Cerpen
Aaaaaaaaa......(Foto Agus Prasetyo) |
Oleh Adji Subela
Asap abu-abu tebal mencekik kota, memburam
pandang orang-orang. Dua oplet telah bertabrakan adu kambing di pagi hari
karenanya, dan Arsan pun telah menubruk Rinem, bergulat dengan penuh nafsu ......di
ranjang!!
Asap Riau belakangan ini memekat, mengental
menggayuti udara. Tangan-tangan usil-jahat menyuluti semak-semak tak berdosa
yang telah merana gering disengat matahari kemarau. Dan traktor-traktor loba
menggerogoti pokok-pokok kayu, humus, lalu menghangusi hutan-hutan orang dalam,
agar cepat mereka membuka lahan perkebunan uangnya dengan murah. Kita telah
digiling, dilumat lumer untuk sebuah kata sakral: Pembangunan. Pembangunan yang
tak pernah melirik nasib kita – baru meminang otonominya – dan hasilnya: Arsan
masih juga menganggur setelah dipehaka oleh kontraktor tempatnya bekerja dulu,
dan Rinem tersuruk di satu tempat yang penuh nafsu, kebohongan, pura-pura,
tipu-menipu, sekaligus gambar hitam sosial dan centang-perenang moral serta
kemunafikan manusia. Tempat itu bernama: Lokalisasi WTS Teleju di luar kota
Pekanbaru.
Orang-orang sudah kebagian asap dan setumpuk
masalah-masalah lain. Tapi Arsan hari ini menumpuki Rinem, yang menerimanya
dengan ikhlas. Tidak lantaran dikipasi api cinta, tapi diembusi semangat
seratus ribu rupiah kontan. Cepek Ceng! Duo puluah ribo buat sewa
kamar Maminya, kemudian sedikit buat makan dia esok, lalu sisanya disimpannya
di satu dompet lusuh buat anaknya di satu desa di Indramayu sana. Dompetnya
lusuh, tiap hari dikikisi noda derita hidup yang tambun penuh dosa.
Dari uang pembayaran
kontan Arsan itulah asap dapurnya terus mengepul-ngepul sedangkan asap dapur
istri Arsan keesokan harinya berhenti berasap. Lalu seribu argumen muntah dari
mulut Arsan yang berbau minuman hitam cap kucing loreng. Dan istrinya pasrah.
Ia tak bisa berbuat lain. Ia hanya wanita biasa yang tak ada kerja, tak mampu
membantu suaminya mencari uang. Ia tak tamat sekolah dasar, setengah buta huruf
dan buta pengetahuan hampir total. Tapi mereka ini dituntut untuk:
Berpartisipasi dalam pembangunan daerah! Bekerjalah sekeras Anda bisa!
Singsingkan lengan untuk kemakmuran Bumi Lancang Kuning! Seru pidato-pidato
politik. Yang menjadi kaya kemudian adalah orang-orang lain, dan mereka yang
terjengkang oleh nasib sial permanen itu tetap konsekuen untuk tidak kaya,
apalagi makmur. Sedangkan dalam proposal-proposal orang cerdik-pandai yang
kata-katanya indah melebihi syair-syair Raja Ali Haji, serta suaranya merdu
senyaring murai pagi hari.......... kawan-kawan kita itu distempel sebagai
masyarakat pra-sejahtera.
Kukatakan bahwa Arsan
laki-bini dan juga pasangan-pasangan lainnya itu konsekuen, bukan karena ia
sadar untuk melakukannya, tapi mereka memang selalu tak ada daya. Yang Arsan
ketahui, ia harus menghidupi seorang istri dan dua anak yang masih kecil-kecil,
dan untuk itu ia harus rela menjadi: Maling! Pencuri! Yang dicurinya adalah
besi-besi onderdil pompa pengeboran minyak PT Caltex yang bergeletakan di
padang-padang, semak-semak yang sepi dan gelap di malam hari. Atau kabel reda
tembaga, atau check valve. Benda-benda kecil untuk sekedar mengganjal
perut lapar keluarganya.
**********
Dan di hari yang berasap
tebal tadi, Arsan mengayun langkah ke Samsam, beberapa kilo meter sebelum kota
Duri dari arah Pekanbaru. Nafsunya telah menebal, sedangkan dompetnya masih
tipis saja. Ia harus punya jurus-jurus maut berisi rayuan-rayuan paling gombal
di seluruh Samsam agar dapat harga korting. Syukur kalau prei, gratis.
“Rin, kamu agak lain. Serpismu lembut, penuh
perasaan,” ucap si Arsan sambil menyeka badannya yang kuyup oleh peluh panas
likat oleh nafsu.
