Langsung ke konten utama

13 Hari tegang sekitar Suharto lengser








-          BAGIAN-11 – Hari ke-10, 20 Mei 1998: Gagal bujuk ‘Babe’

Pada keesokan harinya terjadi perkembangan yang menarik. Waktu itu kami berkumpul di ruang tengah rumah di Ratahan guna menyaksikan perkembangan politik di Jakarta.
Terlihat dalam tayangan TV bahwa sejumlah tokoh masyarakat seperti KH Abdurahman Wahid, Dr. Nurcholish Madjid, Emha Ainun Najib, dan lain-lainnya baru saja mengadakan diskusi mengenai perkembangan terakhir di tanah air. Di lain bagian laporannya TV menayangkan bagaimana aparat keamanan mulai memasang barikade kawat berduri tajam di beberapa tempat.
Tokoh-tokoh itu mengatakan bahwa Pak Harto masih nampak kukuh tidak mau bergeser dari posisinya. Kudengar juga acara kumpul-kumpul di Monas yang semula digagas oleh Dr. Amien Rais dibatalkan. Ia antara lain mengatakan tak perlu menambah korban lagi hanya untuk menurunkan seorang kakek-kakek.
Mendengar itu semua badanku merinding. Entah apa yang terjadi waktu itu, tapi ucapan Dr. Amien Rais mengandung pernyataan samar-samar bahwa pengosentrasian demonstran di Monas boleh jadi akan menjatuhkan korban selain mahasiswa Trisakti tempo hari.
Entahlah. Yang jelas hatiku bertambah miris saja. Berita-berita lainnya sebelumnya mengatakan para demonstran telah memasuki Gedung MPR/DPR tanpa dapat ditahan-tahan lagi. Mereka menggugat Ketua MPR/DPR Harmoko untuk mendengarkan tuntutan rakyat dan segera menentukan sikap.
Mereka menuntut Sidang Umum Istimewa untuk meng-impeach Presiden Suharto. Di layar kaca nampak mantan aktivis Angkatan 66 dan juga salah seorang pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yaitu Dr. Adnan Buyung Nasution berkata keras-keras kepada Harmoko untuk menyuarakan tuntutan rakyat itu.
Sedangkan suamiku, sedang ada di tengah pusaran politik yang santer tanpa jelas juntrungannya. Tentu saja ia takkan terbuka padaku untuk hal-hal yang sensitif  tapi aku sudah merasakan bagaimana repotnya posisinya di waktu itu.
Yang terlintas dalam pikiranku waktu itu adalah yang penting semuanya selamat dan di bawah lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa. Dadaku berdebar-debar menunggu apa lagi yang akan terjadi.


(BERSAMBUNG – Bagian 12: Presiden Suharto mundur!)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par