(Bagian-2)
Oleh
Adji Subela
Yang
belum mendapatkan posisi
- Sate ayam Ambal, Kebumen. Seperti yang dapat Anda baca dalam situs ini beberapa waktu lalu, dari segi rasa sate ayam Ambal berpotensi untuk maju. Di Jakarta beberapa kali orang menawarkan sate ini tapi menemui kegagalan. Di Jalan Lapangan Roos, Tebet, Jakarta Selatan, dulu terdapat satu restoran khusus menawarkan sate Ambal. Tak bertahan lama. Demikian juga yang ada di Jalan Buncit Raya, disusul di Parung, Bogor. Persis seperti dikatakan Pak Kasman, generasi keempat pewaris satu Ambal, tanpa pengabdian dan kecintaan, hidup-mati dari dagangan itu, bisnis tidak bertahan lama.
-
Sate Ayam Ponorogo. Sate ayam ini semula hanya berkembang di Ponorogo dan kota-kota lain di Jatim atau Jateng. Belum ada warung sate ayam Ponorogo yang berhasil menancapkan brand mereka. Ketika reog Ponorogo diklaim Malaysia, banyak yang memanfaatkan momentum itu untuk berjualan sate ayam gaya Ponorogo, seperti di Rawamangun, Cikokol, Depok. Semuanya kurang berhasil dan banyak yang tutup. Di Depok hanya di Margonda yang masih bertahan. Salah satu kendalanya, harga sate ini sedikit agak mahal dibandingkan sate ayam Madura yang sudah populer, sementara publik belum terbiasa dengan rasanya.
Sate ayam model Ambal, Kebumen, dan penikmatnya Dawet ayu Banjarnegara dengan gerobak khasnya keluar masuk kampung di Jakarta Dawet hitam Butuh. Di Jakarta, kini mulai bertebaran orang asal Butuh, Kutoarjo, Jateng, menawarkan produk daerah mereka berupa dawet cendol hitam. Cendol ini dibuat dari pati aren dan dicampur abu merang sehingga berwarna hitam. Rasanya kurang lebih sama saja dengan cendol pati aren lainnya, akan tetapi warna hitam menjadi brand mereka sehingga lama-lama orang Jakarta terbiasa. Dawet cendol hitam dikenalkan antara lain oleh Bondan Winarno lewat acaranya yang populer, Wisata Kuliner, di salah satu stasiun TV nasional. Ekspansi dawet ini mulai terasa di ibukota, namun belum populer betul.
Perjuangan
mandiri
Masih
banyak lagi makanan-makanan “khas
daerah”
yang kini sudah berjaya atau sedang berjuang mencari posisinya.
Sesungguhnya para pioner penjualan segala jenis makanan khas
adalah pahlawan
bagi keluarga maupun warga di kampung halamannya. Dengan gigih,
mereka memasarkan produknya. Ia tidak tergoda
akan iming-iming jenis dagangan lain, dengan kata lain mereka hidup
atau mati dengan satu produk unggulan itu.
Kini
banyak tersebar berbagai jenis usaha waralaba. Promosi dan
publikasinya sangat berlebihan, membikin silau orang-orang untuk
mengikutinya, persis seperti teknik Multi Level Marketing yang
menawarkan “kekayaan uang” di awang-awang. Lalu outlet-outlet
mereka menjamur di mana-mana dan dikabarkan di media massa dengan
gegap-gempita. Salah satu daya tariknya karena disebutkan pemiliknya
mengeruk uang miliaran per bulan. Terbukti kemudian
gerai bisnis
“menggiurkan” ini banyak yang rontok satu per satu, dan habis
begitu saja, sama seperti nasib perusahaan MLM yang pengusahanya
sudah telanjur kaya, tapi downliners-nya
sudah compang-camping, badan capek, uang banyak keluar dan terbukti
tidak mendapatkan pesawat terbang, rumah mewah atau kapal pesiar
seperti yang digembar-gemborkan.
Di
awal tahun 2001 ada satu
bisnis waralaba
yang nampak “kemaruk” atau terlalu bernafsu untuk mengembangkan
banyak jenis makanan,
seolah hampir
semua makanan diwaralabakan
olehnya. Diberitakan di media massa secara besar-besaran pemiliknya
begitu hebat mengeruk uang tiap bulannya. Terbukti kemudian waralaba
itu kini ambruk nyaris tak berbekas lagi.
