Perang
bagi seorang oportunis seperti Nyonya Anna Pirling, si Ibu Brani, adalah sumber
keuntungan, sedangkan damai merupakan cita-cita yang tidak dia inginkan. Simbol
dari ‘kerakusannya’ adalah sebuah kereta (caravan) yang berisi barang dagangan,
serta tiga orang anak, dua laki dan seorang anak perempuan bisu.
Ibu
Brani terjebak dalam perang antara pasukan Matahari Hitam dan Matahari Putih.
Dan di posisinya itulah Ia memainkan peran sebagai ‘pengendali’ situasi. Kereta
itu sudah bertahun-tahun ditarik oleh dua putranya berkelana menjual apa saja
kebutuhan di masa perang. Dua orang anak lelakinya terbujuk ikut terjun dalam
pertempuran dan seorang di antaranya, yaitu Fejos mati, sedangkan Elip tak
jelas rimbanya. Si bisu, Katrin menjadi beban ibunya.
Psikologi orang menang: Mabuk |
Di
masa seperti itu, di mana kata damai tak pernah bertemu dengan perang, banyak
karakter manusia yang limbung kehilangan arti. Seorang koki sang Kolonel, yaitu
Piter si Pipa alias Domba si Koki, bosan pada pekerjaannya, dan memilih merayu
Ibu Brani agar mau pindah ke kotanya karena di sana dia mendapatkan warisan
sebuah penginapan. Satu syarat, Katrin tak boleh dibawa dengan alasan aneh,
penginapan itu hanya mampu menampung dua orang saja. Tentu saja ini menjadi
pertempuran mini antara si Koki dengan pendeta Kaplan dari Resimen Matahari
Hitam.
Kebosanan
akan perang membuat ia meninggalkan tugasnya untuk mengingatkan manusia akan
dosa-dosanya, menyamar menjadi pelayan caravan Ibu Brani. Celakanya di masa
pelariannya itu ia lupa akan statusnya dan memilih merayu Ibu Brani pula.
Pendeta Kaplan menjadi penasihat Ibu Brani agar berbelanja banyak-banyak sebab
akan ada perang besar lagi. Ternyata kedua pasukan malah berdamai dan Ibu Brani
yang mata duitan itu merasa rugi.
Di
tengah kecamuk situasi itu muncul tokoh pelacur, yaitu Ipit Poter, yang ikut
membikin suasana semakin rumit. Ibu Brani amat membencinya kendati perempuan
muda cantik ini menjadi langganan warungnya yang setia. Dia takut putrinya
terpengaruh, sehingga ia pun naik pitam ketika mengetahui si putri, Katrin,
justru mengidolakan sang pelacur. Ia mendambakan kehidupan bebas tidak
terkungkung dalam cengkeraman ibunya.
Bertolt Brecht |
Persaingan
antara pendeta dan koki guna merebut hati IbuBrani membuat kedua pria itu
meninggalkan caravan. Perempuan tua itu terjebak dalam pertempuran lagi yang
membuat kedua pihak menderita. Tidak ada perang yang menguntungkan, semua pihak
muncul sebagai pihak yang kalah, kira-kira begitulah pesan moral cerita yang berjudul
IBU yang aslinya adalah Mother Courage and her Children karya
penulis drama asal Jerman yang namanya kondang yaitu Bertolt Brecht. Di tangan
Riantiarno sebagai sutradara cerita ini seolah hidup melekat dalam situasi
aktual tanah air menjelang pemilihan umum April dan Oktober 2014 mendatang. Ia
seolah berpesan jangan sampai pesta politik itu berakhir dengan ‘perang’ fisik
yang akan merugikan semua pihak dan tidak akan ada pemenangnya.
Pesan
itu semakin kentara ketika dalam adegan terakhir ditarik layar bergambarkan
peta Indonesia dengan highlight.
Si
penulis itu pada ujung ceritanya ‘menghukum’ Anna Pirling alias Ibu Brani
menjadi seorang perempuan renta di tengah situasi kacau pasca perang, dan
limbung dengan kematian putrinya ditembak pasukan Matahari Putih. Perempuan
pelit itu harus menerima kebaikan hati sepasang petani yang menguburkan jenasah
anaknya tanpa sepeser uang bantuan darinya. Anna Pirling si Ibu Brani justru
menjadi tahanan dirinya sendiri, berjalan merambati waktu dengan menarik
keretanya sendirian.
