Judul :
Abdul
Latief Hendraningrat, Sang Pengibar Bendera Pusaka 17 Agustus 1945.
Penulis :
Dr.
Nidjo Sandjojo, M.Sc.
Penerbit : PT
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2011
Jumlah
halaman :
xviii
+ 274
Ukuran
buku : 15 cm x 23
cm
Siapa yang
tak pernah melihat foto pengerekan bendera pusaka Sang Saka Merah
Putih saat proklamasi 17 Agustus 1945? Di sana ada pemuda berseragam
PETA lengkap dengan samurainya mengerek bendera merah-putih jahitan
Ibu Fatmawati itu.
Gara-gara
seragam tersebut musuh-musuh republik menyebut kemerdekaan Republik
Indonesia hadiah Jepang. Padahal pemuda Komandan Kompi (Chudancho) I
Jakarta Shu Tentara Pembela Tanah Air atau PETA itu adalah Abdul
Latief Hendraningrat (15 Februari 1911 – 14 Maret 1983). Namanya
seolah tertelan jaman, karena sifatnya yang rendah hati dan memegang
ajaran Jawa sepi ing
pamrih (tidak
mengedepankan kepentingan pribadi, red).
Secara
etnis dia anak Jawa tulen, malahan berdarah biru, tapi dia lahir
sebagai anak Demang (Wedana) Jatinegara 15
Februari 1911, dan besar di daerah itu. Ayahnya adalah Raden Mas
Mochamad Said Hendraningrat, ibunya Raden Ajeng Siti Haerani. Ketika
baru berusia setahun, ibundanya wafat dan diganti ibu tiri yang
penyayang asal Garut yang memberinya tiga adik yaitu Rukmini, Rukmito
Hendraningrat (diplomat yang cukup terkenal, red) dan Siti Salamah
(Hlm.61). Tidak heran Latief pun menguasai secara aktif bahasa Jawa
dan Sunda (serta dialek Betawi tentunya, red). Ia juga keponakan Mr.
Ishak Tjokrohadisurjo, salah seorang tokoh perintis kemerdekaan.
Pendidik,
tokoh PETA
Abdul
Latief Hendraningrat juga fasih berbicara dalam berbagai bahasa asing
seperti Inggris, Jerman, dan Prancis, selain Belanda karena ia ulusan
AMS (Algemeene Middlebare School). Semasa penjajahan ia mengajar di
berbagai perguruan yang berorientasi pada pergerakan kemerdekaan. Dia
juga berkesempatan pergi ke Amerika Serikat untuk melaksanakan
pameran di New York World’s Fair tahun 1939 dan meluangkan waktu
untuk belajar masalah pendidikan (hlm 67-70). Semasa pendudukan
Jepang ia mengusulkan pembentukan Pusat Latihan Pemuda karena pemuda
militan masih kurang dibandingkan mereka yang berkemampuan
intelektual (Hlm 81-82). Ia diberi wewenang memilih 15 pemuda sebagai
awal, a.l. Kemal Idris, Rukmito Hendraningrat, Kusnowibowo, dan
Muffreini. Ketika PETA dibentuk resmi 3 Oktober 1943, Abdul Latief
Hendraningrat langsung diangkat sebagai Komandan Kompi (Chudancho)
karena paling senior, di bawah Komandan Batalyon (Daidancho) Jakarta
Mr. Kasman Singodimedjo. Dari sinilah identitas PETA Latief
Hendraningrat nampak dalam foto yang sangat bersejarah itu. Ia juga
menjadi salah seorang pendiri Badan Keamanan Rakyat (BKR) di jakarta.
Abdul
Latief Hendraningrat pernah duduk di sejumlah jabatan penting seperti
Direktur Pusat Pendidikan PerwiranTNI AD di Bandung, Atase Militer di
Filipina, Washington, DC, AS, Direktur SSKAD di Bandung, anggota DPR
GR, dan sejumlah jabatan lainnya termasuk Rektor IKIP Jakarta tahun
1965-1966. Ia pensiun dari tugas militer 1967 dengan pangkat terakhir
Brigadir Jenderal TNI. Abdul Latief, seperti terlihat, dia banyak
berkutat di bidang pendidikan, hingga selama masa bhaktinya di TNI
AD. Ia menekankan pentingnya pendidikan, terutama pendidikan watak
bangsa. Di masa pensiun ia menjadi wiraswatawan dan salah seorang
tokoh ASITA (Associaion of the Indonesian Tours and Travel Agencies).