Dawet ireng (hitam) khas Butuh, Purworejo mulai "bertarung" di Jakarta |
Malaysia
lebih hati-hati
tidak sembarangan memberi ijin waralaba. Seseorang harus membuktikan
dagangannya telah laku dan populer minimal dua tahun. Di Indonesia
pendatang baru langsung mewaralabakan produknya walau belum teruji di
pasar, sehingga terbukti luruh dengan cepat. Yang paling celaka
nasibnya adalah para pewaralaba yang mungkin tersihir berita media
massa dan promosinya lantas ikut-ikutan investasi sekedar mencari
“peluang bisnis”. Mereka korban promosi berlebihan, salah satu
ciri kapitalisme. Mereka
umumnya ambrol di
jalan, sebab dia pun tak mau keluar banyak modal untuk mempromosikan
usahanya, satu policy
yang seharusnya dilakukan pemilik/pemegang waralaba.
Nampaknya
yang lebih
bijaksana adalah
para pedagang
makanan “kuno” seperti yang diceritakan sebelumnya. Pak Kasman,
salah seorang pelopor sate ayam Ambal, Kebumen, bilang kepada saya,
banyak orang yang mencoba-coba berjualan sate sepertinya tapi gagal.
Itu karena mereka bukan “keturunan penjual sate” yang asli
seperti dirinya. (Baca
Artikel saya terdahulu mengenai Sate Ayam Ambal di situs ini juga)
Dalam
kalimat sederhananya itu, tergambar bahwa selama produk itu
diperjuangkan mati-matian, di mana orang hidup atau mati hanya
menjual dagangan unggulannya, maka itulah penjual profesional yang
kebal cobaan. Mentalitas inilah yang dimiliki para pioner dan penerus
penjual makanan dari daerah sehingga berhasil, bukan saja untuk
kesejahteraan keluarga mereka, tapi juga warga lainnya serta nama
daerah, tanpa publikasi berlebih-lebihan.
Terbukti
kemudian, satu cara penjualan yang “kuno”, “tradisional”,
“ketinggalan jaman”, kurang “trendy”, “jadul” justru
menunjukkan daya tahan luar biasa, karena didukung oleh para anggota
keluarga yang setia, dedikasi tanpa henti karena menyangkut hidup
atau mati mereka sendiri. Terbukti pula bisnis tradisional ini
kemudian sedikit
demi sedikit memperbaiki
diri, meningkatkan
kualitas seiring
kontak mereka dengan kemajuan jaman.
Mereka
pun kini mampu membeli kios-kios di pertokoan mewah dan hidupnya pun
mewah tanpa gegap gempita promosi yang sudah di luar nalar sehat, dan
salah satu point terpenting dari pembicaraan kita kali ini adalah:
Mereka memberikan
kemakmuran pada daerah asalnya.
Semua
dilakukan dengan rendah hati, tanpa gembar-gembor publikasi yang
sering membujuk, “menipu”, dan menyesatkan publik.
Kearifan
lokal Indonesia terbukti mampu bertahan atas gempuran kapitalisme,
neo-liberalisme. Itu kata berlebihannya.
Sekali lagi, ketika terjadi krisis ekonomi – yang berkembang kea
rah krisis multidimensi – tahun 1977 sektor ini masih tegar, karena
tidak terlalu bernafsu untuk ekspansi yang biasanya didorong guna
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, sehingga untuk itu mereka
harus mengerahkan modal yang umumnya diambil dari pihak lain seperti
institusi bank, misalnya.
Pertanyaannya,
kenapa kita gampang percaya pada promosi bisnis yang datang dari
negeri Barat ketimbang local
wisdom yang terbukti
ampuh hidup di negeri kita sejak jaman nenek-moyang dahulu? Salah
satu jawabnya mungkin, orang terpengaruh ingin lekas kaya raya
mendapatkan kesenangan dunia mengejar impian model American Dreams,
melupakan keseimbangan dan kebijaksanaan hidup.
Tentu
saja kita tidak menolak konsep kemajuan dari mana pun datangnya. Akan
tetapi semakin jelas bahwa apa-apa yang berakar dari budaya kita
sendiri terbukti paling cocok untuk kita selagi di Barat sendiri
mulai muncul kritik terhadap kebudayaan yang mereka kembangkan,
karena tidak mampu menyelesaikan efek-efeknya terutama terhadap
lingkungan hidup. Kearifan Timur mulai dilirik orang Barat. Apa kita
meninggalkan dan melupakan, apalagi tidak menganggap baik akar budaya
yang terbukti mampu membentuk harmoni yang begitu indah selama ini,
sebagai warisan nenek-moyang kita sendiri?
TAMAT
CATATAN
– mengenai apa “kesalahan” promosi yang berlebihan yang
berkembang pada era neo-kolonialisme dan peranan media massa sekarang
ini, dikupas Dr. Selu Margaretha Kushendrawati dari Univ. Indonesia
dalam bukunya berjudul Hiperralitas
dan Ruang Publik – sebuah analisis cultural studies.
Baca rubrik RESENSI edisi sekarang ini guna mendapatkan gambaran
sekilas isinya.
Komentar
Posting Komentar