Bu Cicih |
“Enggak
kebayang deh,” kata perempuan itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ingatannya melayang kembali ke masa lima bulan silam ketika lapangan terbuka
tempat dia duduk di bangku dengan nikmat itu masih berupa kampung padat, sesak
oleh gubuk dan bangunan semi-permanen. Mereka berimpitan seolah berebut hawa
segar, tersuruk di atas rawa-rawa yang penuh ditumbuhi enceng gondok.
Gang-gang
sempit mengular becek penuh bau amis. Anak-anak berlari-larian beradu dengan
padatnya pejalan kaki, sepeda motor yang melintas membawa barang-barang berlebihan,
sepeda butut, atau gerobak. Hidup layaknya neraka yang dipenuhi ketegangan otak,
degup dada penuh emosi dan beban hidup kota metropolitan.
Seorang pekerja menyelesaikan pembuatan batas jalan |
Protes,
unjuk rasa dengan dihiasi aksi kekerasan melawan Satpol PP, teriak-teriak,
lantas mereka lakukan. Mereka ada yang menerimanya karena sadar tanah itu milik
negara, ada yang minta ganti rugi tinggi-tinggi, dan ada yang tidak jelas
juntrungannya. Maka wartawan media massa cetak maupun televisi rajin
menyambangi daerah itu.
Sejumlah
gambar di TV memperlihatkan sesosok perempuan paruh baya, berteriak-teriak
penuh emosi. Dialah perempuan yang kini duduk menikmati angin segar danau atau
Waduk Pluit. Namanya Bu Cicih, kelahiran Cirebon 43 tahun silam. Ibu dari dua
anak laki-laki dan seorang putri ini seolah menjadi pemimpin unjuk rasa,
menjadi ikon pembalelo.
Bagian waduk yang masih dalam proses pengerukan. Lihat peralatan backhoe di seberang waduk. |
Maka
datanglah pada suatu waktu undangan dari Gubernur DKI Jakarta Jokowi untuk makan siang bersama di Balaikota. Maka
berangkatlah sejumlah warga mewakili 1.700 KK yang terkena gusuran. Bu Cicih
ada bersama mereka.
“Ya,
namanya orang kecil kayak kita-kita begini siapa yang mau ngajak makan siang?
Mana di Balaikota lagi,” ujar Bu Cicih. Diceritakannya, Pak Jokowi orangnya
ramah, tutur katanya halus. “Enggak kayak wakilnya Pak Ahok yang
ceplas-ceplos,” tambahnya.
Siang
itu warga makan siang dengan lauk seafood lengkap. “Pak Gubernur bilang silakan
makan banyak-banyak.” Sehabis makan,
Jokowi langsung bertanya dengan halus, apa sebenarnya yang diinginkan warga.
Mereka dikasih tahu, mendiami tanah negara itu melanggar hukum, tapi Pemprov
DKI tetap akan merelokasikan mereka ke tempat yang jauh lebih baik, lebih
manusiawi. Maka mereka pun membuat daftar tuntutan.
“Tapi
namanya manusia ya? Ada juga yang ngelunjak, minta yang enggak-enggak,” kata Bu Cicih.
Diceritakannya,
di wilayah itu ada pengusaha besar yang menyimpan peralatannya. Semula ia
menolak, tapi akhirnya ia menyerah, sadar akan kesalahannya. Kata Bu Cicih,
pengusaha itu rela mundur dan bahkan peralatannya sampai dicuri orang. “Dia
rugi besar, tapi selamat, gak perlu repot-repot,” tambahnya. Dia bilang ada
lagi pengusaha kecil yang “mengamuk” dan menuntut yang enggak-enggak. “Bakal repot sendiri dia,” tutur Bu Cicih.
Warga
akhirnya menerima uang kerohiman sesuai keadaannya. Mereka senang sebab tidak
digusur semau-maunya seperti di masa lalu. Mereka dimasukkan ke rusun yang tak
jauh dari lokasi, diberi fasilitas cukup.
“Enaklah,
tempatnya bersih, fasilitas lumayan, dan teratur,” katanya.
Dia
memandang berkeliling. “Taman ini sekarang tempat rekreasi warga, campur-baur
mulai yang dari perkampungan sampai dari rumah elit di dekatnya. Malem Minggu
ramai. Minggu pagi ramai, banyak yang olahraga,” katanya. Perempuan ini sering
tersenyum geli sendiri betapa bagaimana tingkahnya dulu ketika menentang
penggusuran.
“Belakangan
setelah beres dan tahu hasilnya, saya suka malu sendiri, apalagi katanya di
internet gambar saya masih ada waktu unjuk-rasa dulu,” katanya sembari ketawa.
Kini
pembangunan taman Tahap I selesai, diteruskan ke Tahap II. Daerah kumuh itu
dalam tempo lima bulan berubah jadi cantik, bersih, lapang. “Gak nyangka,”
tambah ibu tiga anak itu. Bagian timur waduk masih utuh, belum tersentuh. Di
bagian selatan mesin backhoe ampibi
terus mengeruk lumpur dan enceng gondok tanpa lelah.
Taman
Jokowi, begitu penduduk menyebutnya, mulai ramai pada petang hari. Anak-anak
dari kampung di sekitar Mesjid Luarbatang bahkan datang berombongan naik odong-odong atau bajaj untuk bermain ke
taman baru ini. Lulu, Fauziah, Fitri dan teman-temannya yang lain mengatakan
lebih suka bermain di sini sebab lapang, bersih. Mereka menyewa mobil mainan, otoped pedal,
dll. Bu Cicih memanfaatkan peluang ini, dia beli tiga unit otoped seharga
masing-masing Rp.800 ribu lalu disewakan Rp.5000 per 30 menit. “Lumayan, sehari
dapat sekitar enam puluh ribuan, kalau hari libur sampai seratus lima puluh
ribu,” uturnya dengan riang.
Matahari
kian tenggelam, angin kian mendingin di tengah temaram langit.
Pasangan-pasangan remaja berdatangan, duduk menghadap ke waduk berbagi rayuan.
Pedagang dilarang masuk sebab membikin taman jorok, kotor.
Bu
Cicih dan teman-temannya kini penuh senyum menyongsong asa. Di seberang waduk
masih menanti sekitar 7.000 KK untuk direlokasi.
kenapa gak dari dulu ya, gubernur yang lama ngapain aja kalo begitu
BalasHapus