“Ah, abang nih pandai pulak merayu awak,”
jawab Rinem dengan logat lidah Dermayon. Padahal ia suka akan rayuan itu. Ia toh
seorang manusia yang perlu penghargaan dan seorang perempuan yang haus akan
kata-kata mesra. Ia dibeli, tapi ia merasa hanya menjual badannya saja, bukan
hatinya, bukan batinnya. Nuraninya ada di desanya sana, berkumpul dengan
anak-anaknya – dua orang – yang lucu-lucu serta ayahnya yang buruh tani melarat
dan ibunya yang ikut miskin.
Di usianya yang ke 18, Rinem sudah menjanda
lima kali. Ia menikah pada usia tujuh tahun agar orangtuanya mendapat mahar
dari calon suaminya, yaitu Pak Kuwu (kuwu = kepala desa). Setahun
kemudian ia bercerai dan menikah lagi agar maharnya semakin mahal. Janda-janda
lebih berharga tinggi ketimbang bocah ingusan. Itulah kultur kemelaratan di
daerah yang di jaman Belanda menjadi gudang beras, dan sekarang menjadi gudang
pelacur-pelacur. Bukan salah Rinem atau kawan-kawannya kalau tak ada orang yang
menolong mereka, memberinya pekerjaan dan memulihkan harkat dan martabat mereka
dan........masih membanjirnya para konsumen. Antara lain: Arsan!
Di Bumi Lancang Kuning ini mereka menemukan
jatidiri baru: PSK atau pekerja seks komersial. Dulu namanya WTS, wanita tuna
susila. Sebelumnya adalah pelacur, dan sebelumnya lagi lonte. Kasar? Itu hanya
istilah yang diganti-ganti, tapi materinya tetap sama, nasibnya tetap
centang-perenang. Politisi memang hebat. Mereka memberantas pelacuran cuma
dengan mengganti namanya! Alamak! Mau ke mana setan membawa duniaku?
Rinem pun kini ikut larut berpikiran
ekonomis. Ia hendak mengajak seorang kenalannya, istri seorang pria yang
pekerjaannya tak menentu, untuk masuk ke bisnis ini. Ini sekedar bisnis, Bung,
bukan institusi pendidikan filsafat atau proyek Taskin! Masa bodoh! Toh lapar
tetaplah lapar.
“Bang, aku punya kenalan, istri seorang
pengangguran. Wajahnya manis dan bodinya uuuuuuhhh mirip Inul dah pendeknya,”
tutur Rinem sambil menggelayut manja pada bahu Arsan.
“Dia ingin sekali masuk ke sini Bang, tapi
takut ketahuan suaminya kalau terang-terangan,” tambahnya memberondong terus
dengan promosinya.
Arsan masih diam. Bukannya tak ingin, tapi
ia meraba-raba dompetnya yang selalu tipis, kurus. Tapi ia ingin sekali menyoba
‘barang’ baru itu. Tentu seru. Dan ia akan membanggakan pengalamannya itu pada
teman-temannya. Ia akan kabarkan pada ‘orang dalam’ yang sering memberinya
order menjualkan besi pemberat pompa angguk, pipa-pipa bekas, kabel-kabel atau valve.
Kalau boss itu mendapat jamuan seorang perempuan yang masih inosen, masih lugu,
tentulah ia akan senang, dan order akan banyak masuk. Tapi tentu saja ia
sendiri yang akan rasai terlebih dulu supaya ia tahu persis kualitasnya
perempuan barang baru itu.
“Bolehlah Abang coba. Kapan aku dapat
bertemu?” tanya Arsan kini penuh pengharapan.
“Lusa bolehlah Abang datang ke mari. Malam,
tapi janganlah malam ‘kali ya Bang?” jawab Rinem.
*******
Malam itu adalah malam yang dijanjikan.
Aneh, Duri kala itu diserang asap tebal. Asap datang menyerang ganas
malam-malam. Tapi asap berbau sangit tadi, sepercik pun tak ada
pengaruhnya pada Arsan. Pria jangkung, berkulit kuning, berambut lurus dan
bermata agak sipit ini datang jua. Ia hendak memberi surprise pada Rinem.
Dikenakannya topi dan dibenamkannya
dalam-dalam menutupi sebagian besar wajahnya.
“Malam sialan,” makinya dalam hati. Kabut
pekat itu membikin kompleks Samsam menjadi remang-remang, sedangkan sinar lampu
berwarna-warni menari-nari berkelebat-kelebat ketika orang-orang berlalu-lalang
melewatinya. Musik berdeburan di mana-mana.
Tiba di tempat Rinem tinggal, Arsan hampir
tak mengenalinya lagi. Asap sungguh tak main-main pekatnya. Dan suara-suara
merayu terdengar di sepanjang perjalanannya masuk tadi: “Manjing, Mas,
jiiiiih belih manjing ya? (Masuk, Mas, aduh tidak masuk ya?)”