Tertatih-tatih
Sesungguhnya
buku ini cukup penting guna mengungkap kehidupan para tokoh pejuang
kemerdekaan, yang tentunya akan sangat bernilai bagi sejarah bangsa
dan dapat dipelajari dan diambil manfaatnya oleh generasi mendatang.
Sayangnya buku yang ditulis oleh menantu almarhum Abdul Latief
Hendraningrat ini sejak awal sudah terjebak pada istilah
“penulisan sejarah” tokoh pengerek bendera pusaka tersebut. Akan
tetapi pembaca tidak mendapatkan gambaran apakah buku ini bercerita
mengenai biografi Latief Hendraningrat, memoar, “sejarah” atau
pemikirannya.
Dari
sembilan Bab yang ada, yang benar-benar berisi informasi mengenai
Abdul Latief Hendraningrat secara memadai hanya Bab V hingga VIII.
Satu resume yang
lumayan rinci riwayat hidup tokoh ini terdapat di Halaman 251 hingga
262. Resume ini senyatanya dapat menjadi titik pijak kita dalam
mencari informasi dan mendalami lebih lanjut siapa Abdul Latief
Hendraningrat. Kita juga ingin ada catatan lebih rinci, akurat
seputar proklamasi itu dari sisi pandang Latief Hendraningrat. Untung
ada tuturan asli dari Abdul Latief Hendraningrat mengenai
pengalamannya menjelang proklamasi 17 Agustus 1945. Informasi di sini
sangat penting dan terbukti “menegangkan” dari langkah ke
langkah, dari salah seorang pengukir sejarah (Hlm. 145 - 170).
Satu
informasi yang sangat penting yang dikemukakan penulis berdasarkan
penuturan almarhum mertuanya itu bahwa pengerek (pengibar) bendera
itu adalah Abdul Latief Hendraningrat sendiri dibantu seorang pemuda
dari Barisan Pelopor bernama Soehoed
(Hlm. 123). Tak ada nama lain. Soehoed ini pula yang diperintahkan
pemimpin Barisan Pelopor Soediro (pernah menjadi Walikota Jakarta
Raya, red) membuat tiang bendera darurat dari bambu dan ditanam
beberapa meter dari dua tiang bendera yang dinilainya berbau Jepang.
Seperti diketahui ada klaim di tahun 2011 dari orang lain yang
mengatakan bahwa dirinyalah pengerek bendera Pusaka Merah Putih pada
17 Agustus 1945 itu (red).
“Sejarah”
tak bisa dihapus
Kendala
kekurangan informasi ini dapat dimengerti mungkin kekurangan
keterangan dari almarhum sendiri yang tidak banyak bicara. Ada banyak
hal yang perlu dikorek dari almarhum. Seperti catatan kronologi
Moeljati, salah seorang pendiri Kowad tentang perjalanan perjuangan
kelompok Letkol Latief (Hlm 223-236) yang sangat rinci dari hari ke
hari, adalah modal kuat mengenai mozaik “biografi” Latief
Hendraningrat.
Abdul
Latief Hendraningrat
pernah mengalami masa pahit ketika ia ditahan tanpa sebab yang jelas
berdasarkan Surat Perintah Panglima Angkatan Darat PRIN-77/3/1966
ditandatangani oleh Mayjen TNI M. Panggabean selaku Deputi Pembina
Menteri/Panglima Angkatan Darat. Ia dibebaskan tanpa pengadilan dan
tanpa penjelasan memadai oleh Jenderal yang sama melalui
PRIN-317/7/1966 (Hlm. 200 – 201).
Almarhum
“beruntung” sebab mendapatkan hak pensiunnya sebagai Pati TNI AD,
dan ketika meninggal dunia dimakamkan di TMP Kalibata dalam upacara
militer dengan Inspektur Upacara Menko Kesra Jenderal TNI (Purn)
Surono. “Sejarah” perannya dalam republik tak bisa dihilangkan
begitu saja.
Peristiwa
pengerekan bendera itu tentu saja moment
tunggal yang amat sangat berharga dan takkan berulang. Namun dengan
cara bertutur buku yang kurang lancar sedikit membingungkan pembaca
awam. Apalagi judul-judul Bab tidak terfokus pada diri Latief
Hendraningrat (yang menurut catatan redaksi adalah kakek Gugun
Gondrong dari garis ibunya, Ny. Hj. Tuning Sukobagyo). Alih-alih
mendapatkan informasi akurat dan komplet mengenai siapa Abdul Latief
Hendraningrat, kita justru lebih banyak mendapatkan pengetahuan
lainnya.
Komentar
Posting Komentar