswa dari Senayan? Atau gagalkah dia? Apakah keadaan
semakin memburuk? Pertanyaan ini terus mengaduk-aduk pikiranku. Ketika pagi
semakin menggelinding, aku pun jatuh tertidur.
Tibat-tiba
pada pukul 02.30 ponselku berdering berkali-kali. Aku bangun meraihnya.
Ternyata dari suamiku yang sedang bersusah-payah menjalankan tugasnya selagi
penduduk Jakarta masih terlelap dalam tidurnya.
“Mah, doa kita
dikabulkan, mahasiswa sebagian besar sudah keluar,” katanya. Para mahasiswa itu
memilih menggunakan kendaraan Korps Marinir daripada milik Kostrad yang sudah
disediakan. Ia bercerita tak ada insiden apa-apa semalam semuanya berjalan
lancar, mulus, mahasiswa ikhlas meninggalkan Gedung MPR/DPR. Suamiku itu
menceritakan bahwa malam harinya dalam briefing di Markas Garnisun ibukota
yang terletak di dekat Markas Kostrad, JL minta agar anak buahnya bertindak
hati-hati namun tetap waspada.
JL menekankan
agar semua senjata dikosongkan karena mereka berhadapan dengan rakyat, dengan
anak-anak serta saudara-saudaranya sendiri.
Dalam tayangan
televisi yang disiarkan CNN, NHK, NBC, dan lain-lainnya, nampak olehku betapa
lintang pukangnya keadaan di Gedung MPR/DPR itu. Kini dengan usaha keras
suamiku serta seluruh aparat yang bertugas, gedung itu pulih kembali dan siap
dipakai untuk bersidang.
Tanpa sadar
aku berlutut memanjatkan doa kepada Tuhan atas segala pertolongan-Nya yang
telah diberikan. Aku bersyukur sekali. Terima kasih ya Tuhan.
Aku pun kemudian jatuh tertidur lelap sekali.
******
Belum lagi
sejam mendengar berita yang amat menggembirakan itu lantas datanglah “petir”
yang menggelegar di atas keluargaku. Petir yang meledak tiba-tiba dan sama
sekali di luar perhitungan kami. Sebuah kejutan yang bukan saja membikin aku
terkejut tapi terlebih dari itu telah memukul hati nuraniku begitu kejamnya
hingga hampir-hampir membuatnya runtuh.
Sungguh, suatu
berita yang tak masuk akal, ironis sekali, dibandingkan dengan keberhasilan
tugas suamiku. SUNGGUH!
Saat itu
kuperkirakan pukul 03.20. terdengar dering dari ponselku. Aku bangun dan
meraihnya. Ternyata telepon dari JL, suamiku, yang tengah menjalankan tugas.
Agak lama ia
tak berkata apa-apa baru kemudian ia berucap dengan suara yang
terbata-bata dan sedikit parau.
“Mah, aku akan pensiun saja…..,”ujarnya.
“Lho, kenapa Pah?” tanyaku terkejut sekali. Baru saja
ia memberitakan kabar yang menggembirakan mengenai keberhasilannya dalam
menjalankan tugas dan sejam kemudian suasana berubah 180 derajat! Sungguh,
mencurigakan sekali!
“Nanti siang aku akan diganti, dan tongkat komando
serta baret hijau akan kukembalikan,” ujarnya kemudian dengan nada yang masih
pelan mengharukan hatiku.
Agak lama juga aku mampu menjawabnya karena berita ini
benar-benar mengejutkan hatiku dan mungkin juga hati semua orang yang mengerti
keadaan kami saat itu. Setelah aku mampu lagi untuk mengucapkan kata-kata,
kubilang padanya:
“Terus gimana Pah? Rencana ulang tahun perkawinan kita
hari ini?”
“Batalkan saja, Mah….,” jawabnya.
Aku tahu suamiku sedang gundah hatinya.
“Lho, kok gitu, Pah, katanya kita enggak kerja buat
para jenderal, justru Papahlah dulu yang sering berkata bahwa kita menjalankan
tugas hanya untuk Merah-Putih,” kataku.
Suamiku itu masih berkata: “Sudahlah Mah, hidup kita
bukan kita sendiri yang mengatur…”.
Ketika hubungan telepon itu ditutup, aku langsung
menjerit menangis! Kasihan suamiku!
