Langsung ke konten utama

Kongres Pelacur se Dunia (Bagian 4)






-

Danny C. (kiri), Geoffrey Fish (kanan)
Berapa perempuan mampu Anda layani tiap hari?
(Hanya untuk orang dewasa)
Oleh Adji Subela
Nampaknya Konges Pelacur se Dunia II ini cukup banyak pesertanya. Margot St. James mengatakan cukup puas atas ramainya kongres, tapi ia sebetulnya menginginkan kehadiran lebih banyak lagi peserta.
Ia menyebutkan peserta semuanya berjumlah 150 orang, di mana 70% di antaranya adalah pelacur aktif, “pensiunan”, germo, pengamat sosial, pekerja medis dan aktivis. Semula Margot mengundang delegasi dari 25 negara, tapi yang dapat hadir hanya dari 18 negara saja dengan berbagai alasan, antara lain takut ditangkap polisi, takut diketahui saudara dan kenalannya, takut pada germo mereka, dll.
Delegasi asal Jerman paling banyak yaitu 30 orang, disusul Belanda sejumlah 15 orang.
Sehabis mengumumkan jumlah peserta, Margot langsung dihujani pertanyaan dari para wartawan yang bertambah banyak saja petang itu.

“Apakah ada yang dari Spanyol?” teriak wartawan yang mungkin berasal dari negeri Real Madrid itu.
“Ada tapi justru mewakili Belgia,” jawab Margot.
“Ada yang dari Turki?” tanya wartawan dari negeri Ottoman itu.
“Tidak ada, padahal mereka kami tunggu-tunggu,” jawab Margot.
Kedua wartawan asal Turki itu kelihatan kecewa. Mereka baru datang pada pagi harinya. Mereka adalah dua orang pria tampan, tinggi besar dan ramah memakai pakaian jas resmi berdasi. Entah kenapa mereka pun akrab dengan saya, setelah tahu saya dari Indonesia. Saya bisikkan, bahwa di Leidseplein, Amsterdam, ada pelacur asal Turki yang sexy. “Tempatnya,” tambah saya, “ di kompleks pelacuran di sekitar sinagoga (tempat ibadah Yahudi) kuno yang sudah tak terpakai lagi.” Mereka berterimakasih, tapi inginnya bertemu delegasi Turki di Kongres Pelacur se Dunia II tersebut. Ya sudah.
“Apakah ada utusan yang mengaku datang dari Indonesia?” tanya saya.
“Tidak ada yang dari negara Anda?” jawab Margot.
“Ada yang dari Asia Tenggara?” tanya saya kembali.
“Empat orang, dua dari Thailand dan dua dari Filipina.”
Kembali Miriam si Lebanon menjadi rubungan wartawan. Wajahnya memang eksotis.
“Berapa penghasilan Anda, kira-kira?” tanya seorang rekan pers.
Miriam mengatakan kira-kira dalam dua bulan dia mendapatkan uang Rp.37 juta (waktu itu). Bisnis di Belanda memang menggiurkan.
Berapa perempuan Anda layani per hari?
Suasana ruangan itu meriah benar-benar. Di tengah cuaca yang mulai dingin di musim gugur itu, ruangan terasa hangat-hangat saja. Dari jendela yang lebar-lebar saya lihat lalu lintas di Rue Belliard berseliweran dengan tenang, rapi, dan tidak terburu-buru.
Capek juga rasanya badan ini. Saya ingin mencari kursi untuk sekedar beristirahat sebentar, karena terlalu lama berdiri dan mondar-mandir ke sana ke mari. Di dekat pintu, tak jauh dari tempat duduk saya, terlihat seorang pria muda, ganteng, berkulit bersih, halus (untuk ukuran Eropa), berkumis rapi dan sopan. Ia mengenakan kaos hitam dan celana jeans. Semula saya mengira ia wartawan juga. Ternyata ia mengenakan name tag sama seperti peserta. Jadi saya yakin dia juga peserta. Tapi dari unsur mana?
Saya dekati dia dengan hati-hati.
“Boleh saya bertanya, Anda apa peserta Kongres ini?” tanya saya.
