Cerita pendek
Ilustrasi - animasi oleh AS |
Oleh
Adji Subela *)
Setiap
petang, ketika aku lewat di ujung Jalan Ledseplein, tepatnya di
sebuah bundaran, kulihat banyak orang berkumpul di sana duduk-duduk
sambil bercengkrama. Ada pasangan pria berkulit putih berpacaran
mesra dengan seorang perempuan berkulit hitam, begitu pula
sebaliknya. Ada pasangan hitam-hitam, putih-putih, tetapi tak ada
yang berkulit sawo matang sepertiku. Paling-paling ada beberapa orang
muda berkulit aneh, campuran antara hitam dan putih tadi. Anak-anak
kecil berlarian di sekitar bundaran itu, bermain-main tanpa peduli
siapa saja yang ada di sekitarnya. Kota Amsterdam seolah terwakili
oleh bundaran di ujung jalan tersebut.
Mataku
selalu menangkap segerombolan pria yang asyik mengobrol di satu sisi
bundaran. Ada pria yang bertubuh tinggi besar, dengan rambut keriting
berwarna cokelat serta berkumis tebal tanpa janggut. Setiap pagi
hingga petang ia rajin mengamen di sudut jalan. Di saat seperti itu,
di punggunya tertempel sebuah tambur besar yang bertuliskan: Hermann
the German, dengan huruf Jerman yang belepotan. Tangannya memainkan
banjo sedangkan di lehernya tergantung tangkai penjepit harmonika.
Lalu di kedua lututnya, ditempelkannya dua keping piringan kuningan.
Hermann
pandai sekali memainkan berbagai algu dengan bajo itu, dan setiap
kali jika kaki kirinya menghentak, maka terdengar tambur itu berbunyi
duk, duk, duk. Sedangkan jika kaki kanannya dihentakkan, maka
terdengar bunyi creng, creng, creng. Pada saat yang sama ia mampu
meniup harmonikanya sehingga dari seorang Jerman itu saja terdengar
alunan musik yang merdu bagai keluar dari satu rombongan orkes.
Sesekali, terutama pada akhir lagu, kedua lututnya ia adu hingga
piringan kuningan itu mengeluarkan bunyi keras sekali. Topi vilt-nya
yang sudah kumal ditaruh di depannya, di lantai, sebagai tempat
menampung rejeki berupa uang recehan dari para dermawan yang lewat.
Terkadang,
tanpa persetujuannya, ia ditemani Gerda, seorang perempuan tua yang
gila, yang menari-nari tak berketentuan di belakangnya. Orang yang
lewat pun sering dibuatnya tertawa geli dan menganggap tarian ngawur
itu adalah bagian dari atraksi Hermann. Pria Jerman itu sering pula
membagi rejekinya kepada perempuan malang itu, dengan memberinya
sigaret atau es krim.
Setelah
lelah mengamen di sudut jalan, pada petang harinya, Hermann lalu
duduk bersama John, seorang juggler
asal Inggris. Pemuda yang mengaku dari London ini memiliki tubuh
atletis dan gesit, hingga ia mudah melakukan gerakan-gerakan
akrobatik. Penonton suka pada atraksinya. Biasanya ia akan berbagi
waktu dengan Tommy, pemuda asal Hengelo, kota kecil di perbatasan
antara Belanda dengan Jerman, Pemuda yang bibirnya selalu menyungging
senyum itu pandai bersulap. Ia sering mengikut sertakan penonton,
terutama anak kecil, untuk dipermainkan di arena. Penonton
bersorak-sorak dan si anak itu pun ikut bergembira pula.
Selesai
bekerja, mereka selalu berkumpul di bundaran itu untuk saling berbagi
rejeki seperti sigaret atau kopi panas yang mereka dapatkan dari
kotak otomat di seberang jalan.
Ada
lagi seorang pengamen yang amat jarang berkumpul dengan mereka. Ia
selalu mengenakan pakaian badut, dan bermain pantomim di tepi Jalan
Ledseplein yang selalu ramai oleh pengunjung itu. Gerakan badannya
amat lentur dan kentara sekali ia terdidik untuk itu. Ia sering
membuat adegan lucu dan selalu ekspresif memainkan mimik muka serta
gerakan-gerakan tubuhnya. Dengan mudah orang bisa menebak apa
maksudnya, dan uang recehan lantas terdengar gemerincingan ke sebuah
payung di dekatnya.
Anak-anak
kecil pun suka sekali padanya. Di jalan raya itu, di sisi kanan,ada
sejalur rel trem kota Amsterdam. Bila petang, yaitu pada saat para
pekerja keluar hendak pulang, jalan menjadi ramai, sehingga pengemudi
trem menjalankan kendaraan itu pelan menyusuri jalan yang bersih dan
teratur tersebut.
Pada
suatu petang si Badut tengah menjalankan pekerjaannya. Ia membuat
gerakan orang yang sedang menari. Setelah trem mendekati tempatnya,
mendadak saja Badut melompat ke tengah rel, lalu membuat gerakan
seolah-olah ia duduk di bangku pendek taman sambil bermenung diri,
miring menyangga kepala. Orang-orang memekik. Mereka nampaknya
khawatir, tubuh Badut yang lucu itu bakal lumat!
