Oleh
Adji Subela
Judul
film : Tinker,
Tailor, Soldier Spy
Pemain :
Gary
Oldman, Colin
Firth, John
Hurt, Mark Strong, dll
Skenario :
Bridget
O’Connor
Sutradara :
Tomas
Alfredson
Kisah
spionase sering menarik, karena di sana ada intrik, tipu-menipu,
ketegangan,
dan aksi-aksi fisik. Tapi tak semua kisah spionase harus seperti gaya
agen 007 James Bond yang flamboyan-spektakuler, atau gaya Bounce
yang penuh aksi Hollywood. Film Tinker,
Tailor, Soldier Spy
(TTSS)
menjadi perkecualian.
Film
produksi 2011 garapan sutradara Tomas Alfredson ini mewakili gaya
konservatif Inggris yang tenang, serius dan penuh misteri. Film
adaptasi dari novel karya John le Carré ini penuh persoalan
“administratif” mengenai kebocoran operasi Inggris di Hungaria
selama perang dingin, awal dekade 70-an.
Ceritanya
agak mirip kisah nyata kebobolan dinas rahasia Inggris ke KGB Uni
Sovyet, yang justru didalangi pimpinannya, Kim Philby.
Juga mirip perburuan MI-5 terhadap Philip, Burgess Maclean dan Blunt
para agen yang berkhianat seperti yang diceritakan mantan Asisten
Direktur Dinas Rahasia Kontra-spionase MI-5 yaitu Peter Wright dalam
otobiografinya, Spycatcher,
yang menghebohkan di tahun 1988. Di buku itu kecurigaan jatuh pada
puncak pimpinannya yaitu Sir Roger Hollis, tapi tak pernah terbukti
sampai semua pensiun, dan menimbulkan perpecahan di dalam dinas
rahasia itu.
Pemimpin
MI-5, Control (diperankan oleh John Hurt), berniat mengundurkan diri
setelah operasi dinasnya di Budapest, Hungaria,
gagal. Ia curiga ada salah seorang dari lima orang pucuk pimpinan
menjadi “tikus” dan mengincar dirinya atas bocoran dari agen
Rusia, Ricky. Control mengutus Jim Prideaux (Mark Strong) kembali
menyamar ke Hungaria dan justru ditembak di sana, dan mengalami
siksaan.
George
Smiley ditugasi Control untuk membuka siapa tikus di atas “sirkus”
(operasi),
walaupun sebenarnya dia pensiun. Setelah melalui penyelidikan panjang
dan berbelit, Smiley berhasil menyingkirkan sejumlah rekannya yang
kotor. Sementara itu Jim Prideaux mempunyai cara untuk mencucikan
dirinya yaitu dengan menembak mati salah seorang pemimpin lainnya,
Bill Haydon (Colin Firth) dengan berurai air mata sebab Bill adalah
teman dekatnya. Akhirnya George Smiley justru memimpin dinas rahasia
itu.
Gary
Oldman nyaris menyabet Oscar
Film
versi layar lebar ini sebelumnya pernah diproduksi berupa serial
televisi, dan di Indonesia pernah disiarkan TVRI Stasiun Pusat
Jakarta pada awal dekade 80-an dengan judul yang sama. Versi TV lebih
tegang, walaupun tetap tidak menonjolkan kekerasan.
Versi
layar lebar sekarang ini lebih menekankan konflik batin Smiley dan
bertumpu pada dramatiknya. Sejumlah aktor terkenal bermain di sini
seperti John Hurt (The
Elephant Man),
serta Colin Firth yang memenangkan Piala Oscar sebagai Pemeran Utama
Terbaik dalam film King’s
Speech
tahun lalu (baca resensinya di JURNAL BELLA www.adjisubela.com
ini juga). Akting Gary Oldman patut dipujikan sebagai George Smiley
yang sudah lelah karena memasuki masa pensiun dan diberati masalah
serius yang menumpuk. Ia dinominasikan sebagai Pemeran Utama Terbaik,
tapi kalah oleh Jean Dujardin, aktor Prancis yang belum terkenal di
Indonesia.
Nama
Oldman menonjol ketika bermain sebagai Count Dracula dalam film
garapan Francis Ford Coppola, meskipun ia sering bermain dalam
film-film berat. Seperti biasa, John Hurt dengan aksen Inggrisnya
yang kental mampu membawakan perannya sebagai Control, pimpinan Dinas
Rahasia yang telah lelah.
Fotografi
apik
Seperti
halnya film Inggris umumnya, gambar-gambar yang ditata oleh Hoyte van
Hoytema cukup apik, dengan nuansa kemuraman yang merata tidak terjadi
jumping
serius yang mengganggu hingga akhir film. Kamera mereka tancap pada
kaki-kaki dan tidak dengan cara handheld
yang
gambarnya sering memusingkan kepala seperti dalam film-film Hollywwod
sejenis misalnya trilogi Bounce
atau Mission
Impossible.
Komposisi
terjaga dengan baik, tertib seperti “buku pakem” perfilman
Inggris yaitu bagaimana menempatkan wajah big-close-up
secara enak, di kiri atau kanan ruang, sesuai prinsip komposisi
keseimbangan. Follow
shot
terjaga baik sehingga tidak ada kemelesetan kamera yang mengganggu.
Ditunjang oleh kualitas film Fuji fotografi film TTSS enak dilihat,
seolah meruntuhkan dominasi film Kodak di masa lalu (belakangan
tersiar kabar Kodak menyatakan diri bangkrut).
Bagi
penonton atau pengamat film serius, film ini patut ditonton dengan
tentunya memakai referensi mengenai dunia spionase Inggris
yang naik-turun sejak PD II. Maka film berat semacam ini menjadi
nikmat.
Komentar
Posting Komentar