Langsung ke konten utama

13 Hari tegang sekitar Suharto lengser





-          BAGIAN-8 – Hari ketujuh 17 Mei 1998: Mundur! Teriaknya

Sekarang hari Minggu. Aku telah bangun pagi-pagi lalu berjalan-jalan mengelilingi kebun. Udara di daerah Ratahan masih sangat segar belum terpolusi berat seperti Jakarta. Daerah ini sejuk, damai, penuh pepohonan seperti nyiur serta cengkih.
Berita mengenai Jakarta masih saja mengenai kerusuhan yang terus saja terjadi. Sementara itu sejumlah tokoh nasional semakin keras menyuarakan reformasi total. Beberapa di antaranya malahan terus terang menginginkan Presiden Suharto mundur, meletakkan jabatannya.
Hanya sebatas tuntutan saja yang mampu mereka suarakan hingga saat itu sebab pada kenyataannya posisi Presiden Suharto masih cukup kuat, sementara MPR dan DPR belum mengadakan sidang apa pun juga. Radio Australia yang saya dengar memberitakan ketegangan masih saja terjadi di ibukota.
Beberapa kali aku berusaha mengontak JL tapi selalu gagal. Kelihatannya dia sangat sibuk dalam keadaan seperti itu. Saya pun kemudian memahaminya.
Demonstrasi kian membesar dan dengan lantang mereka menuntut Presiden Suharto untuk mundur saat itu juga. Terjadi bentrokan horisontal di mana-mana. Pendukung Presiden terlibat bentrok dengan penentangnya. Selain itu para pendemo juga bentrok melawan aparat keamanan.
Dari Ratahan aku membayangkan suasana Jakarta dan juga sejumlah kota besar lain yang semakin genting. Dadaku terasa sesak setiap kali mendengar berita semacam itu. Protes atas gugurnya empat orang mahasiswa Trisakti semakin membesar. Kelihatannya insiden itu dijadikan titik-tolak atau pemicu untuk meningkatkan tekanan kepada pemerintah.

Menuju ke gedung MPR/DPR
            Gelombang unjuk rasa mahasiswa mulai menuju ke gedung MPR/DPR RI yang mereka anggap selama itu hanya menjadi “tukang stempel” pemerintah saja. Mereka menuntut tanggung jawab para wakil rakyat atas segala keruwetan yang timbul.
            Aparat keamanan diturunkan penuh guna menjaga obyek-obyek vital serta perkantoran penting. Namun dari pemberitaan yang saya terima lewat radio, televisi mereka sudah tak mampu lagi membendung gelombang massa yang menggerayangi pertokoan. Di beberapa tempat personel keamanan menembakkan gas airmata untuk membubarkan kerumunan massa. Akan tetapi begitu satu kelompok dapat dihalau, kelompok lainnya datang menggantikan, begitu terus menerus terjadi.
            Kulihat di tayangan televisi aparat keamanan tak bisa berbuat banyak kecuali berdiri tanpa daya untuk menahan gelombang massa penjarah yang jumlahnya ribuan, berlipat-lipat lebih besar dibandingkan aparat keamanannya sendiri. Mereka menyaksikan tanpa daya untuk mencegah orang-orang mengangkuti berbagai barang berharga seperti komputer, kulkas, stereo-set, dan lain-lainnya. Sungguh pemandangan yang menyayat hati, mengingat bagaimana sedihnya para pemilik asli barang-barang itu.
            Kelihatannya massa datang dari perkampungan kumuh yang amat menderita selama itu, ditambah dengan beban kesulitan yang menindih di saat terjadinya krisis ekonomi sejak setahun sebelumnya.   

(BERSAMBUNG – Bagian 9: Hari-hari yang alot)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par