Langsung ke konten utama

Makanan Khas & Ekonomi Warga

Oleh Adji Subela (Bagian-1)


Berbagai makanan khas daerah mampu mendongkrak perekonomian warganya lewat perjuangan tanpa henti para pioner mereka. Tanpa gembar-gembor, tanpa bantuan Pemerintah Kabupaten masing-masing, mereka mati-matian merintis penjualan produk makanan tertentu atau unggulannya, yang mungkin justru tidak berasal dari daerahnya sendiri, tapi mampu mereka jual dengan brand baru sendiri.
Ini terlihat di Jakarta, yang menjadi tempat berkumpulnya warga dari berbagai daerah. Bisnis mereka merambat berkembang ke sejumlah kota besar di luar Pulau Jawa, dan meningkatkan kesejahteraan keluarganya serta para famili yang ada di kampung halaman.
Mereka umumnya membawa para anggota keluarganya untuk berjualan di rantau demi alasan ekonomis karena tidak membayar mahal seperti mempekerjakan karyawan lain. Pada suatu saat nanti “anak didik” itu mampu mandiri mengembangkan usaha sejenis di tempat lain, dengan teknik serupa. Seiring berjalannya waktu, bisnis itu merambat, berkembang dan mampu menyejahterakan warga di kampungnya.
Mari kita lihat beberapa jenis makanan di Jakarta, dan mungkin juga berkembang di kota-kota besar lainnya, di antara sekian banyak macamnya, yang dijual oleh para warga daerah tertentu sehingga nama daerah itu melekat dengan produknya.

