Gambar kanan: Saya dipotret teman wartawan Le Provencal, Marseille, Prancis, di depan gedung Parlemen Eropa, Rue Belliard, Brussel, Belgia.
- “Tolong ceritakan pada saya....”
(Hanya untuk orang dewasa)
Tulisan ini bersifat laporan jurnalistik. Isinya bukan berupa pendapat pribadi dan tidak menggambarkan persetujuan penulis, tapi laporan sesuai apa yang dilihat, dan didapatkan keterangan lainnya mengenai materi kongres, sesuai perannya sebagai reporter. Kalau di sana-sini ada terselip pandangan pribadi, tidak menunjukkan persetujuannya, dukungan atau penolakannya terhadap materi liputan.
Oleh Adji Subela
Saya girang sekali menemui bulan Oktober 2011 ini. Ada keinginan untuk merayakan satu karya ‘masterpiece’ yang pernah saya buat tepat 25 tahun lalu. Satu ‘mahakarya’ dalam pekerjaan saya di bidang jurnalisme sejak 1977 hingga tahun 2004 (27 tahun) setelah saya memutuskan untuk menjadi penulis lepas saja.
Perkenanlah saya menyombongkan diri sedikit sebab sudah lama sekali saya tidak melakukannya. Saya sebutkan tadi ‘mahakarya’, karena sejak karya itu muncul di SKH Pos Kota, dari tanggal 20 hingga 26 Oktober 1986, saya tidak pernah mampu membikin artikel yang begitu banyak dibaca orang, dan banyak pula mendapatkan reaksi dari pembaca, baik langsung maupun tidak. Isinya macam-macam, dari petuah agama hingga dorongan moril untuk “terus berjalan ke arah maksiatisme”, atau kritik-kritik teknis. Pro dan kontra. Dan gara-gara artikel ‘menggegerkan’ itu pula saya kehilangan kesempatan untuk memacari seorang gadis cantik dari keluarga sangat baik-baik dan terhormat, yang berdomisili di daerah elite di Jakarta. Orangtuanya belum paham benar tugas wartawan itu macam apa. Tapi di kalangan kolega para wartawan, termasuk para senior yang bekerja di koran-koran besar, mereka menyatakan salut, selain ada yang sinis dan bercuriga. Beberapa pertanyaan meluncur, di antaranya, “Kok Anda tahu-tahunya ada kongres begituan,” atau, “Wah, asyik dong..ssshhh hemm...hemmm.....,” begitu salah seorang kolega asyik berfantasi sendiri.
Wartawan senior dari SKH Kompas Bung Agus Parengkuan, bilang, sebetulnya kalau artikel itu ditulis selama sebulan lebih, pasti masih banyak orang yang membacanya. Sayangnya redaksi saya tetap minta cukup seminggu saja. Barangkali itu salah satu upaya untuk “menyelamatkan” saya juga. Sampai beberapa minggu, asal saya bertemu dengan pejabat pemerintah atau narasumber selalu dikenalkan nama, jabatan dan apa yang saya kerjakan di awal Oktober 1986 hingga apa yang saya tulis kemudian. Banyak di antara mereka ketawa dan berkomentar, “Aduh hebat, dong.”
Saya yakin rata-rata mereka mengira saya langsung gila seperti Kaisar Ketiga Kekaisaran Romawi yaitu Caligula yang hidup antara 16 Maret 37 Masehi hingga 24 Januari 41 Masehi dulu itu. Berpesta-pora orgy tanpa batas. Mereka lupa saya cumalah seorang wartawan, reporter, pelapor atas kejadian yang ada. Di samping itu dompet saya menjadi salah satu penghambat efektif untuk mencegah lebih dari pekerjaan saya. Begitu banyak efek pada saya gara-gara artikel itu.