“Ya Tuhan, kenapa Johny dilecehkan oleh mereka?”
Badanku lemas luar biasa, membayangkan bagaimana
suamiku harus menerima keadaan yang seperti itu. Nasib datang silih berganti
hanya dalam hitungan menit. Apa yang terjadi pada Johny sangat menyakitkan.
Yang aku sesali saat itu adalah nasib suamiku, seolah-olah ia hanya dipakai
untuk mengatasi hal-hal yang begitu rumit untuk kemudian setelah berhasil
dicampakkan begitu saja.
“Itu tidak adil!” teriakku. Ini benar-benar kado yang
menyakitkan pada hari ulang tahun perkawinan kami yang ke-25, tanggal 23 Mei
1998 hari ini, masa Kawin-Perak yang biasanya dirayakan secara khusus. Kami
sudah menyusun acara antara lain doa bersamalah yang terpenting yang akan
diadakan bersama kawan-kawan gereja.
Rencana sudah kami bikin dan karena bersamaan dengan diangkatnya suamiku
menjadi Panglima Kostrad, maka sekaligus kami adakan syukuran juga.
Tapi kenyataan terakhir sungguh tidak memungkinkan
kami melaksanakan itu semua. Ulang tahun perkawinan ke-25 seharusnya dirayakan
meriah sekali sebagai batu penanda keberhasilan kami dalam membina rumahtangga,
hancur berantakan, dan menghadapi keadaan yang ironis. Kami harus berprihatin.
Akhirnya setelah emosiku meleram, dan hatiku mulai tenang kembali, aku meraih
gelas dan meminum air putih agar emosiku semakin mereda.
Pukul 05.00 pagi hari aku bangkit dari tempat tidurku
dan membuka pintu kamar tidur. Apa yang pertama kali aku lihat adalah
pemandangan yang amt menyakitkan hati, seolah-olah mengejek, meledek nasib kami
berdua saat itu. Yang nampak di hadapanku adalah sederetan lima atau enam
karangan bunga berisi ucapan selamat atas diangkatnya Mayjen TNI Johny
Lumintang sebagai Panglima Kostrad! Bayangkan! Ironis bukan?
Karangan bunga tersebut tentu dikirim sebagai rasa
suka dan bahagia dari para sahabat, handai taulan, serta para anggota keluarga.
Sayangnya karangan bunga itu datang justru setelah Panglima Kostrad yang baru
dilantik semalam dan ternyata kini sudah diberhentikan dari tugasnya, beberapa
jam saja setelah serah terima jabatan. Tentu saja emosiku bangkit kembali.
Karangan bunga ucapan selamat justru datang ketika
suamiku sudah diberhentikan. Tentu saja para sahabat yang mengirim bunga itu
tak akan menyangka kejadian yang ironis yang kami alami, mengira normal-normal
saja seperti pelantikan para panglima lainnya.
Kusingkirkan karangan-karangan bunga dari para sahabat
itu. Aku tak tega ketika pulang ke rumah nanti JL mendapatkan karangan bunga
yang kontroversial itu.
Pembantuku terkejut dan tergopoh-gopoh mendekati. Ia
berpikir aku tak suka dengan bunga-bunga itu ada di dalam ruangan. Memang
selama ini aku sering berpesan kepada para pembantu agar tidak menaruh bunga
atau tanaman lainnya di dalam ruangan karena mengganggu kesehatan.
“Cepat singkirkan bunga-bunga ini keluar sana!”
perintahku.
Akan tetapi pembantuku yang lugu itu justru menjawab:
“Bu, di luar sana masih ada, banyak sekali, lihat……”.
Dan memang ternyata di bawah ada bertumpuk-tumpuk
karangan bunga yang datang pagi ini dari berbagai pihak yang ikut bergembira
atas diangkatnya suamiku sebagai Pangskostrad! Alamaaak!
“Sekarang singkirkan semua karangan bunga ini
cepat-cepat sebelum Bapak datang. Suruh para sopir dan pengawal menyingkirkan
bunga-bunga itu ke tempat yang tak terlihat oleh Bapak,” perintahku. Aku
khawatir karangan bunga itu membikin suamiku hancur.
“Mengapa? Ada apa, Bu?” tanya dengan polos.