Akting
dan tata panggung tetap prima
Dengan
pengalamannya selama 37 tahun, Teater Koma ternyata tidak pernah ‘koma’ dari
kontinuitas produksinya. Jika grup-grup lainnya ‘kolaps’ atau tidak pernah
terdengar kiprahnya lagi, Teater Koma yang dipimpin oleh Nano Riantiarno ini
justru mampu bertahan dengan penonton setianya. Dengan pementasan rata-rata di
atas setengah bulan, Teater Koma tak pernah sepi pengunjung.
Barangkali
paling tidak ada tiga unsur yang selalu menonjol dalam setiap pementasan Teater
Koma yaitu akting yang matang dari para aktor-aktrisnya, set dekor yang mewah
dan boleh dikatakan paling akbar di tanah air hingga saat ini, serta tata lampu
yang mendukung secara kuat. Tidak lupa musik juga menjadi unsur penunjang yang
kuat.
Peran
Ibu Brani yang demikian berat-menantang, diperankan oleh adik ipar N.
Riantiarno sendiri yaitu Sari Madjid yang sangat matang dalam berteater. Dalam
pementasan IBU ini ia menjadi motor
penggerak utamanya. Sari Madjid didampingi Daisy Lantang sebagai Ipit Poter,
Budi Ros sebagai pendeta Kaplan, Supartono W sebagai Koki, Muhammad Bagya
(Fejos), Rangga Riantiarno (Elip Noyoki), Ina Kaka (Katrin Hupla), Alex
Fatahillah sebagai Sersan Mahatari Hitam dan belasan pemain lainnya.
Latihan
selama berbulan-bulan menghasilkan tontonan yang mengalir lancar, walaupun ada
sesekali tersendat dialog, tapi sangat tidak kentara.
Latar
belakang (backdrop) berupa komposisi
ruwet tali-temali yang menggambarkan bagaimana situasi negeri itu tak pernah
sepi masalah. Properti lain, seperti biasanya, dibuat secara khusus. Kereta
atau caravan Ibu Brani dibuat cukup teliti, dan memerlukan pengerjaan yang
teliti. Begitu juga rumah, dan lain-lainnya. Ini yang boleh dikatakan ‘keplekan’ atau ciri menonjol Teater Koma
dibandingkan yang lainnya.
Dalam
tata busana tidak tanggung-tanggung, Riantiarno menggandeng perancang busana
Samuel Watimena. Satu hal lagi yang sitimewa adalah pergantian kostum Ibu Brani
yang berlangsung sangat cepat dan sering di atas panggung memberi point tersendiri.
Menonton
pementasan Teater Koma seolah kita menghibur diri sambil menyerap pesan moral
cerita dari tata panggung yang serba wah.
Ibu Brani antara Koki (kiri) dan pendeta Kaplan (kanan) (Foto:Teater Koma |
Produksi
ke 130 Teater Koma
Pementasan karya Bertolt Brecht di
Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki dari tanggal 1 hingga 17 Nopember 2013
ini merupakan karya ke 130 Teater Koma menjelang ulang tahunnya ke 37 yang
jatuh pada 1 Maret 2014 mendatang. IBU
merupakan karya Brecht ketiga setelah The
Threepenny Opera di tahun 1983, The Good person of Shechzwan (diganti judulnya menjadi Tiga Dewa dan Kupu-kupu) di bulan Juni-Juli tahun 1993.
Tentu saja jangan dilupakan peran
manajer yang digerakkan oleh istri Riatiarno sendiri yaitu Ratna Riantiarno.
Tokoh ini selain bermain juga memiliki kemampuan tinggi mengelola Teater Koma
sehingga tidak pernah kering sponsor. Djarum Foundation kali ini menjadi
sponsor utamanya dengan didukung oleh belasan perusahaan lainnya.
Didukung oleh puluhan orang kru,
pementasan Teater Koma boleh dikatakan sebagai panggung termegah menjelang
akhir tahun 2013 ini.
Komentar
Posting Komentar