Langsung ke konten utama

Syahdu Imlek di "hutan" Bogor






Oleh Adji Subela

       Hari sudah beringsut malam, arloji telah menunjuk ke angka 23.00 WIB. Hawa dingin pun mulai turun, membasahi Kampung Bulu yang gelap. Kepul asap hio melayang-layang di dalam klenteng mungil di kampung itu, di tengah kerimbunan “hutan” di perbatasan antara Kab. Bogor dan Kota Depok.
Atong di dekat altar
       Doa-doa pun dilantunkan dalam mengharapkan rejeki dan nasib baik di tahun Naga Air 2012 atau 2563 ini. Setelah malam hendak menggelincir ke arah pagi, sesaat kegelapan pecah oleh semburan-semburan nyala kembang api dan petasan yang dipercaya dapat mengusir roh-roh jahat. Tentu saja perayaan Imlek di sini tak semeriah di Singkawang, Kalbar, seperti yang sudah diceritakan sebelumnya di JURNAL BELLA ini. Atau misalnya di daerah Benteng, Tangerang, atau di daerah Jakarta Kota.
       Perayaan Tahun Baru Imlek di Kampung Bulu, Desa Citayam, Kecamatan Tajurhalang, Bogor ini sederhana sekali. Klenteng mungil itu bernama “Makin Litang Sehati” berdiri di tengah kampung yang masih rimbun oleh berbagai macam pepohonan. Pada siang hari yang panas pun dusun ini terasa sejuk dan damai.Dan bila mengunjungi tempat itu, terasa seolah kita berada di daerah lain di luar Jawa. Pada saat perayaan malam menjelang tahun baru tersebut, warga sekitarnya yang bukan penganut Konghucu ikut meramaikannya. Mereka berkumpul di klenteng mungil yang diresmikan tahun 2006 oleh Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu W.S. Ir. Budisantoso Tanuwibowo, MM ini, sambil mengobrol masalah-masalah sehari-hari.
       Suasananya begitu akrab tak dapat dibedakan mana warga yang menganut Konghucu dan yang bukan. Kehidupan di sana sehari-hari amat menyatu, sejak masa-masa nenek-moyang mereka. Para warga keturunan Tionghoa atau disebut Tenglang, sudah turun-temurun tinggal di Kampung Bulu, menyatu dengan kehidupan penduduk yang umumnya beragama Islam. Seperti Bu Yayah yang berjualan gado-gado di kampung yang berdekatan. Dari wajahnya Nampak ia memang warga keturunan, berasal dari Cianjur. Ia menikah dengan pria keturunan juga warga asli Citayam. Ia lebih suka dipanggil Yayah, atau kadang Ceuceu (kakak) seperti layaknya orang Sunda.
        Ada sekitar 20 keluarga keturunan yang tinggal di kampung Bulu dan sekitarnya, hidup sebagaimana layaknya warga lainnya. “Mereka sulit dibedakan, Pak, sebab ya beginilah kami menjalani hidup sehari-hari,” tutur Atong Phua (41 thn), ketua perkumpulan masyarakat Konghucu setempat dan pengurus klenteng sejak tiga tahun silam.
       “Sesungguhnya saya merasa sungkan, sebab usia dan pengetahuan saya mengenai agama masih terbatas. Tapi karena masyarakat keturunan di sini menghendaki, maka saya jalani,” tambahnya merendah.
Ia merasa masih terlalu muda, masih punya kewajiban untuk membesarkan anak atau menghidupi keluarganya. Terkadang ia harus meninggalkan keluarga dan pekerjaannya di daerah Blok M beberapa hari untuk mengikuti pendidikan agama Konghucu. Repot, memang.
       Atong mengatakan kehidupan beragama warga setempat biasa-biasa saja, tidak pernah ada berlebihan. Untuk Imlek selain pesta kembang api yang jumlahnya sedikit, mereka mengumpulkan angpao (amplop merah berisi uang) seadanya untuk dibagikan kepada para janda serta warga sekitarnya yang berkekurangan, walaupun bukan warga Konghucu. Begitu kebiasaan mereka selama ini. Terkadang datang sumbangan dari daerah lain dari mereka yang memiliki rejeki lebih. Kalau tidak maka Atong sering mengeluarkan uang dari koceknya sendiri.
       Di hari-hari menjelang Imlek, anak-anak dilibatkan untuk mengumpulkan derma dan mencatatnya agar rapi dan dapat dipertanggungjawabkan.
       Ada pun klenteng mungil itu dibangun melalui swadaya masyarakat keturunan di sekitarnya, dengan cara murni gotong-royong. Artinya,mereka mengirim apa yang dipunyainya seperti batu bata, bambu, cat, pasir dan sebagainya. Di masa Orde Baru, mereka menjalankan ibadah dengan seadanya.
Kini mereka sudah bisa memakai nama agamanya dan beribadah dengan lebih bebas. “Tapi warga di sini masih tetap rendah hati, tak pernah menyolok,” tambah Atong dengan logat Betawi pinggiran atau Betawi Ora, sama seperti para tetangganya yang lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima