Langsung ke konten utama

Orang Inggris "Memburu" Hayam Wuruk

BUKU

Oleh Adji Subela

Judul                   : Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapañca
Penulis               : Hadi Sidomulyo
Kata Pengantar : Prof. Dr. Edi Sedyawati
                                    Penerbit             : Wedatama Widya Sastra bekerja sama dengan Yayasan Nandiswara, Jurusan Pendidikan Sejarah FIS Universitas Negeri Surabaya (UNESSA)
Jumlah halaman : xvix + 180
Ukuran buku       : 15 cm x 23 cm
Kertas                 : HVS 80 gram


              Luar biasa sekali. Seorang peneliti dari negeri seberang begitu gandrung pada sejarah Indonesia, khususnya Jawa Timur dan terutama sekali Majapahit. Ia rela malang-melintang di pedalaman-pedalaman Jawa Timur guna meneliti peninggalan-peninggalan sejarah daerah itu.       
             Salah satu hasilnya yang sangat penting adalah buku Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapañca. Penulis menyusuri kembali rute perjalanan Raja Majapahit Hayam Wuruk di tahun 1359 M, berdasarkan kakawin Dešawarnana yang lebih terkenal sebagai Nãgarakrêtãgama. Kakawin ini dianggap tidak sehebat kakawin karya para Mpu sebelumnya, tapi dari sisi sejarah, Nãgarakrêtãgama sangat berharga, sebab merekam secara lumayan teliti tempat, waktu, dan acara Prabu Hayam Wuruk dalam satu penggal waktu masa kepemerintahannya di Majapahit.
             Buku ini cukup penting sebab membedah kembali Nãgarakrêtãgama dari sisi geografi dan toponiminya, suatu yang belum pernah dilakukan semendalam itu. Ia betul-betul mengadakan perjalanan sesuai apa yang disebutkan kakawin karya Mpu Prapañca lengkap dengan interpretasi-interpretasi karena beberapa tempat sudah berganti nama.
             Hadi Sidomulyo membuktikan bahwa sebagian besar tempat yang disebut Mpu Prapañca masih bisa ditemukan termasuk tempat yang oleh para peneliti sebelumnya, Pigeaud, disebut unkown (Hlm.6). Rute perjalanan Hayam Wuruk disebut Hadi Sidomulyo sebagai masih amat kaya bukti sejarah (Hlm.7). Ia menyatakan kecemasannya akan kelestarian bukti-bukti sejarah itu hingga perlu segera diadakan inventarisasi.
Hadi Sidomulyo
             Penulis melengkapi bukunya dengan 23 foto dokumentasi lokasi maupun petilasan-petilasan serta 11 peta rute perjalanan Hayam Wuruk berdasarkan laporan “jurnalistik” “wartawan Istana” Abad ke-14 tersebut. Hadi Sidomulyo menjadikan kakawin Nãgarakrêtãgama, Calon Arang, Tantu Panggêlaran dan kisah perjalanan Bujangga Manik sebagai pegangan dan berkesimpulan bahwa tiga naskah terakhir tersebut memperkuat catatan dalam Nãgarakrêtãgama.
Buku ini tentu saja ditulis tidak kaku sebagaimana galibnya buku ilmiah, tapi karena ia menceritakan proses pengembaraannya menyusuri rute Hayam Wuruk tahun 1359 itu maka cukup menarik untuk dibaca.
Nama penulis buku ini memang Hadi Sidomulyo, seorang “Jawa” tapi ia lahir di Inggris dan diberi nama Nigel Bullough oleh orangtua kandungnya yang asli Inggris juga. Ia gandrung pada sejarah Majapahit dan Jawa Timur pada umumnya, dan sejak 1972 sudah banyak menulis buku maupun artikel menyangkut sejarah dan budaya Jawa. Malahan antara tahun 1985 hingga 1994 ia dipercaya Gubernur Jatim waktu itu, Sularso, untuk menyusun buku promosi pariwisata. Ia juga membantu Pemda Yogyakarta untuk promosi Wisata Budaya. Maka sobat-sobatnya menyebut Hadi sebagai orang Jawa kelahiran Inggris. Menikah dengan gadis Solo ia kini tinggal di Bali.
Buku Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapañca karya “Pak Lik” Hadi Sidomulyo ini cukup penting untuk dijadikan pegangan peneliti sejarah Majapahit.

Komentar

  1. alhamdulillah, saya menyambut gembira dengan terbitnya buku "Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca", namun yang menjadi pertanyakan saya, bagaimana cara memperoleh buku berharga tersebut? (bisa pesan dmn?)
    -terimakasih-

    BalasHapus
  2. Anda bisa menghubungi PenerbitWedatama Widya Sastra di Jln. M. Kahfi I, Gang Tohir II No.46, Jakarta Selatan.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par