Maka pantas ‘kan? Kalau saya merayakan 25 tahun ‘mahakarya’ ‘masterpiece’ itu? Pada kenyataannya, tidak banyak wartawan yang mendapatkan kesempatan emas untuk hadir di satu peristiwa yang membikin semua orang – terutama perempuan – bergidik kejijikan. Tentu saja saya tulis pengalaman ini dengan risiko bahwa orang akan menganggap saya sebagai bagian dari komunitas yang akan saya liput, atau paling apes seorang pendosa. Mungkin saya pendosa tapi bukan di bidang itu.
Saya memaklumi itu semua, sebab tidak banyak orang yang memahami pekerjaan wartawan. Orang selalu mengira wartawan ‘pasti’ terlibat dalam apa yang ditulisnya. Padahal prinsip dasar pelaporan jurnalistik itu, justru wartawan tidak boleh larut dalam sumbernya, sebab tidak akan obyektif. Dia mewakili semua golongan pembaca yang tentu berbeda-beda pendapatnya. Inilah doktrin jurnalisme yang diajarkan kepada saya di sekolah dulu dan saya praktikkan di bawah bimbingan para senior yang profesional.
Tentu prinsip atau doktrin demikian ini pada saat sekarang dipertanyakan eksistensinya karena para wartawan muda tidak tahu atau pun mungkin tak mau lagi memegang prinsip obyektif, faktual, steril, berimbang. Ini menyedihkan.
Baiklah sebenarnya apa ‘masterpiece’ yang saya gembar-gemborkan dengan agak berlebihan itu? Ceritanya begini:
Ide dari berita sekolom
Pada suatu siang di bulan September 1986, saya sudah lelah ke sana ke mari mencari narasumber tak bersua juga. Pagi-pagi saya ke DPR RI di Senayan, Jakarta, tapi tak mendapatkan narasumber yang saya kehendaki. Maka saya pun meluncur ke Press Room Markas Besar Hankam/ABRI di Jalan Merdeka Barat. Di sana enak sebab sepi (jarang wartawan mau singgah di tempat ini dengan alasan “seram”) AC-nya dingin dan ada banyak kenalan di situ.
Tanpa sengaja saya baca bundel SKH Sore Sinar Harapan edisi kemarinnya. Salah satu rubrik yang saya tidak pernah lewatkan adalah berita kecil-kecil dari luar negeri, karena banyak isinya yang menarik. SKH Kompas juga memiliki rubrik seperti itu yang saya ikuti sejak 1975. Cara penulisannya, singkat dan kocak.
Tiba-tiba mata saya menangkap berita kecil, hanya satu alinea, yaitu mengenai rencana penyelenggaraan Kongres Pelacur se Dunia Ke II di Brussel, Belgia. Lho, yang kedua? Kok aku baru tahu ya? Yang pertama diadakan di Amsterdam, Belanda, tahun sebelumnya. Kongres ‘barang antik’ ini akan diselenggaran awal Oktober 1986 itu juga. Wah, ini menarik sekali.
“Ntar kalo nyampe di kantor gua mau kasih tahu redaksi,” ujar saya kepada teman sejawat.
Nah, belum lagi sepuluh menit berlalu, datanglah telepon dari redaksi Pos Kota ke Press Room. Nampaknya redaktur saya, Pak Syukri Burhan, mencari-cari di mana saya berada. Maklum HP belum ada saat itu.
“Udah baca SH, Bela,” tanyanya dari seberang sana. Feeling saya bicara, ini tentu menyangkut kongres gendeng itu. “Sudah, di Belgia awal Oktober ‘kan?” jawab saya. Pak Syukri ketawa, “Tahu aja kamu,” katanya, “jadi kamu ditugasi redaksi meliput kongres itu. Datang ke kantor cepat buat mengurus semuanya.”
Entah karena kesenangan atau apa, saya pacu mobil Citroen seri GS ke kantor Pos Kota di Jalan Gajah Mada, Jakarta Kota. Di kantor semua sudah dipersiapkan, tinggal saya mengurus visa ke Kedubes Nederland. Dengan satu visa maka dapat saya pakai untuk Belgia, Nederland, dan Luxembourg (Benelux).