  1. Warung Tegal. Semula warung nasi sederhana saja melayani para tukang becak di Jakarta yang umumnya sama-sama berasal dari Tegal, Jateng. Di awal dasawarsa 70-an masakannya sangat serderhana, paling terdiri atas sayur-mayur seperti kubis, tauge, kacang panjang, ditambah tempe serta tahu goreng, sambal, kecap murahan dan sebagainya. Yang istimewa adalah porsi nasinya besar sehingga cocok buat tukang becak yang secara fisik berat pekerjaannya. Lama-lama warung ini populer di kalangan mahasiswa berkantong tipis, lantas berkembang hingga sekarang. Dengan datangnya warung Padang, para pemilik Warteg (Warung Tegal) belajar dan berbenah dan semakin baik makanannya, tempatnya, maupun pelayanannya. Mereka membawa sanak-saudaranya yang kemudian berkembang semakin marak. Pendapatannya mereka belikan sawah atau rumah yang cukup bagus di kampung halaman.
  2. Warung Padang. Sebenarnya ini warung nasi dari Sumbar, namun lebih terkenal dengan nama Warung Padang. Pelayanan warung Padang rata-rata baik standarnya, dan baku. Setiap tamu yang baru datang akan segera disambut dengan mangkuk cuci-tangan, serbet, serta air minum. Semula mereka tidak menjual makanan luar Minang, tapi di Jakarta, lama-lama mereka berkembang menjual masakan tahu-tempe, lalapan dan sejenisnya. Mereka umumnya membawa sanak-saudaranya yang kemudian berkembang berusaha sendiri. Sayang ketika mereka makin berkembang standar pelayanannya jadi tidak sama dibanding ketika mereka masuk ke Jakarta dulu. Hal ini tak terlepas dari lingkungan yang ingin serba cepat dan praktis. Kelihatannya terjadi pertukaran “sistem” atau selera antara Warung Padang dan Warteg lewat pelanggannya yang sering membeli di kedua pihak. Warung Padang kini lebih banyak melayani sistem ramas ketimbang cara saji komplet yang menjadi cirri khas mereka dahulu. Sedangkan Warteg mendapatkan pengalaman penyajian yang komplet dan rapi dari Warung Padang.
  3. Bakso “Solo”. Semua orang tahu, bakso adalah makanan asli China. Tapi sejak tahun 60-an, perantau asal Wonogiri berusaha membuat bakso versi mereka sendiri. Mereka menambahkan bihun, mie kuning, sayuran, tahu, dan belakangan taoge juga. Bakso mereka terkenal sebagai Bakso Solo. Semula mereka berkumpul di Tanjung Priok serta daerah pinggiran ibukota lainnya, membentuk komunitas sekampung pembuat bakso. Usaha itu lama-lama berkembang semakin banyak, dan kini restoran bakso modern bertebaran, pengusahanya kaya-kaya, karena dagangan mereka kemudian digemari warga dari klas lebih atas.
  4. Sate-gule “Solo”. Di ibukota dan sekitarnya banyak bertebaran warung sate-gule yang memakai brand Solo. Nama warungnya populer dengan nama-nama seperti Pak Min, Pak Jo, dan sebagainya. Padahal sebagian besar penjual sate-gule itu berasal dari Boyolali, satu kabupaten di sebelah utara Surakarta. Dengan memakai merk Solo warung mereka cepat berkembang. Mata dagangannya berupa sate, gule, tongseng, dan terkadang sop. Hampir semua bentuk, cara penyajian, dan rasanya nyaris seragam, jadi memiliki karakter tertentu. Sate gule “Solo” ini menguasai pasar Jabodetabek, dan sate-gule model lain kurang atau belum dapat diterima pasar yang umumnya klas menengah ke bawah.
  5. Bubur kacang hijau. Cobalah Anda tanya para penjual bubur kacang hijau dan ketan hitam di Jakarta. Mereka umumnya berasal dari Kuningan atau Majalengka, Jabar. Secara turun-temurun dan berkat bimbingan saudara pendahulunya, para penjual kacang hijau kian melebarkan bisnisnya. Pendapatannya baik dan dapat menyejahterakan anggota keluarga mereka di kampung. Kini warung mereka bertambah isinya dengan berbagai jenis mi instan, bermacam-macam minuman panas dan kue-kue ringan.
  6. Martabak Lebaksiu. Makanan berbahan baku telur, yaitu martabak, dipercaya berasal dari tanah India. Namun di sana sendiri ternyata tidak ada martabak. Kemungkinan ini hasil kreasi imigran asal India yang masuk ke Sumatra dan kemudian ke P. Jawa. Seorang pria asal Lebaksiu, Tegal, bekerja untuk WN India penjual martabak. Ketika sang majikan pulang ke tanah airnya, pria ini membikin sendiri martabak dan mengajak sanak-saudaranya dari kampung. Kini penjual martabak kebanyakan berasal dari daerah ini selain dari Bandung atau Bangka yang juga berkembang dengan cara ini. Mereka berhasil hidupnya sebagai tukang martabak secara turun-temurun, dan menyebar lewat hubungan kekeluargaan.
  7. Soto Madura made in Lamongan. Dahulu soto Madura amat terkenal di Jatim. Lalu popularitas itu dipakai warga Lamongan untuk menjual soto gaya mereka sendiri dengan brand Madura. Lama-lama soto tersebut berkembang, banyak orang Lamongan berusaha di bidang ini dan kini berani memakai merk sendiri, Lamongan. Soto Maduranya sendiri justru menghilang. Bisnis ini berkembang berkat sistem kekeluargaan juga, dan sudah menyebar ke berbagai koa besar di tanah air.
  8. Pecel lele. Sama seperti soto di atas, orang Lamongan menguasai pasar pecel lele di Jakarta, bahkan hingga ke luar Jawa. Tentu saja gaya masakan pecel lelenya amat berbeda dengan aslinya di Jatim. Tapi karena warung pecel lele model ini kian tersebar, maka resep aslinya justru tidak disukai publik “baru” tadi. Pecel lele mampu menembus daerah yang secara tradisional kuat konsumsi ikan lautnya, seperti Sulut, Gorontalo, dan Kalimantan. Semula orang Sulut dan Gorontalo tidak suka ikan lele, sebab di sana ikan laut berlimpah-limpah. Tapi orang Lamongan nekat masuk dengan menawarkan masakan pecel lelenya yang berbeda dan terbukti mampu bertahan dan berkembang. Selain pecel lele, para pedagang asal Lamongan juga mahir menjual produk seafood. Di Jakarta mereka menambahkan nasi uduk dan ayam goreng, dan menu lain untuk menjaring langganan.
  9. Sate Madura. Di era Presiden Sukarno, sate ayam dikenalkan ke manca negara. Sate ayam itu model Ponorogo, Jatim. Sate ini memang terkenal waktu itu, akan tetapi terlalu elite dan tidak memperhatikan pasar kelas bawah. Kesempatan ini dimanfaatkan orang Madura dengan menjual sate model Madura berkeliling Jakarta. Kini justru sate Madura yang sangat terkenal dan menguasai lidah orang Jakarta.
  10. Pecel Madiun. Pecel ini termasuk pendatang baru di ibukota. Oleh karena masyarakat Jakarta lebih kenal pecel lele terlebih dahulu, maka ketika pecel Madiun masuk pasar, disambut dingin. Orang sering kecele masuk ke warung Pecel Madiun, karena dikira berjualan pecel lele. Salah satu pioner pecel Madiun adalah Mbak Ira, dari keluarga penjual pecel daerah Klenteng Madiun. Tak kenal lelah ia dan suaminya mengenalkan pecel sayuran itu hingga 15 tahun kemudian usahanya berkembang sampai punya enam cabang di Jabodetabek. Para familinya menjalankan usahanya di tiap-tiap cabang. 

    ...bersambung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par