Langsung ke konten utama

"Bangun Lagi Rumah Proklamasi!"

Pengibaran bendera Merah-Putih jahitan Ibu Fatmawati. Yang mengibarkan adalah Chudancho Latief Hendraningrat dan Soehoed (membelakangi kamera) dari Barisan Rakayt pimpinan Sudiro. Foto-foto bersejarah ini diambil oleh Alex Sumarto Mendur dengan negatif plat terbatas.

Rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56 saksi penting Proklamasi Kemerdekaan.
  • Guna kepentingan sejarah bangsa dan pariwisata
  • Bang Ali pernah akan membangunnya kembali
  • Kenapa Bung Karno membongkar rumahnya?
            Sejumlah kelompok a.l. terdiri atas para konservasionis, arsitek, ahli sejarah dan idealis menginginkan agar rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jalan Proklamasi) Jakarta Pusat, tempat di mana Proklamasi Kemerdekaan diumumkan 17 Agustus 1945, dibangun kembali sesuai aslinya.
            Pembangunan kembali rumah itu dianggap penting baik dari sisi sejarah maupun pewarisan nilai-nilai Kemerdekaan 1945 kepada generasi muda mendatang. Di samping itu rumah bersejarah tersebut diharapkan dapat menjadi obyek/tujuan wisata sejarah di Jakarta sebagaimana halnya Museum Fatahillah dan Kota Lama sekarang. Dengan adanya monumen Kemerdekaan, di mana peristiwa penting yang mengukir sejarah Kemerdekaan diumumkan, dapat memberi gambaran nyata ke pada generasi muda tentang bagaimana Proklamasi diumumkan.
            Pembangunan kembali rumah itu secara fisik tidak akan mengalami hambatan sebab tapak bangunan hingga kini masih ada, terlebih lagi gambar arsitektur dari tahun 1935 masih tersimpan lengkap. Di samping itu dokumentasi mengenai segala bagian bangunan mulai dari kusen, tegel, kunci, gerendel, gembok hingga perabotan masih lengkap. Dokumentasi itu dibuat sesaat sebelum rumah bersejarah itu dirubuhkan untuk dibangun Gedung Pola seperti sekarang ini.
Para arsitek serta alumni Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Univ. Tarumanagara, mengharapkan baik Pemerintah Pusat, Pemprov DKI Jakarta, serta pengusaha besar mau mengijinkan dan membiayai pembangunan kembali rumah bersejarah tersebut.

Negara lain melakukan
           Negara lain yang mencintai sejarah bangsanya melakukan pembangunan kembali tempat-tempat sersejarah mereka guna kepentingan generasi muda serta peresapan nilai-nilai sejarah mereka sendiri, di samping untuk pariwisata.
Beberapa monumen sejarah yang menjadi contoh pembangunan kembali rumah Proklamasi itu antara lain kompleks Williamsburg di Virginia, AS. Kota itu memang bukan lokasi proklamasi kemerdekaan Amerika Serikat, tapi wilayah tersebut tempat awal koloni asal Inggris mendirikan pemukimannya. Kota tersebut berhasil dibangun kembali seperti sedia kala, sekaligus ditunjukkan kehidupan saat itu dengan menggaji para aktor/aktris untuk berperan sesuai situasi jamannya. Sekarang selain untuk kepentingan sejarah kota itu menjadi tujuan wisata dengan angka kunjungan tertinggi di AS.
            Sebuah bangunan gereja Ortodoks yang dihancurkan pemerintahan komunis Uni Sovyet di kota St. Petersburg berhasil dibangun kembali selain guna keperluan peribadatan juga untuk mengenang sejarah Rusia. Gereja itu juga banyak dikunjungi wisatawan dalam maupun luar negeri.
            Kota Warsawa, Polandia, membangun kembali sejumlah gedung bersejarah yang hancur lebur akibat Perang Dunia Ke II lalu. Pemerintah kota menganggap penting pembangunan kembali bangunan kuno itu selain untuk kepentingan sejarah juga sebagai daya tarik pariwisatanya. Mereka berhasil, gedung-gedung dibangun sesuai aslinya kendati beberapa bagian disesuaikan dengan tuntutan jaman.

Melengkapi “museum rumah”
Rumah Bung Karno, tempat Proklamasi Kemerdekaa 17 Agustus 1945. Rumah ini perlu dibangun kembali untuk situs sejarah perjuangan kemerdekaan.

