Cerita
pendek
Oleh
Adji Subela
Dua
orang berlainan jenis itu masuk ke ruanganku. Tak dapat kutolak. Hari
malam mengganas menafsui mereka, lalu keduanya lumpuh sejenak.
Menarik nafas, berbenah, lalu pergi. Ini menyakitkanku.
Pada
satu malam lain dua bulan kemudian, dua orang tersebut masuk lagi,
duduk-duduk berhadapan. Dua tabung kecil minuman disedotnya. Wajah
mereka memerah-merah. Mereka berkata keras-keras, berteriak, memekik,
lalu tiba-tiba si pria berdiri lantas mencekik si perempuan.
Perempuan itu lemas, kemudian pria berlalu acuh-tak-acuh. Keluar.
Pria
lain lagi, buruk rupanya, datang kemudian ketika malam kian larut
menggubrak-gubrak pintuku, mengintip penuh selidik ke dalam
ruanganku. Dia tertegun, lantas menyelidik sedapat-dapatnya. Ia
terhenyak, lari menjauh.
Malam
berikutnya sepi.
Malam
berikutnya kemudian, seorang berpakaian seragam biru-biru menyoroti
ruangan dalam memakai lampu senter. Ia nampak kaget kemudian berlalu.
Malam makin larut, tapi di sini kian gaduh. Orang-orang berdatangan.
Ada yang berpakaian biru-biru gelap, coklat, dan biasa. Mereka
membawa lampu besar-besar, ada pula mobil putih memakai lampu kedip
di atasnya. Lalu sepi lagi. Orang memasang pita kuning di sekeliling
luar ruanganku.
Tahun
sebelumnya.
Tanah
itu semula kosong. Pohon-pohon bermunculan tak beraturan, perdu
menyemak-nyemak. Burung dan kupu-kupu berterbangan gembira. Lalu
tikus-tikus besar berdatangan, dan kucing-kucing liar meramai.
Menyebalkan sekali. Orang-orang membuang sampah-sampah ke dalamnya.
Daun, kertas, bekas bungkusan, bola lampu yang telah tak terpakai,
dan terkadang bangkai tikus atau kucing. Sesekali anjing. Setiap
orang yang lewat tanah itu selalu menutupi hidungnya.
Gelandangan
pun tiba. Ia kurus, pucat dan nampak kesakitan bukan main. Ia
menenggak sebotol minuman hitam. Lalu ia lemas, tak pernah bergerak
lagi. Geger. Banyak orang berdatangan. Orang-orang berseragam
mengangkat badan kurus itu pergi, dan kemudian memasang pita kuning.
(Jadi di kemudian hari aku mengerti, pita kuning itu selalu
berhubungan dengan orang-orang yang tak pernah bergerak lagi!)
Hari
berganti hari tanah menanti tanpa harapan apa pun juga. Lalu datang
si pria dan si perempuan itu. Berkata-kata. Tangan-tangan mereka
ribut bergerak ke sana ke mari. Mereka beradu mulut. Si pria
mengeluarkan selembar kertas lebar bergambar kebiruan. Si perempuan
mengeluarkan kertas putih bergambar hitam. Dua-dua kertas dilaganya.
Si pria merobek-robek kertasnya, membuang ke udara, lantas mengangkat
tangan. Rupanya di perempuan menang. Mungkin. Ia menutup kertas itu
lagi, lalu berjalan bersama-sama.
Di
luar sana mereka berpisah, naik mobil masing-masing. Sepi kembali.
Beberapa
minggu kemudian orang berdatangan, sibuk membabati perdu-perdu,
rumput dan pohon-pohon. Menggali tanah, batu-batu bata didatangkan.
Bor tanah itu menyakitkan sekali. Ia menghunjam bumi lalu mereka
menancapkan batang-batang besi, mengguyurinya dengan semen. Si pria
dan si perempuan sesekali datang bersama. Selalu bersama.
Mengangguk-ngangguk, menunjuk-nunjuk. Kelihatannya mereka suka sekali
atas semuanya itu.
Tak
lama setelah orang-orang itu menyelesaikan pekerjaannya, lalu pesta
diadakan di ruanganku yang luas. Mereka orang-orang aneh, belum
pernah ada di sekitar sini. Api-api kecil bernyala-nyala lalu asap
berkepul-kepul lalu ruangan dipenuhi gempita jerit dan pekik
melentik. Tiba-tiba lampu penerangan padam. Ruanganku gelap, lalu
rintihan demi rintihan terdengar lamat-lamat. Kemudian
semuanya berlalu disusul si pria dan si perempuan bergegas
meninggalkan aku sendiri. Mengherankan.
Sunyi
sekali aku sendiri sesudah itu.
Sepasang
orang tua datang suatu ketika, melihat-lihat, kemudian keduanya
berunding. Pergilah mereka itu.
Beberapa
saat sebelum peristiwa itu.
Angin
meniup begitu kencang, hujan pun mulai turun, daun-daun kering
berterbangan, lalu berjatuhan dan berserakan di sana-sini. Sepi tetap
saja mencengkeram. Awan pun mulai ganas menggantung di langit.
Gelugur guntur sesekali menderu, cercah-cercah air hujan menghantami
apa saja. Seram! Cekam! Cengkeram!
Tak
lama kemudian angin mulai mereda, hujan mulai berkurang, tinggal
rintik-rintik menitiki daun-daun, rerumputan, dan juga tanah hitam.
Jatuh satu demi satu lantas meresap ke kandungan bumi. Dingin. Di
kejauhan terlihat empat sorot lampu kendaraan mendekat ke tempatku.
Dua-duanya lantas padam. Pintu pagar berderit dan si pria dan si
perempuan berlari-lari kecil menghindari rintik hujan, berdekapan.
Mereka mengibas-ngibaskan pakaiannya, rambutnya, lalu terdengar kunci
pintu diputar. Ringkik-ringkik, cekikik-cekikik. Angin malam
tiba-tiba menyerbu sengit.
Dua
orang berlainan jenis itu masuk ke ruanganku. Tak dapat kutolak. Hari
malam mengganas menafsui mereka, lalu keduanya lumpuh sejenak.
Menarik nafas, berbenah, lalu pergi. Ini menyakitkanku.
Pada
satu malam lain dua bulan kemudian, dua orang yang dulu itu masuk
lagi, duduk-duduk berhadapan. Dua tabung kecil minuman disedotnya.
Wajah-wajahnya memerah. Mereka berkata keras-keras, berteriak,
memekik lalu tiba-tiba si pria berdiri lantas mencekik si perempuan.
Perempuan itu lemas, kemudian pria berlalu acuh-tak-acuh. Keluar.
Aku
benar-benar dungu tak mampu mencegah semuanya itu. Tapi mau apa?
Segalanya telah terjadi di depanku. Sudah.
Apalagi
yang akan terjadi? Aku benar-benar tak tahu. Kurasakan benda-benda di
sekitar menyeriut susut makin melilit memelintir kian jauh. Masa pun
masih juga kejam. Ia berjalan kencang menyalip peristiwa demi
peristiwa. Bagian demi bagian akan lapuk runtuh sedikit demi sedikit.
Tak
ada orang menanyaiku. Ini tak adil. Aku ini dianggap sebagai apa?
Padahal aku sudah menyaksikan begitu banyak peristiwa, begitu banyak
macam kejadian.
Depok,
awal musim penghujan
2009
Komentar
Posting Komentar