Saya tahu, redaksi memilih saya karena kemampuan Bahasa Inggris saya di atas rata-rata teman sejawat. Bayangkan, begitu hebatnya bahasa Inggris saya sampai orang Inggris pun tidak paham! Satu bahasa dengan tata bahasa “sekolahan”, dengan dialek Jawa Timuran, pronounciation amburadul, kosa kata terbatas, maka dialog harus ditambah dengan kemampuan saya dalam bermain pantomime, salah satu ketrampilan seni yang saya kuasai. Saya temukan kemudian ternyata banyak ‘bahasa tubuh” yang sama secara internasional. Bagaimana bahasa untuk makan, tidur, menangis, dan menjepit jempol tangan di antara telunjuk dan jari tengah! Semua sama. Kenapa susah-susah belajar bahasa asing ya?
Tolong ceritakan pada saya nanti ya?
Esoknya pagi-pagi saya mengurus visa ke Kedubes Belanda di Jalan Rasuna Said, Jakarta. Di pos depan, seorang nyonya staf lokal dengan angkuh bertanya mau ketemu siapa? Saya bilang dengan atase pers, saya wartawan. “Oh, itu Meneer...., tapi beliau itu sibuk” jawabnya dengan gaya lebih Belanda dari orang Belandanya sendiri.
“Saya kira tugas Anda menyampaikan pesan saya saja,” jawab saya agak sombong juga.
Mr. X, si atase ini, sangatlah ramah. Rambutnya hitam dan sudah banyak diselingi warna abu-abu. Wajahnya justru mirip orang India. Dia menyuruh stafnya untuk mengurus visa saya dan cepat terlaksana. Tapi atase pers ini nampaknya suka berbincang-bincang tentang apa saja, dan kami keasyikan mengobrol. Sadar bahwa saya harus ke Kantor Imigrasi Bogor untuk minta exit-permit, saya minta diri. Dia mengantarkan saya langsung hingga ke pintu terdepan.
“Bila sudah sampai sudilah Anda datang ke sini. Ceritakan pada saya. Saya ingin mendengar kejadian unik itu langsung dari Anda,” katanya dengan sopan. Sayangnya saya tak pernah mampu menepati janji itu. Saya tak tega bercerita di depan Atase Pers mengenai Kongres Pelacur se Dunia, selain kemudian kesibukan menelan waktu saya bulat-bulat.
Tanpa buang waktu saya ngebut ke Bogor ke kantor imigrasi. Siang hari urusan exit-permit rampung lalu saya mengurus tiket ke Belanda. Berdasarkan saran teman, saya disuruh mengambil perusahaan penerbangan dari salah satu negara di Asia Tenggara juga.
“Maskapai nasional kita servisnya payah kepada orang pribumi, tapi berlebihan pada orang bule. Mana pramugarinya jelek-jelek, judes lagi,” tuturnya menilai maskapai nasional waktu itu.
Singkatnya saya terbang 16 jam ke Schiphol, Belanda. Teman saya benar. Pelayanan maskapai penerbangan itu prima, penumpang dimanjakan tanpa memandang warna kulit atau isi dompetnya. Selama itu kami disuguhi macam-macam jenis makanan hampir tidak pernah berhenti!
Oleh karena waktunya masih sangat longgar, maka saya bersenang-senang sedikit di Amsterdam untuk “studi banding” rumah-rumah pelacuran di kota itu. Negeri ini amat liberal. Pelacur (ah, sekarang pakai nama PSK, dulu WTS, padahal wujudnya ya itu-itu juga) di sana disamakan dengan pekerja, ditarik pajak, tapi juga diberi hak-hak seperti buruh lainnya. Para pelacur datang dari berbagai negara, seperti Turki, Yordania, Siprus, dan beberapa negara Eropa bahkan Afrika. Mereka bebas dan tenang saja sebab dijamin hak-haknya. Leidseplein sangat terkenal sebagai daerah “lampu merah” Amsterdam.
Menjelang akhir bulan saya naik kereta api ke Brussel. Keretanya bersih, nyaman, dan sangat tepat waktu (oh, PT KAI-ku yang malang).
..........bersambung .......
Komentar
Posting Komentar