Saat itu sudah pukul 6.30, sudah waktunya koran pagi
langganan kami datang. Nah, isinya benar-benar membikin hatiku kesal! Mereka
umumnya masih menyiarkan berita pengangkatan JL sebagai Pangskostrad. Padahal
kenyataannya, pagi itu ia sudah dicopot dari jabatannya. Pemberitaan itu
dilengkapi dengan komentar-komentar.
Tentu saja sangat ironis dan menyakitkanku. Itu belum
seberapa. Dalam berita pagi di televisi, ditayangkan berita pelantikan Mayjen
TNI Johny Lumintang sebagai Pangskostrad tadi malam. Aduh mak. Sampai kapan
lagi kami mendenagr berita-berita terlambat seperti itu?
Nampaknya kejadian yang dialami JL benar-benar jarang
terjadi bahkan wartawan yang palign tajam penciumannya pun tak semapt
mengoreksi berita terakhirnya, bahkan mungkin tidak tahu. Berita pencopotan
Johny Lumintang tak terendus oleh mereka karena terjadi pada dini hari selagi
koran-koran telah selesai naik cetak. Wartawan televisi belum sempat
menyorotkan kameranya kembali.
Pukul 07.00 adikku Andries menelepon. Semula ia hendak
menyampaikan selamat. Tapi ia pun terkejut bukan main atas apa yang menimpa
abang iparnya.
“Mereka melecehkan Johny…,”kataku padanya. Kabar itu
dengan cepat menyebar ke saudara-saudaraku termasuk ke Mamiku.
Pukul 08.00 Mami dan adikku itu tahu-tahu sudah tiba
di tempat tinggalku di Permata Hijau. Mereka ingin tahu apa sebenarnya yang
menimpa Johny Lumintang. Lantas kuceritakanlah semuanya kepada mereka. Mami
berusaha untuk menenangkanku, karena mungkin ia melihat aku begitu tertekan.
Serah terima jabatan dari JL ke penggantinya, Mayjen TNi
Djamari Chaniago dilaksanakan pukul 09.00. Setelah selesai JL Cuma bilang
kepada KSAD:
“Bag (Soebagyo), aku pulang,” itu saja yang
diucapkannya, dan menurut penuturannya kemudian kepadaku suamiku itu langsung
pulang tanpa bersalaman kepada siapa pun juga.
Pukul 10.00 lebih sedikit suamiku tiba di rumah.
Ajudan memberi tahu bahwa JL akan segera tiba. Mami berkata padaku agar tenang
saja, supaya suamiku tidak terbawa oleh emosiku. Ia sudah sehari semalam tidak
tidur dan justru terlibat dalam masalah yang berat dan pelik yang menguras
tenaga, pikiran maupun nuraninya.
Ketika aku membuka pintu apartemen, yang muncul di
hadapanku adalah seorang perwira tinggi yang wajahnya letih dan kusut. Sudah
sehari semalam ia didera persoalan yang berat.
Nampaknya Mami mengetahui situasi semacam itu. Ia
lihat menantunya begitu capai dan letih. Setelah berbasa-basi sebentar menyapa
Mami JL duduk beristirahat. Mami memberi isyarat padaku agar segera mengajak JL
masuk ke kamar untuk beristirahat, menenangkan pikiran dan tidak terganggu oleh
tamu-tamunya.
Tak lama kemudian JL tidur melepaskan semua
kelelahannya.
Pukul 13.00 ia bangun, dan nampaknya pikirannya sudah
segar kembali, kelihatan lebih fresh.
Ia ternyata mampu mengendalikan emosinya sendiri, tak terbawa perasaannya.
“Tidak apa-apa kok Mah, sebagai prajurit aku ‘kan siap
menghadapi tugas dan perintah apa pun juga dari atasan….,” ujarnya dengan
tenang, mendongakkan kepalanya ditopang pakai kedua belah tapak tangannya. Aku
diam, tapi sungguh tak mengerti apa sebenarnya yang bergejolak di dalam hatinya
waktu itu.
Sebagai istrinya aku hanya mampu menatapnya dengan
rasa iba atas peristiwa yang baru saja dialaminya.
Rasa cinta kasihku semakin dalam padanya……………
Teks
foto: Johny Lumintang ketika masih
Taruna di Akabri, Magelang.
(BERSAMBUNG – Bagian 15: Epilog)
Komentar
Posting Komentar