Langsung ke konten utama

Bertemu Pelacur Belanda Keturunan Indonesia


Kongres Pelacur se Dunia (Bagian 6)
(Hanya untuk orang dewasa)

Oleh Adji Subela
Peserta dari Italia berdebat dengan anggota gerakan feminis.
Norma Jean Almodovar mengaku dirinya penganut Libertarian, orang-orang yang sangat mengagungkan kebebasan pribadi sepenuhnya. Bagi saya, orang bodoh dan tidak berpengalaman dalam pergaulan dunia, terutama Barat, apa yang dialami mantan Polwan itu benar-benar mengagetkan dan berada di luar garis edar pengetahuan saya yang cupet. Beruntung saya bertemu dengan orang seperti itu sehingga menambah wawasan diri saya sendiri, dan lebih mengenal warna-warni perangai dan budaya bangsa-bangsa lain.
Hari itu adalah hari terakhir Kongres Pelacur se Dunia II. Terasa sangat istimewa bagi wartawan. Para kuli tinta bertambah banyak jumlahnya, barangkali mereka terprovokasi oleh pernyataan-pernyataan selama Kongres berlangsung. Jangankan bagi saya, yang datang dari negara dunia ketiga, belahan Selatan, bagi orang-orang Barat pun apa yang dituntut oleh para pelacur itu pun cukup mengagetkan.
Di salah satu surat kabar lokal dikutip pernyataan seorang anggota parlemen Eropa yang menyebut tuntutan-tuntutan itu berlebihan. Ia menyesalkan penyelenggaraan Kongres yang diadakan di gedung Parlemen Eropa, sehingga membuat gedung itu mirip bordil raksasa. Tapi Kongres toh jalan terus sampai hari itu, hari terakhir.
Oleh karena terakhir itulah kami para wartawan diperbolehkan masuk ke ruang sidang. Ruang ini bentuknya mirip ruang sidang gedung DPR RI kita, setengah lingkaran. Luasnya kira-kira sama dengan ruang sidang kedua, bukan ruang sidang utama yagn dipakai untuk rapat pleno DPR RI itu, yang biasanya untuk pidato pengantar keuangan oleh Presiden RI.

