Oleh Adji Subela
Kabupaten
Singkawang, Kalimantan Barat, memiliki ciri khusus, agak berbeda dengan
kota-kota lainnya di Indonesia. Populasi daerah ini terutama di dalam kota
sebagian besar terdiri atas saudara kita WNI keturunan China, sehingga cukup
unik. Apalagi mereka kebanyakan masih memelihara tradisi leluhurnya.
Kehidupan di sana
harmonis, masing-masing suku dapat berdampingan dengan damai. Bahkan dalam
upacara-upacara tradisional, suku-suku lainnya berpartisipasi. Sungguh satu
harmoni yang cantik.
Kota ini sejak awal
tertata secara baik, semula dibangun berdasarkan blok-blok, mirip dengan
kota-kota di Serawak dan Sabah, Malaysia Timur. Namun perkembangan yang begitu
cepat menyebabkan Singkawang akhirnya kurang lebih sama dengan kota-kota lain
yang berkembang di tanah air.
Satu keramaian khusus
terjadi menjelang dan selama perayaan Tahun Baru Imlek yang tahun ini akan
jatuh pada tanggal 23 Januari ini. Boleh dikatakan kota Singkawang hidup 24 jam
penuh dengan segala kemeriahannya. Malam menjelang Imlek hampir seluruh
penduduk kota keluar merayakannya, dengan segala penampilan seni-budaya mereka.
Pangg
ung-panggung dibangun di pusat kota dan pesta kembang api seolah tak terpisahkan darinya. Pada puncak acaranya, diadakan pawai budaya, yang menampilkan tradisi mengarak Tatung, tokoh spiritual dalam tradisi agama Konghucu, dengan menampilkan atraksi-atraksi menarik.
ung-panggung dibangun di pusat kota dan pesta kembang api seolah tak terpisahkan darinya. Pada puncak acaranya, diadakan pawai budaya, yang menampilkan tradisi mengarak Tatung, tokoh spiritual dalam tradisi agama Konghucu, dengan menampilkan atraksi-atraksi menarik.
Pengkang, kue lemper khas Kalbar |
Karena mayoritas
keturunan China, maka hampir di setiap pelosok wilayah dapat kita temukan
kelenteng, tempat peribadatan agama Konghucu. Sejak seminggu sebelumnya, mereka
menghiasi klentengnya dengan berbagai macam bentuk dan warna lampion, hiasan-hiasan
lain untuk menghormati arwah leluhurnya.
Umumnya mereka
memasang lampu warna-warni guna menghiasi klenteng tersebut, sehingga terlihat lebih
cantik di malam harinya. Klenteng-klenteng itu terletak di berbagai tempat,
seperti tepian sungai, kaki bukit, di tengah perkampungan, di pinggir-pinggir
hutan, dan sebagainya. Oleh sebab itu ketika malam tiba, terutama malam Tahun
Baru itu, wilayah ini bertaburan kilau lampu-lampu kelenteng dan lampion yang
dipasang orang di pohon-pohon atau tiang-tiang.
Gulai dan sate kepah |
Kemudian ketika hujan
turun – satu berkah dari Tuhan menurut kepercayaan mereka – maka suasana
semakin syahdu.
Tidak lupa dalam
kaitan perayaan Imlek tersebut adalah pesta yang diadakan untuk menyambut Tahun
Baru mereka terdiri dari berbagai masakan tradisional China serta masakan
peranakan, satu gabungan antara masakan negeri Tiongkok dan lokal.
Pengkang, semacam
lemper, seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan selain berbagai masakan mie,
capcay dan sebagainya. Pengkeng dibuat dari ketan putih, didalamnya terdapat
tumisan udang ebi. Ketan dan isinya dibungkus memakai daun lalu dijepit memakai
lidi bambu lantas dibakar. Dinikmati memakai sambal pengkang sedap disantap
sebagai teman minum kopi.
Masakan lokal seperti
sate kepah (kerang rawa) yagn besar-besar, gulai kepah sering muncul juga
sebagai jamuan. Sedap nampaknya.
Siang harinya,
penduduk umumnya mencari tempat rekreasi guna melepaskan kepenatan selama
setahun dan seminggu sebelumnya. Pantai Tanjung Batu yang terletak di jalur antara
Singkawang-Sambas menjadi satu pilihand dari sekian banyak tempat rekreasi.
Pantai yang memang penuh bebatuan itu cukup indah untuk disinggahi, menyaksikan
bebatuan yang memecah ombak pantai, angin yang sejuk dan warung-warung makan
yang terseid aid lereng bukitnya memberi kesejekan fisik dan mental
pengunjungnya.
Sungguh, indah. What a wonderful world...begitu alunan lagu
Louis Amstrong, yang memuja indahnya dunia dengan segala isinya, dan menjadi theme song film kartun Madagascar.
Komentar
Posting Komentar