Dua orang perempuan menjemputnya dari dalam.
Kabut gelap menggumpal hingga ke dalam ruang penerima tamu. Seorang di
antaranya adalah Rinem, seorang lagi entah siapa Arsan tak jelas benar. Ia
merasa sosoknya pernah ia kenal, tapi lupa, dan juga tak jelas lantaran
tersaput asap, juga barangkali karena dandanan perempuan itu nampaknya agak
berlebihan.
“Ini Sephia, Bang, yang aku katakan dulu itu,” ujar Rinem.
Bukan main. Namanya Sephia, macam judul lagu Sheila On 7 saja. Si Sephia itu
sempat terpesona sejenak melihat Arsan, namun tak sempat berkata-kata. Lelaki
itu memikat perhatiannya. Namun lidahnya kaku-kelu dan juga malam ini hari
pertamanya di tempat sial itu. Semuanya serba canggung.
Tanpa pandang-pandang lagi, Arsan bagai
kerbau dicocok hidungnya, masuk ke kamar karena didorong setengah paksa oleh
Rinem. Rinem lantas mengunci pintu kamar dari luar, membiarkan mereka berdua di
dalamnya.
Di dalam kamar itu Arsan terperanjat bukan
main! Dan, oh, perempuan itu pun memekik kecil! Mereka ternyata sudah saling
mengenal! Bukan orang asing lagi. Malahan, Arsan tahu segala lekuk-liku tubuh
perempuan itu, begitu pula sebaliknya. Lelaki itu telah menggauli Sephia secara
gratis selama bertahun-tahun hingga perempuan itu melahirkan anak dua orang.
“Tinah, bagaimana pula kau sampai di sini?” tanya Arsan dengan suara
serak kemudian kepada istrinya setelah nafasnya yang semula sesak mulai teratur
kembali.
“Jadi Abang pun sering pula datang kemari?” balas tanya Tinah,
istrinya itu, dengan suara lemah penuh penyesalan.”Pantas uang belanja pun
semakin sedikit belakangan ini. Nampaknya di sinilah Abang belanjakan!”
Dua orang itu termenung beberapa waktu
lamanya. Otaknya beku, darahnya menggumpal, sedangkan tungkai mereka terasa
dingin luar biasa. Mulut mereka pun telah lekat, lengket bungkam tak mampu buka
bicara lagi. Dari luar terdengar teriakan si Rinem: “Ayolah sikat sajalah Bang,
Sephia orang baik. Sephia, anggaplah Abang itu suamimu sendiri......”. Lalu
terdengar tawa terkikik-kikik macam setan kegelian.
“Kenapa kau nekad sekali, Tinah?” tanya
Arsan kemudian, setelah mampu membuka mulutnya.
“Tak ada jalan lagi Bang, anak-anak perlu
susu, ingin ganti baju, ingin makan. Uang belanja Abang semakin kecil saja.......,”
jawabnya.
Untuk pertama kali selama hidupnya, Arsan
merasa bersalah. Ia diam begitu lama. Kalau saja uang pembayar syahwatnya itu
diberikan kepada istrinya, keluarganya akan sedikit teringankan bebannya. Laki-laki itu tak tahu hendak berbuat apa. Ia
sedih dan bingung tak terkira-kira. Lalu datanglah sebuah insipirasi: Ia
bertekad hendak menjadi manusia baik-baik mulai esok hari!!! Betul!!!
Tapi......untuk terakhir kalinya....... ia
ingin meniduri seseorang yang ia sukai malam ini, lantas mengajak istrinya
pulang ke rumah mereka.
“Sudahlah, berapa taripmu dijanjikan oleh si
Rinem itu?” tanyanya pada istrinya.
“Seratus ribu rupiah.”
“Baiklah, seratus ribu rupiah. Layani aku
malam ini di sini, di kamar ini, lantas kita cepat-cepat pulang. Anak-anak
tentu menunggu kita,” kata Arsan dengan bijak, juga untuk pertamakalinya dalam
sejarah hidupnya. Canggung sekali rasanya bagi Tinah bergulat dengan seorang
pria di kamar dekil penuh aroma minyak wangi yang menyengat-menyengat seperti
itu. Beruntung baginya, konsumen pertamanya bukan orang lain tapi Arsan
sendiri.
*********
Arsan bertekad, ia tak hendak mengabarkan
apa-apa kepada ‘orang dalam’ tentang orang baru di Samsam. “Cukup kukatakan
gara-gara asap, pengunjung Samsam berkurang,” keluhnya dalam hati lalu
mengumpat-ngumpat nasibnya, juga dalam hati.
Pekanbaru, Juni 2003.
Komentar
Posting Komentar