Trem
ternyata berhenti, masinisnya tertawa terpingkal-pingkal. Ia biarkan
Badut itu beraksi sebentar, kemudian setelah Badut selesai, ia
jalankan lagi tremnya berlalu. Orang pun terbahak-bahak, bertepuk
tangan dan lalu uang logam pun jatuh berdentingan ke dalam payung
putih.
Badut
selalu datang pada petang hari dengan dandanan serba putih. Wajahnya
diberi bedak putih metah, lalu mulutnya diberi lipstik merah menyala,
serta digambar lebih lebar seakan-akan tertawa tanpa henti. Matanya
digambar lucu sekali, seolah menangis lantaran tertawa tanpa henti.
Sore
seolah tak berarti tanpa kehadiran Badut. Ia seolah menjadi bagian
lekat dan takkan terpisahkan. Paling tidak itulah apa yang kupikirkan
saat tiba di Jalan Ledseplein. Acap kali kulihat ia di trotoar,
selalu saja teringat aku akan temanku, yang menjadi anak wayang. Ia
setia naik panggung pada malam hari di pentas sandiwara tradisional.
Mukanya selalu disaput siwit
tebal warna putih, lalu ia baut matanya seolah lebar berwarna merah.
Mulutnya pun dibuat lebar, ketawa sepanjang masa. Tapi nasibnya tak
pernah menyenangkannya, dalam arti apa pun. Ia selalu murung. Ia
dilahirkan sebagai anak haram tanpa tahu siapa ayah-bunda kandungnya.
Ditemukan
oleh perempuan yang baik hati temanku itu diangkat sebagai anaknya.
Semasa remaja temanku itu rajin mencari uang sebagai anak wayang,
satu-satunya pekerjaan yang membuat hatinya senang. Hanya beberapa
hari setelah meletus peristiwa 1965 tiba-tiba saja ia menghilang dan
tak pernah kembali lagi, bahkan kabar tentangnya pun tidak ada sampai
padaku. Entahlah di mana ia berada kini.
Badut
di Ledseplein itu kini seolah menjadi pengganti temanku dulu.
Kupandangi ia lalu muncullah bayangan temanku itu. Selalu demikian.
Oleh sebab itu tak mengherankanlah bila hampir setiap sore, aku pilih
rute yang melewati Ledseplein agar dapat kutemui Badut di sana. Lalu
temanku seolah benar-benar hadir.
Sampai
pada hari kesembilan belas aku tinggal di Amsterdam, hanya sekali
saja aku tak melihatnya, yaitu ketika aku terlambat pulang ke hotel.
Ini menjadi semacam siksaan yang keji, karena tak kutemui teman
baruku itu. Sungguh aku menyesalinya.
Baru
pada hari ketiga puluh satu, terjadi peristiwa yang selama ini aku
takutkan, yatu ketika si Badut digiring polisi, atau mungkin juga
petugas hukum lainnya. Baru sekira lima menit ia beraksi, para hamba
wet itu mendekatinya, lantas berbincang pelan pada si Badut, seolah
tak ingin mengganggu penonton.
Seketika
kulihat si Badut itu tertunduk lesu, lantas jatuh terduduk di depan
etalase sebuah toko pakaian. Agak lama ia seperti itu dan para
petugas itu pun sabar menungguinya.
Kulihat
Badut terisak. Yang ini benar-benar isak tangisnya, dan bukan gambar
di wajahnya. Kepalanya tertunduk dalam lalu disangga dengan tangan
kirinya. Petugas tetap sabar menantinya. Badut itu pun kemudian
mengemasi uang logam di payung, dituangkannya ke dalam sebuah tas
pinggang hitamnya. Payung dilipat, lalu ia berdiri , tetap dengan
kepala tertunduk lesu. Petugas memegang lengannya, kiri dan kanan,
lalu membimbing Badut ke dalam mobil yang diparkir agak jauh dari
tempat tersebut.
Alangkah
menyedihkannya. Seorang yang setiap hari menghibur orang-orang yang
lewat di Jalan Ledseplein, kini digelandang oleh petugas dengan
aptuh, tanpa daya, dan tanpa iringan tawa atau, apalagi, air mata
siapa pun kecuali gambar air mata di pipinya. Jalannya amat pelan,
seolah ia enggan meninggalkan sepotong jalan yang selama ini
menghidupinya. Hermann tegak tercenung, John dan kawan-kawannya
terpaku berdiri di seberang jalan. Gerda tidak ada. Sesekali Badut
menoleh ke belakang dengan pelan, seperti hendak menyampaikan salam
perpisahan entah ke pada siapa dan sampai kapan.
Orang-orang
lain pun menarik nafas sedih. Mereka mengikuti Badut kesayangannya
dengan pandangan penuh kasih sayang. Begitu pula diriku. Aku kecewa
tapi tentu siapa pun yang bersalah pasti takkan berdaya di hadapan
hukum negeri itu. Kekecewaanku bertambah-tambah lagi ketika kemudian
ingat bahwa sampai hidupku yang kesekian tahun, aku telah kehilangan
dua orang badut.
Adakah
negeri lain yang penuh dengan badut? Agar aku dapat ketawa
sepuas-puasku tanpa dipotong nasib?
*)
Cerita pendek ini pernah dimuat di SKH Waspada,
Medan, 24 Agustus 2005, dimuat di sini dengan sedikit perbaikan.
Komentar
Posting Komentar