Apakah yang berapat di situ waktu itu sama dengan anggota DPR kita, allahualam bissawab. Perlengkapan sidang kurang lebih sama dengan ruang sidang DPR kita waktu itu, tapi bedanya masing-masing kursi ada beberapa tombol dan headphones untuk penerjemahan. Ada delapan bahasa resmi yang dipakai dalam sidang Parlemen Eropa, dengan 40 orang penerjemah resmi yang berada di ruang kaca di sekitar podium utama. Hebatnya semua penerjemah resmi itu dipakai juga selama Kongres berlangsung. Hebat sekali! Jika setiap hari para penerjemah itu bekerja untuk masalah-masalah politik, ekonomil, sosial, pertahanan, dan sebagainya, kini mereka harus menerjemahkan hal-hal berbeda.
Ya namanya pelacur, ternyata di mana-mana pun tingkah lakunya hampir sama, kecuali menurut klas mereka sendiri. Para kupu-kupu malam itu berpakaian ganjil dan norak, persis seperti apa yang mereka pakai selama menjalankan pekerjaannya. Teriakan, pekikan, derai tawa lepas, gebrakan meja mewarnai sidang berklas dunia itu. Ada yang duduk di kursi, tapi ada pula yang duduk dimeja sambil menyilangkan kaki, walaupun kebanyakan pesertanya sama-sama perempuan juga.
Akan tetapi di antara mereka itu nampak masih banyak juga yang sopan santun, sikap tingkah lakunya correct seperti Norma Jean Almodovar. Pakaian mereka pun anggun-anggun pula. Barangkali, ini menurut dugaan saya, mereka datang dari dunia pelacuran tingkat tinggi atau sedikitnya punya klas yang “baik”.
Mereka, para bidadari dari dunia malam itu, menyilakan wartawan mengambil tempat duduknya sedangkan mereka sendiri mengalah, ada yang berdiri dan ada yang duduk di meja. Tentu saja jumlah wartawannya tak sebanyak peserta, sehingga mereka umumnya masih kebagian tempat duduk juga.
Tempat duduk saya semula milik anggota delegasi dari Jerman. Ia sangat sopan, pakaiannya tidak menyolok, dan berbahasa Inggris baik sekali.
“Anda peserta Kongres juga? Dari mana?” tanya saya.
Anggota delegasi Italia diwawancarai TV lokal
“Betul, saya peserta dari Jerman. Silakan Anda minum,” jawabnya sambil menunjuk gelas berisi air putih dan sari jeruk yang terdapat di masing-masing kursi.
“Anda tidak minum?”
“Tidak Anda tamu kami, silakan,” jawabnya dengan sopan.
Di podium duduklah para petinggi Kongres, seperti Margot St James, Norma Jean Almodovar, seorang perempuan berkulit hitam dan berbadan kekar asal AS, Gloria Lockheed, dan beberapa lagi wakil dari Prancis, Swiss, Italia, Inggris dan Kanada. Di sana dibacakan pernyataan akhir Kongres istimewa itu.
Setiap ada pernyataan yang mendukung mereka, para bidadari itu memekik-mekik, berteriak, menggebarak-gebrak meja. Malahan ada yang bersuit segala! Sedangkan kalau ada pernyataan yang isinya mengenai ketidak beruntungan pekerjaan mereka maka serentak terdengar teriakan, “Huuuuuuuuu.....”. Dari teman wartawan lokal, saya mendengar teriakan seperti itu tidak pernah ada selama ini di gedung sidang Parlemen Eropa. Lha iyalah.
Beberapa pernyataan akhir datang dari berbagai negara. AS diwakili Norma Jean. Ia menggambarkan bagaimana para pekerja seks itu diperlakukan sebagai sapi perah oleh polisi AS. Walaupun hukum di Amerika Serikat itu tidak menganggap pelacuran sebagai tindak kriminal, tapi apda praktiknya, pelacur dianggap sebagai kriminal dan diperlakukan sebagai penjahat lain pada umumnya. Itu di tahun 1986. entahlah sekarang ini.
Di California sendiri selama tahun 1986 itu sudah ratusan pelacur ditangkapi tapi tidak pernah ada solusi simpatik. Mereka dilepas lagi dengan membayar “denda” dalam jumlah tertentu untuk ditangkap lagi lain waktu.
Di tengah ingar-bingar kongres yang luar biasa bersemangat dan meriah itu, tiba-tiba saja suasana menukik tajam ke titik nadir ketika dua orang pelacur asal Thailand menceritakan bagaimana kondisi pelacuran di negara Dunia Ketiga. Suasana ribut itu tiba-tiba menjadi sepi, semua tercekam oleh fakta yang dilaporkan dua orang anggota delegasi Thailand.
Mereka ini perempuan-perempuan cantik, mungil, mengenakan kacamata dan topi yang dibenamkan dalam-dalam untuk menutupi wajahnya. Dua orang itulah yang saya temui tempo hari di lift!
Mereka takut ketahuan polisi negaranya. Malahan dalam pembicaraan singkat dengan saya sebelum konperensi di ruang sidang itu, ia bertanya serius apakah saya polisi Thailand yang membuntuti mereka. Alamaaaak.....kalaupun ada polisi Thailand betulan apa iya mereka mau membuntuti dua orang PSK yang ikut kongres seperti membuntuti mata-mata yang membahayakan keamanan negara? Berapa biayanya? Apa urgensinya?
Tapi itulah ketakutan dua bidadari mungil dari Asia Tenggara itu.
Kenapa pernyataan mereka membuat sidang terhenyak, silakan mengikutinya pada seri berikutnya minggu depan.
Yang menarik seusai sidang terakhir itu terjadi insiden kocak di depan pintu gerbang Gedung Parlemen Eropa. Nampaknya ada sekelompok perempuan asal Italia yang datang langsung ke Brussels memakai mobil sendiri. Mobilnya diparkir di trotoar seberang gedung, dihiasi bermacam-macam tulisan dalam Bahasa Italia.
Anggota gerakan feminis Italia itu membentangkan poster-poster protes mereka dalam bahasa mereka sendiri. Lewat seorang rekan wartawan lain saya mengerti isinya, a.l. “Kami Menentang Pelacuran”; “Pelanggan Pelacur adalah Pemerkosa”, dan masih ada beberapa lagi.
Mereka ini berdiri di dekat pintu keluar. Begitu para delegasi keluar dari gedung, aktivis Italia itu berteriak-teriak. Nah, kebetulan sekali yang keluar pertama itu justru peserta dari Italia, jadi ramai sekalilah mereka itu berdebat dalam Bahasa Italia. Mereka lupa ini ranah luar negeri yang harusnya mereka sadari tak banyak yang mampu berbahasa itu. Tapi dasar Italia, mereka nekad berdebat seru sekali.
Bahasa dan gerak tubuh mereka menarik, ribut, suaranya keras seperti kita melihat film mafia. Ini mengingatkan saya pada film Godfather karya Francis Ford Copolla dulu. Aktivis itu ngotot minta masuk ke dalam gedung, tapi dicegah oleh Satpam.
“Kami minta bicara langsung di depan Kongres,” teriak seorang perempuan Italia itu.
“Silakan kalian masuk, Kongres sudah selesai,” jawab anggota delegasi Italia. Para aktivis itu terlambat. Jarak yang cukup jauh dari negerinya membuatnya telat. Jadi mereka cukup berteriak-teriak di luar gedung yang sudah kosong.
Satu kejadian yang membuat saya terkejut adalah ketika di antara para peserta itu keluar gedung. Seorang perempuan muda berkulit sawo matang seperti saya, tiba-tiba mendekati saya. Ia tersenyum ramah sambil mengulurkan tangan. Ini salah satu keramahan khas Indonesia.
“Halo, Anda dari Indonesia?” tanyanya.
“Betul Anda dari mana Thailand?” tanya saya sedikit menyimpang, takut ia tersinggung.
“Oh, bukan. Kakek nenek saya asal Indonesia, tapi saya lahir di Belanda dan tak bisa berbahasa Indonesia,” tuturnya. Nah, betul juga perkiraan saya.
“Anda ikut kongres ini?”
“Ya, dua tahun lalu saya pernah praktik di sebuah hotel indah di Jakarta, selama dua bulan,” tambahnya lagi. Waduh, pikir saya.
“Oya? Boleh saya ngobrol dengan Anda?” pinta saya.
“Oh tidak saya harap jangan,” jawabnya dengan ramah lalu buru-buru pergi menyusup di antara kerumunan peserta yang keluar gedung. Selesai. Hilang kesempatan saya mewawancarai seorang pelaur tingkat tinggi dari Belanda, berdarah asli Indonesia. Sayang, akan banyak informasi menarik darinya.
.....bersambung minggu depan........
kenapa peserta sidang tiba-tiba senyap ketika delegasi Thailand bicara?................

Komentar

  1. menarik untuk ditanyakan, "siapa nama pelacur tingkat tinggi dari Belanda tersebut??"

    BalasHapus
  2. Sayang dia tak mau menyebutkan namanya. Bahkan pelacur Barat pun selalu punya nama "bisnis" di luar nama aslinya yang disembunyikan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima