Langsung ke konten utama

Mengeruk Gunung Mengais Rejeki



Mengeruk Gunung Mengais Rejeki
Oleh Adji Subela
Jika Anda berjalan-jalan ke Kecamatan Sampung, Kab. Ponorogo, Jatim, maka pemandangan pertama yang mengikat mata adalah hutan jatinya. Yang kedua di kejauhan nampak gunung kapur yang krowak (terkeruk) dengan menyisakan batu-batu kapur atau batu gamping mentah putih kekuningan.
Batu gamping (limestone) ini menjadi komoditas penting Sampung sejak puluhan tahun lalu. Batu kapur yang sudah masak dipasarkan di dalam kota hingga ke luar kota lainnya seperti Madiun, Ngawi, Surabaya, dan sebagainya.
Proses pembuatan batu gamping ini sebetulnya sederhana saja. Bongkah-bongkah batu kapur mentah dibakar mencapai suhu k.l. dua ratus derajat Celcius selama 24 jam guna mengeluarkan kandungan air di dalamnya. Setelah ‘masak’ maka batu kapur telah berubah menjadi batu gamping yang memiliki kandungan kalsium lebih murni lagi.

Untuk menggunakan batu gamping itu, orang merendamnya ke dalam air dingin hingga bergolak panas karena reaksi kimia menjadi batu kapur kembali. Teknik ini pada jaman dulu dipakai untuk mencat dinding rumah, karena pada waktu itu belum ada cat tembok sintetis.
Untuk campuran bahan bagunan, batu gamping cukup diratakan di tanah kemudian disemprot pakai air. Selain mengeluarkan panas, batu gamping itu kemudian hancur menjadi hablur-hablur batu gamping siap sebagai campuran semen tembok. Di samping itu kegunaan batu gamping masih banyak lagi.
Kini tempat pembakaran kapur (tobong) yang masih beroperasi di wilayah ini tinggal enam, lainnya sudah tutup karena merugi, di samping permintaan akan batu gamping tidak sebanyak tahun 50 hingga 60-an.
Tobong-tobong yang masih bertahan pun umumnya hanya meneruskan usaha keluarga saja. Salah seorang pemili tobong ini adalah Bu Karti.
Kapasitas muat tiap-tiap tobong rata-rata 13 ton sekali proses pembakaran. Bahan bakarnya dicari yang murah-murah seperti serbuk gergaji, bekas pemotongan kayu (tatal), sampah daun kayu putih bekas prosesing minyak kayu putih, dan sebagainya. Selama dua hari dua malam api dipertahankan terus, supaya proses pembakaran tidak terganggu.
Untuk kegiatan sekali pembakaran Bu Karti membayar kuli sebanyak delapan (8) orang, baik yang menunggu tungku api (tiga orang), pengeruk kayu bakar tiga orang, dan pembersih lubang tobong dua orang.
Batu kapur mentah ia dapatkan dari badan pengelola gunung kapur, yaitu aparat Pemerintah Daerah. Mereka inilah yang mengerjakan peledakan gunung memakai dinamit dan menjualnya kepada pada boss tobong. Sekali pembakaran umumnya memerlukan 20 rit truk pengangkut. Totalnya, Bu Kati harus mengeluarkan modal sekitar Rp.5 juta sekali bakar.
Bila kapur telah masak, maka pedagang datang membeli batu gamping itu memakai truk dan empat orang kuli. Jumlah penjualannya, menurut Bu Kati, rata-rata Rp.5,2 juta, sehingga keuntungan bersihnya ‘cuma’ Rp.200 ribu per pembakaran, jadi tiap dua hari sekali. Bahkan terkadang mereka terpaksa melepas batu gampingnya di bawah angka modal.
“Kenapa masih bertahan, Bu?”
“Ya, mau kerja apa lagi, Pak. Kami rata-rata orang asli Sampung sini, dan tahunya ya cuma membakar batu-batu seperti itu,” jawab Bu Karti.
“Tapi paling tidak kami bisa membantu delapan orang kepala keluarga untuk tetap bisa bertahan hidup,” tambahnya. Jika ada enam tobong, berarti ada 64 kepala keluarga yang menggantungkan hidupnya dari tobong-tobong ini.
Gunung kapur Sampung cukup besar. Bahkan ketika sudah diekploitasi puluhan tahun, baru sekitar ¼ saja yang terbuka. Bagian lainnya masih tertutup semak belukar yang tidak ekonomis.
Jika kita berdiri di punggung gunung kapur Sampung itu maka akan nampak hamparan hijau luas di bawah hingga ke ibukota Kabupaten Ponorogo. Gedung DPRD yang bertingkat enam menjadi gedung jangkung pertama kota itu dapat dilihat dari sini bila cuaca cukup bagus.
Tanah putih yang terhampar cukup menarik, ketika diselingi semak-semak dan pohon-pohon kering meranggas dimakan musim kemarau. Di sana perempuan-perempuan tua masih rajin memecah batu gamping agar dapat dibeli pedagang batu gamping keliling yang memakai sepeda motor. Dahulu mereka menggenjot sepeda dengan beban puluhan kilo sejauh belasan kilometer pula.
Terimakasih kepada teknologi dan pembangunan negara, karena mereka kini pada tengkulak kecil itu sudah memakai sepeda motor atau mobil pickup. Tapi di tingkat yang lebih baik itu mereka masih mengeluh soal sulitnya mencari uang. Sama seperti dulu juga.
Teks foto: Atas - para pekerja sedang membongkar dan memuatkan batu gamping ke truk
Bawah - Tobong, tungku pembakaran batu kapur menjadi gamping

Komentar

  1. Teringat masa kecil bersama ortu,mereka membiayai hidup dan pendidikan 13 anak nya dari usaha ini. Salam hangat dari Bogor utk. kampung halaman tercinta. THE GREAT STONES FROM BANTARANGIN.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima