Langsung ke konten utama

Zaidin Wahab, Sastrawan Betawi yang Terlupakan




In Memoriam
- Sastrawan Betawi “Pinggiran” yang Produktif

Oleh Adji Subela

            Saya terperanjat dan sedih mendengar Pak Zaidin – begitu kami wartawan Harian Terbit ketika itu memanggilnya – tergolek sakit di rumahnya yang sederhana di bilangan Utan Kayu, Jakarta Pusat.
            Bung Nuraliem Halvaima mempostingkan foto itu ke status saya di facebook. Ia nampak ditemani rekan kami, salah seorang wartawan harian tersebut. Sudah lama saya tak bersilaturahmi ke rumahnya. Biasanya setiap Lebaran saya datang. Lalu jadi tekat saya untuk datang kepadanya Lebaran tahun ini. Malahan ketika beliau sakit, saya pun tak dapat datang karena juga tergeletak sakit. Ingin sekali bertemu beliau. Tapi terlambat. Beliau berpulang 23 September 2011 dalam usia 75 tahun, di rumahnya di Jl Sirsak No.16 Rt 02/Rw 10, Utan Kayu Utara, Matraman, Jaktim. Innalillahi wainaillaihi rojiun, semoga Allah SWT menerima segala amalnya, mengampuni dosa dan kesalahannya, dan menempatkannya di sisiNya. Amien ya robbalamien.
            Ketika saya masih muda, di tahun 78-an, saya, almarhum, dan Pak Soebekti suka jogging pada hari Minggu pagi. Ketika sudah “menua” dan ditelan kesibukan masing-masing, kegiatan itu terhenti.

“Si Jampang” kelahiran Lampung
            Almarhum terkenal dengan cerita si Jampang, yang pernah difilmkan oleh PFN dan perusahaan film swasta lain. Cerita rakyat Betawi ini ia ceritakan kembali dengan gayanya sendiri, tapi tetap dalam frame kultur Betawi yang kocak. Rasa Betawi cerita Pak Zaidin amat lumer, hidup, dan dinamis seolah kita diajak kembali ke masa di mana para jawara masih berkuasa, melawan Tuan Tanah, Kumpeni, atau Babah yang suka memeras rakyat kecil.

            Hidup, dan nyata Betawi. Padahal, almarhum lahir di Lampung, dan pindah bersama orangtuanya ke Betawi ketika dia masih duduk di sekolah dasar. Namun berkat pergaulannya dengan lingkungannya yang serba Betawi, ia menjadi Betawi tulen, mulai dari gaya bicara, tingkah-laku, dan cara berpikirnya 100% Betawi.
            Ia orang yang rendah hati, tak pernah mau berkonfrontasi dengan orang lain, dan perbedaan pendapat diselesaikan lewat humor khas Betawi gaya Zaidin Wahab. Bahkan ketika dia didzolimi, ia cuma ketawa saja. Bukan itu saja, ia amat sungkan minta tambahan uang transport atau sejenisnya.
            Sepanjang pergaulan kami dengannya tak pernah kami lihat ia marah-marah. Akibatnya kami anak-anak muda menjadi sungkan pada Pak Zaidin.

