Pak Sakimo setia melayani pelanggannya |
Mie
tentu saja berasal dari negeri China, dibawa oleh para hoakiauw
ke
Indonesia sejak berabad lalu. Kini mie malah sudah demikian melekat
dalam kuliner lokal dan menjadi bagian dari hidup sehari-hari
sebagian besar masyarakat, terutama di kota-kota besar tanah air.
Salah satu jenis masakan mie yang terkenal adalah mie ayam, yaitu mie
yang dimasak memakai air panas kemudian diaduk dengan minyak goreng,
sawi hijau rebus, serta daging ayam berbumbu. Sering pula mereka
menambahkan bakso serta pangsit, yaitu selembar terigu telur dengan
daging cincang.
Para
penggemar mie ayam memilih makanan ini sebab harganya relatif murah,
mereka mendapatkan asupan karbohidrat dalam jumlah lumayan
mengenyangkan, mendapatkan daging serta sayuran, di samping rasanya
tentunya.
Orang-orang
dari Wonogiri, Jateng, menjadikan mie ayam sebagai salah satu
dagangan unggulannya di samping bakso. Dulunya, para pedagang mie
ayam berasal dari Comal, perbatasan antara Jabar-Jateng. Salah
seorang warga Wonogiri yang setia menjajakan mie ayam sejak tahun
78-an adalah Pak Sakimo (65 th), pria asal Giriwoyo, Kec. Baturetno,
Wonogiri. Ia menggelar dagangannya di pojok antara Jalan Latuharhary
dan Jalan Subang, Menteng, Jakarta Pusat. Rasa masakannya di atas
rata-rata sedikit, dan konsisten walaupun harga sembako di pasaran
sedang naik, sehingga pelanggannya setia mengunjungi gerobak mie
ayamnya hingga kini.
Sejak
pagi-pagi, sekitar pukul 07.00 ia sudah datang dari tempat tinggalnya
di daerah Jakarta Kota, dan menyediakan sarapan bagi para karyawan
yang lewat di daerah itu. Pada awalnya, pelanggan utamanya adalah
siswa-siswa sekolah di dekatnya, serta para orangtua atau pengantar
mereka. Setelah sekolah itu pindah ke Kelapa Gading, langganan
terbesarnya berkurang. Namun demikian pengalaman berjualan puluhan
tahun di tempat itu membuatnya mendapatkan langganan setia. Boleh
dikatakan dia tak sempat beristirahat melaayani pembeli. Untuk itu ia
mendidik keponakan laki-lakinya agar dapat membantunya dan pada
saatnya berdiri sendiri.
Ditanya
mengenai awal pekerjaannya, Pak Sakimo bercerita, pada dekade 70-an
ia bekerja di Jakarta Kota. Di dekat tempat tinggalnya ada orang
Purwokerto yang membuat mie telur untuk dijual di pasar. Dia diajari
bagaimana memasak mie ayam yang ketika itu masih termasuk jenis
makanan baru.
“Ya,
sudah, saya belajar dan ternyata enak juga berdagang mie ayam,
keterusan sampai sekarang,” tuturnya.
Baginya
berdagang tak mengenal sukses atau tak sukses. Dia berprinsip terus
bekerja, melayani langganan dan mencari apa yang disukai mereka.
“Hidup tak perlu ngoyo
(memaksa)
sebab rejeki sudah diatur dari atas (maksudnya Tuhan),” tambahnya
ketika sempat beristirahat dan berbincang-bincnag dengan JURNAL
BELLA.
Tempat
berjualan Pak Sakimo enak, teduh, tenang tidak berisik. Para
langganannya mulai dari pelajar SLTA hingga karyawan kantoran atau
para supir taksi yang melintas di kawasan itu. Di sampingnya ikut
berjualan pria asal Tasik yang melayani minuman serta rokok pelanggan
Pak Sakimo.
ini langganan saya juga om.........
BalasHapusenak nih mie ayam subang.. udah porsi kuli, pangsitnya juga mantep
BalasHapus