Langsung ke konten utama

Tonton The Iron Lady, Pemimpinku!




Oleh Adji Subela


  • “Di antara mereka mungkin ada yang tidak setuju, tapi pemimpin macam apa saya ini kalau tidak bisa menemukan cara (mengatasi masalah)?”
  • Rakyat memilih kita untuk bekerja mengatasi masalah….”



            SUPERB! Itu kata yang tepat bagi Meryl Streep ketika memerankan mantan PM Britania Raya Margaret Thatcher, dalam film garapan Phyllida Lloyd, The Iron Lady.
           Bukan lantaran ia sudah memenangkan Piala Oscar untuk perannya itu, tapi Meryl Streep yang sudah jadi langganan nominasi Oscar tersebut mampu menghidupkan tokoh Margaret Thatcher dengan prima justru pada masa ketika “Perempuan Besi” itu telah lengser dari kedudukannya dan menjadi perempuan tua biasa, yang belanja susu sendiri ke toko dekat rumah. Pada episode inilah justru peran yang sulit, yaitu ketika seorang mantan pemimpin negara besar harus dibayangi masa lalunya, kegamangannya di usia lajut, kesepiannya dalam sendiri, dan pengorbananan yang telah diberikan serta bayangan almarhum suami Dennis Thatcher (diperankan oleh Jim Broadbent) yang sangat dicintainya.
           Eksploitasi psikis sang mantan pemimpin sangat prima, dengan ditunjang oleh make-up yang sangat baik, termasuk memasang gigi palsu pada Meryl Streep agar "sesuai dengan aslinya". Make-up men yang terdiri dari Mark Collier dan J. Roy Helland juga memenangkan Oscar untuk jerih payahnya itu. Boleh dikatakan, inilah film puncak untuk Meryl Streep di mana ia bisa peras kemampuan aktingnya. Dia pelajari dan dia latih aksen Inggris Margaret yang kental dan tegas dengan penekanan kata terakhir, menekankan gambaran keteguhan hatinya.
           Kesuksesan Meryl Streep memerankan tokoh terkenal ini mengikuti para pendahulunya seperti Yaphet Kotto sebagai Idi Amin, George Scott sebagai Jenderal Patton, Ben Kingsley sebagai Mahatma Gandhi, dan lain-lainnya. Sedemikian hidup peran-peran itu dibawakan mereka sampai orang bisa lebih percaya pada pemeran itu daripada tokoh aslinya.

Galau seorang nenek
           Film ini bercerita mengenai kenangan Margaret Thatcher di masa tuanya, diungkap dalam otobiografi yang diberi judul Margaret Thatcher, A Life in Number 10. Maksudnya bagaimana ia merintis karir hingga tinggal di Downing Street Nomer 10, tempat tinggal resmi PM Inggris. Dibuat dalam bentuk kilas-balik film ini tidak membingungkan, dan penonton begitu mudah membedakan adegan masa kini dengan masa lalunya.
           Establishing shot menggambarkan seorang perempuan tua memilih botol susu di rak toko kecil lalu berjalan terbungkuk-bungkuk seperti nenek-nenek umumnya hendak membayar di kasir. Ia mengantri seperti warga umumnya, tapi ia nampak syok ketika melihat bagaimana orang-oang Inggris sekarang tidak sesopan dahulu, mulai malas mengantri dan menghormati perempuan tua, dan…..tidak mengenali bekas pemimpin mereka. Ia merebus telur sendiri, melayani suaminya, Dennis Thatcher, teh, telur setengah matang dan roti berlapis mentega. Ia berjalan terbungkuk-bungkuk seperti warga biasa di sela desingan kendaraan di jalan raya, dan tumpukan sampah, satu hal yang membuatnya geregetan di masa awal karir politiknya.
Konflik-konflik bathinnya mulai muncul ketika ia gamang memasuki kehidupan normal sebagai perempuan tua dengan suaminya, dan hidup sebagai nenek-nenek pada umumnya. Padahal ketika hendak menikah dengan Dennis, putri pemilik toko grosir itu sudah menegaskan bahwa dia bukan perempuan yang suka tinggal di rumah melulu, mencuci pakaian, piring, menyapu dan lain-lainnya. Dia adalah aktivis Partai Konservatif. Calon suami tak peduli. Dennis muda yang diperankan oleh Harry Lloyd, menerima dan menikmati perkawinannya. Kisah cinta mereka tulus dan romantik hingga kakek-nenek.
Geregetan
           “Geregetan” pertama Margaret muda (diperankan oleh Alexandra Roach) adalah cemoohan remaja-remaja putri temannya yang menjulukinya gadis toko grosir sebab dia memang bekerja membantu orangtuanya. Kemudian setelah mendapat kesempatan kuliah di Oxford ia tumbuh menjadi gadis cerdas dan keras hati. Dalam Partai Konservatif ia mulai menapak karir politiknya hingga menjadi anggota parlemen. Ia menjadi satu-satunya tokoh politik perempuan yang menonjol hingga merebut kursi Ketua Partai. Banyak pihak yang sinis padanya terutama karena ia selalu memperjuangkan peningkatan kesejahteraan keluarga seperti kesehatan dan pendidikan.
           Ketika kemudian duduk sebagai PM Inggris perempuan pertama, ia makin galak. Saat Argentina menyerang Kepulauan Falkland (Malvinas) Margaret Thatcher meradang dan minta perebutan kembali. Biaya yang menjadi keberatan sejumlah jenderal diabaikan. “Kita harus merebut milik kita di mana pun,” katanya sambil menunjuk bagaimana ketika Hawaii diserang Jepang, AS yang jauh tempatnya mempertahankan hingga pecah perang Pasifik.
           PM Margaret Thatcher betul. Britania Raya menang dan ia kian populer. Ia dijuluki Perempuan Besi atau “The Iron Lady” karena selain pendiriannya yang kukuh, ia keras menghadapi Uni Sovyet dan sekutunya hingga runtuhnya tembok Berlin serta negeri Tirai Besi itu. Ia tambah populer dan bertahan di kedudukannya hingga 10 tahun. Ia menjadi perempuan PM Britania Raya satu-satunya hingga kini.

Contoh kepemimpinannya
Dalam film lembut ini ada beberapa adegan yang sangat ekspresif seperti ketika Margaret melepaskan pakaian dan aksesorinya dibantu sang putri, Carol (Olivia Colman), seolah ia meninggalkan atributnya sebagai kepala pemerintahan Britania Raya, lalu berjalan tertatih-tatih sebagaimana seorang nenek yang kelelahan berjalan. Sekali lagi akting Meryl Streep tak terbantahkan sebagai sangat baik.
          Juga adegan di mana Margaret harus berlatih vokal guna memperbaiki suaranya yang cenderung cempreng meninggi juga sangat bagus.
           Bagi penulis, adegan penting, bagus dan justru relevan untuk Indonesia saat ini adalah ucapan Margaret – lewat shot close-up dan mimik wajah yang prima dari Meryl Streep – yang berbunyi:
           “Rakyat memilih kita karena mereka percaya kita bisa mengatasi masalah-masalah…….” Serta,
          “Di antara mereka mungkin ada yang tidak setuju, tapi pemimpin macam apa saya ini kalau tidak bisa menemukan cara (mengatasi masalah)?”
Banyak suara rakyat kita yang merindukan pemimpin yang seperti itu. Untung ada film The Iron Lady. Mudah-mudahan banyak pemimpin kita menonton film tersebut dan khususnya menyimak bagian ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par