Mengegos
            Pak Zaidin rajin mengisi cerita silat Betawi bersambung di koran Pos Kota sejak awal era 70-an hingga tak lama sebelum ia jatuh sakit. Beberapa penerbitan di bawah grup Pos Kota ia isi juga. Tak pernah absen walaupun dalam keadaan sakit. Setiap hari Pak Zaidin adalah redaktur yang paling pagi datangnya di kantor. Sejak pukul 06.00 bahkan kadang sebelumnya, ia sudah ada di kantor mengetik episode selanjutnya dari cerita bersambungnya. Almarhum paling suka memakai mesin ketik Olivetti portable, dan mengetik pakai sistem 10 jari. Itu pun ia masih mampu berkomunikasi dengan orang lain sambil menoleh ke sana ke mari. Kemampuan itu yang saya tiru diam-diam dengan cara mengamati dari jauh dan membuat boss kami terheran-heran. “Dari mana Bela belajar ngetik kayak gitu,” ujarnya kepada Pak Zaidin. Yang bersangkutan senyum-senyum saja.
            Bila listrik belum hidup, ia menyalakan sendiri sebatang lampu lilin, tentunya suasananya menjadi mirip era si Jampang dulu itu.
            Sikap profesionalismenya sungguh patut diacungi jempol. Pengetahuannya mengenai seni bela diri silat lumayan tinggi hingga ia mampu bercerita jurus-jurus. Satu istilah yang kami selalu ingat yaitu “mengegos”, yaitu kalau si jagoan berkelit pantatnya menghindari serangan lawan. Kami sering memakai kata itu untuk tujuan yang berbeda-beda, dan sering melenceng dari makna Pak Zaidin, tapi almarhum tak pernah peduli.
            Bergaul dengannya enak, sebab selain penyabar, humoris, pengetahuannya cukup luas. Tak ada masalah sulit, tak ada masalah pelik, semua dihadapi dengan enteng. Salah satu khas sifat Betawi.

Terlupakan
            Saya pernah “merasa bersalah” sama sekali kepada almarhum. Pada waktu itu, tahun 2004 selesai lomba cerpen Betawi, Ketua Panitia-nya yaitu Bang Nendra WD bertanya siapa-siapa saja sastrawan Betawi senior yang rajin menulis cerita-cerita Betawi, nanti akan diajukan ke Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) untuk nama hadiah sastra Betawi. Dari beberapa nama, saya lupa menyebut sahabat saya sendiri, Pak Zaidin Wahab. Memang akhirnya nama pialanya memakai nama sastrawan Betawi yang sangat kesohor yaitu almarhum Firman Muntaco. Semua orang nampaknya bisa menerimanya sebab nama itu memang beken di kalangan Betawi atau di luarnya.
            Tapi kenapa saya lupa menyebut nama Zaidin Wahab yang begitu produktif menulis tiap hari selama lebih dari 30 tahun? Apakah prestasi itu tak layak diperhatikan? Inilah dosa saya pada almarhum dan keinginan saya untuk menemuinya antara lain untuk minta maaf, walaupun saya yakin 100% beliau tak peduli seperti biasanya. Bahkan dalam percaturan para sastrawan Betawi, apalagi anak-anak mudanya, jarang tersebut nama Zaidin Wahab. Maafkan kami, Pak.
Innalillahi waina illahi rojiun............doa kami mengiringimu Pak Zaidin.....
                          

Komentar

  1. Maaf Mas Bela, saya baru sempat mampir di blognya nih. Saya juga tidak berhasil mendapatkan tanggal kelahiran almarhum -- sekalipun sudah bertanya kepada adik almarhum (Yurisman) yang anehnya ybs juga tidak tahu -- sampai kemudian tulisan: "In Memoriam - Sastrawan Betawi “Pinggiran” yang Produktif" ini diturunkan Mas Bela.

    Sama dengan Mas Bela, saya juga punya banyak kenangan bersama beliau. Dimulai ketika saya masih koresponden Harian Terbit/Pos Kota di Makassar, almarhum pernah mampir, sampai suatu saat bekerja satu tim di tabloid Kiat Sehat di Jakarta. Inilah catatan saya tentang beliau yg saya tulis di blog Kompas.com

    http://sosok.kompasiana.com/2011/12/10/mengenang-100-hari-kepergian-zaidin-wahab-penulis-si-jampang-jago-betawi/

    dan juga di blog pribadi saya:
    http://aliemhalvaima.blogspot.com/search/label/Cerita%20Tokoh

    Semoga ada benang merahnya sehingga jadi lebih lengkap, lebih utuh. Salam.
    Nur Aliem Halvaima (NAH)

    BalasHapus
  2. Maaf mas, apkh cerita sijampang yg diposkota tsb sdh dibuat bukunya ? Lalu apkh ada hubungan cerita sijampang tsb dhn komik jampang ganes TH

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par