            Jakarta kini memiliki sejumlah “museum rumah” yang memiliki nilai sejarah tinggi. Beberapa di antaranya adalah Museum Sasmita Loka di Jalan Lembang, berupa bekas rumah Jendral Ahmad Yani yang gugur di tangan pemberontak G.30.S/PKI tahun 1965. Di Jalan Tengku Umar juga ada Museum Jendral A.H. Nasution yang juga bekas rumah almarhum yang nyaris menjadi korban keganasan G.30.S./PKI, namun putri bungsunya gugur.
“Akan sangat bagus kalau rumah Bung Karno dibangun kembali guna melengkapi museum-museum sekarang yang dulunya rumah saksi sejarah bangsa kita,” kata Ir. Indro Kusumowardono, salah seorang konservasionis penggiat kelompok yang menginginkan pembangunan rumah Proklamasi.

Walikota Jakarta Sudiro menentang pembongkaran
            Walikota Jakarta Sudiro mengatakan dirinya menentang rencana Bung Karno untuk membongkar rumah di Jl. Pegangsaan Timur 56 tersebut untuk dijadikan Gedung Pola. Ia menganggap rumah itu sangat bersejarah bagi rakyat Indonesia. Rencana tersebut memang tertunda hingga Sudiro merasa beruntung ketika rumah tersebut dirubuhkan ia sudah tidak menjabat sebagai Walikota lagi (Soebagijo I.N., Sudiro Pejuang Tanpa Henti, PT Gunung Agung, Jakarta, 1981, hlm 259).

Bang Ali ingin membangun kembali
            Sebenarnya ide pembangunan kembali rumah Bung Karno yang bersejarah itu pernah pula dilontarkan kepada Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Letjen TNI (Mar) Ali Sadikin. Kebetulan salah seorang pejabat DKI yang pernah menangani pemugaran Museum Fatahillah dan Jakarta Kota yaitu Ir. W.P. Zhong (alias Tjiong Sun Hong) sudah mengusulkan hal itu kepada beberapa pihak.
Ternyata Bang Ali sendiri berpendapat serupa. Ketika meresmikan Gelanggang Remaja Planet Senen dan pembangunan empat monumen lainnya ia menyatakan Pemprov DKI akan membangun kembali rumah bersejarah tersebut, tinggal menunggu ijin dari Pemerintah Pusat (Ramadhan KH, Bang Ali, Demi Jakarta 1966-1977, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993) . Namun hingga Gubernur itu lengser, cita-citanya tak terwujud, bahkan hingga sekarang.
Di masa pemerintahan Presiden Suharto dibangun patung Sukarno-Hatta di halaman Gedung Pola dan diresmikan olehnya pada 16 Agustus 1980. Namun letaknya membelakangi arus lalu lintas hingga tidak tampak secara baik. Di masa itu dikabarkan pula diajukan usulan untuk membangun kembali rumah bersejarah Bung Karno tempat Proklamasi Kemerdekaan diumumkan, tapi Presiden RI Kedua itu cuma tersenyum dan menjawab,”Kan sudah ada patungnya.”

Kenapa Bung Karno membongkar rumahnya?

Pembacaan teks Proklamasi oleh Ir. Sukarno. Bung Hatta ada di sebelah kanan gambar. Kiri berdiri dengan seragam PETA adalah Chudancho Latief Hendraningrat, kakek Gugun Gondrong (baca cukilan biografinya di rubrik RESENSI)
            Satu pertanyaan besar yang menggayuti para peminat sejarah sejak dahulu yaitu kenapa Bung Karno menyuruh membongkar rumahnya yang bersejarah itu. Presiden RI Pertama itu terkenal benci pada tanda apa pun berkaitan dengan kolonialisme sehingga membiarkan patung-patung ataupun gedung-gedung warisan Belanda yang indah-indah dirubuhkan walaupun dia sendiri berlatar belakang arsitek.
            Tapi kenapa ia membiarkan rumah bersejarahnya ikut dirubuhkan?
            Ada pendapat yang bersifat spekulatif bahwa Bung Karno merasa rumah itu memberinya kesedihan terhadap perkawinannya dengan Ibu Fatmawati karena dari situlah awal perpisahannya dengan Ibu Negara Pertama tersebut, walaupun secara resmi tidak bercerai. Hal ini berpangkal dari perkawinan Bung Karno dengan Hartini, ketika belum lama Ibu Fatmawati melahirkan Guruh Sukarnoputra, tahun 1953. Akan tetapi alasan yang pasti belum pernah jelas.

Komentar

  1. Presiden Soekarno yang legendaris kharismatik telah melakukan dua blunder dalam perjalanan hidupnya yang historikal, yaitu PKI & Penghancuran rumah di proklamasi 56. Saya dukung pembangunan kembali rumah monumen kemerdekaan RI.

    BalasHapus
  2. Saya setuju kalau rumah itu dibangun kembali, demi kepentingan sejarah yang harus dipahami, diresapi generasi mendatang

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par