“Betul, saya peserta dari Kanada,” jawabnya.
Saya sungguh terkejut. Rupanya di negeri Barat yang sangat modern itu, ada juga pelacur pria (ah, sekarang ini pun mungkin banyak juga di Indonesia!). Hebat betul pria ini. Sebab semua manusia rata-rata tahu bahwa pria terbatas kemampuan seksualnya, tidak seperti perempuan yang sekedar menerima berapa pun, kapan pun kecuali “berhalangan”. Kalau saja ada klien datang sehari lima orang, mana mampu pria segagah apa pun melayaninya?
“Jadi berapa perempuan yang mampu Anda layani tiap hari?” tanya saya penasaran.
“Oh, saya hanya melayani pria saja,” jawabnya dengan sopan. Ha!
“Oh maaf, jadi Anda homoseksual?”
“Ya, saya homoseksual.”
Namanya Danny Cockerline berusia 24 tahun, sudah tiga tahun menjalani pekerjaan sebagai pelacur homoseksual. Paling banyak ia hanya melayani tiga pria setiap harinya. Itu maksimal, tergantung ramainya “pasaran”. Setiap tahun ia mengumpulkan uang 30 ribu dolar Kanada waktu itu. Menurutnya itu “uang bagus” (good money). Ia mengaku selalu menjaga kesehatan, dan bisa memaksa kliennya untuk menggunakan alat pengaman.
Ia mengaku dari keluarga intelektual. Ayahnya seorang dokter. Semua anggota keluarganya tahu pekerjaannya apa, tapi tak pernah mempersoalkannya karena itu masalah pribadi Danny sendiri.
“Mereka sangat intelektual,” ujarnya.
Di sebelahnya berdiri pelacur pria asal Australia, Geoffrey Fish. Ia beroperasi di Sydney. Pemuda ceking dengan wajah tirus ini sangat tidak simpatik, berbanding terbalik dengan Danny. Dibalut jaket jeans bulak, ia mengesankan seperti seorang preman pemula. Ia mengeluhkan “kondisi kerja” di Sydney. Polisi sering mengadakan razia hingga ia harus berganti-ganti tempat operasinya.
Suhu udara di Brussel waktu itu memang dingin bagi orang tropis asli seperti saya. Tiba-tiba saja suhu turun menjadi 10 derajat Celsius, yang tentu menjadi siksaan. Kata teman-teman wartawan, ada angin Utara, dari Lautan Arktik yang berhembus menyapu Jerman, Belgia dan Belanda sehingga cuaca menjadi lebih dingin dari biasanya.
Kaca jendela berembun. Lalu saya pun duduk di tepi jendela. Di samping saya ada seorang peserta yang cantik dengan mata kehijauan cerah. Posturnya tidak tinggi, kira-kira cuma 164 cm. Cantik dan ramah. Sejak hari pertama saya sudah melihatnya, tapi tak pernah menyangka ia itu siapa.
Baru setelah dua wartawan tv lokal mendekati dan berbincang-bincang maka tahulah dia itu siapa. Perempuan cantik itu mengeluarkan poster-poster dirinya, posenya aduhai, cuma mengenai bikini, dan dengan sarung tangan tinju. Ada beberapa pose lain yang tak kalah serunya. Saya pernah lihat foto ini di satu koran sore. Saya sampaikan hal itu padanya. “Wah hebat juga ya,” ujarnya.
Perempuan itu bernama Norma Jean Almodovar, kandidat Wakil Gubernur California waktu itu. Ia di bulan September hingga Oktober getol berkampanye untuk menjadi Wakil Gubernur mendampingi calon Gubernur MacCarthy (orang ini tak ada hubungannya dengan Senator MacCarthy yang terkenal di tahun 50-an dulu).
Dari Norma Jean ini saya mendapat “pencerahan”, “pelajaran” mengenai siapa-siapa saja yang patut disebut sebagai pelacur. Silakan ikuti seri berikutnya.
....bersambung .....

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima