Langsung ke konten utama

Pelacur Thailand & Filipina Bikin Peserta Menangis

Kongres Pelacur se Dunia (Bagian 7)
(Hanya untuk orang dewasa)

Gap antara pelacuran belahan Dunia Utara dan Selatan
Perang ‘mafia’ Italia

Oleh Adji Subela
Mobil kelompok feminis Italia
            Seperti saya ceritakan sebelumnya, pelacur dunia ketiga atau dunia belahan selatan, diwakili oleh pelacur asal Thailand dan Filipina.
            Pada waktu itu istilah belahan dunia selatan dan utara masih begitu populer guna merujuk kepada negara-negara industri yang kaya diwakili belahan dunia sebelah utara khatulistiwa dan negara-negara berkembang yang umumnya masih miskin dan dianggap terletak di bagian dunia sebelah selatan khatulistiwa.
            Pembaca tentu paham setelah membaca seri-seri sebelumnya, bahwa para pelacur dari dunia utara begitu liberal, radikal. Dengan “enteng” mereka menuntut segala hak-hak yang menurutnya harus dipenuhi, setelah mereka dikenai kewajiban-kewajiban seperti pajak.

            Sudah jelas pula dalam deklarasi mereka bahwa pelacuran adalah profesi yang sama terhormatnya dengan profesi-profesi lainnya, sepanjang dilakukan secara bertanggung jawab. Pekerjaan sebagai pelacur adalah pilihan sadar seseorang sehingga oleh karena itu harus dihormati. Tidak boleh ada pemaksaan, penipuan dalam menjalankan pekerjaan ini.
 
            Inilah masalahnya. Ketika wakil delegasi Thailand dan Filipina berbicara pada hari terakhir Kongres Pelacur se Dunia II di Brussel, Belgia, Oktober 1986 itu,
terungkap betapa jurang pemisah lebar antara dunia Utara dan Selatan tidak hanya pada ekonomi politik, akan tetapi juga hak-hak untuk melacur. Tak jelas apakah wakil Thailand itu berasal dari wilayah red light district Pat Pong di Bangkok yang tersohor atau dari pantai Phuket. Juga apakah wakil Filipina itu mewakili rekan-rekan mereka di Mabini, Ermita, atau Taft Avenue, Manila, yang juga terkenal sebagai daerah hiburan malam yang ramai.

Disiksa, diancam
Delegasi Thailand itu mengeluhkan bagaimana pelacur di negerinya, dan juga rata-rata di negara berkembang, adalah bukan pilihan mereka. Para perempuan menjadi pelacur setelah dirayu, ditipu, bahkan diancam akan dibunuh segala. Di sini ada unsur pemaksaan tak terperikan, dan sangat melanggar hak-hak asasi manusia.
            Pelacur di negara berkembang hidupnya dicengkeram para germo serta para calo yang membaw mereka ke rumah-rumah bordil, yang kebanyakan illegal. Tenaga mereka diperas untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya bagi para germo dan calo, sedangkan si pelacur sendiri hanya mendapatkan sedikit saja, cukup sekedar mempertahankan hidupnya.
            Mereka sering mendapatkan siksaan fisik dari germo, calo, atau pelanggan tanpa dapat melawan atau mempertahankan harkat sebagai manusia. Dalam keadaan demikian itu para penegak hukum tidak pernah memperhatikan nasib para pelacur dunia ketiga. Malahan sebagian mereka menjadi bagian dari mafia pelacuran itu dengan menjamin keamanan asal mendapatkan bagian dari hasil bisnis. 
            Pelacur hanya sebagai korban bisnis dari jaringan mafia yang luas, tidak kelihatan. Para pelacur itu dapat dengan mudah dipindah-pindah tanpa kemauannya sendiri dan hanya menurut karena takut pada para trafickkers tersebut. Mereka benar-benar menjadi sapi perah ketika masih muda dan tercampakkan setelah tidak laku lagi.

Sunyi
            Tentu saja penuturan ini menjadi anti-klimaks dari ingar-bingar tuntutan para pelacur Barat dalam Kongres Pelacur se Dunia II tersebut. Bila selama itu mereka yang berasal dari negeri maju dapat menuntut bermacam-macam hal, maka ketika pelacur dunia ketiga mengemukakan fakta-fakta yang 180 derajat berbeda, mereka terperangah. Tiba-tiba saja ruangan sidang yang semula penuh gemuruh teriakan, sorakan, tawa dan gebrakan meja, mendadak sunyi senyap. “Teman” baru saja yang berasal dari Jerman dan menyerahkan kursinya kepada saya menggeleng-gelengkan kepala seolah tak percaya pada kenyataan pahit perempuan di negara berkembang.
            “Menyedihkan sekali,” desisnya sambil menatap saya. Saat itu juga saya khawatir, jangan-jangan dia berpikir orang Asia macam sayalah yang menjadi penyebab semua bencana itu.
Peserta Italia berdebat dengan anggota gerakan feminis negaranya.
Apakah saya bertampang germo ya?
            Walaupun pelacur-pelacur, mereka tetaplah manusia yang juga perempuan-perempuan. Sudah cukup cerita itu membikin hatinya ikut sedih. Nampaknya para peserta berperasaan sama. Itu kesannya sebab semua diam, bisu, dan mata mereka tertancap dalam ke kedua perutusan tersebut. Beberapa di antaranya terlihat mengusap air matanya.
            Wakil dari Thailand itu berhenti membacakan pernyataannya untuk menghapus air matanya. Untuk sementara kesunyian masih mencekam. Tiba-tiba terdengar beberapa kali tepukan pelan dan lantas diikuti hampir semua peserta sebagai tepukan penghormatan pada nasib pelacur dunia ketiga.
            Setelah wakil Thailand dapat menguasai diri lagi, ia melanjutkan bahwa dengan adanya Kongres seperti ini terbetik keinginan agar profesi pelacur di Thailand diakui resmi, dan dapat dikembangkan menjadi industri yang dapat menunjang pendapatan negara. Caranya, menurut wakil Thailand, dengan mengadakan wisata seks (aduh mak, dari semula hati saya ikut terlarut, kini terperanjat dengan usul yang menurut ukuran Indonesia jelas mengagetkan).
            Diakuinya, jenis wisata semacam itu (pada tahun 1986 itu) sudah terlaksana secara sendirinya, oleh karena pariwisata sering dikaitkan dengan 3 S yaitu SUN, SAND, dan SEX.
            “Namun, pemerintah kami tidak jujur. Kami tetap tidak mendapatkan hak-hak sebagaimana pekerja lain yang memberikan pendapatan pada masyarakat,” ujar si cantik yang wajahnya terbenam di dalam topi warna merah jambunya itu.
            Setelah selesai, ganti wakil Filipina menyampaikan pernyataannya yang isinya hanya menguatkan wakil Thailand.
            Segera setelah pernyataan wakil dari negara dunia ketiga selesai, tepuk tangan membahana tanpa gebrakan meja.  
            Mereka tetap pada komitmen bahwa pelacuran tidak boleh dipaksa dengan cara apa pun, tapi pilihan sadar dan satu point penting yang muncul: Peserta Kongres Pelacur Dunia II di Brussels itu menolak pelacuran di bawah umur karena melawan hak-hak asasi manusia, dan perikemanusiaan. Mereka menuntut orang-orang yang melibatkan pelacuran anak anak dihukum seberat-beratnya.
            Oleh karena semua mata tertuju pada delegasi Thailand dan Filipina itu, maka mau tak mau saya memperhatikan seksama mereka itu. Saya terkejut. Setelah saya perhatikan dengan teliti, ternyata keduanya adalah perempuan-perempuan yang saya temui di lift menjelang Kongres berlangsung seperti saya ceritakan di Bagian 2.
            Tanya-jawab antara panitia, peserta dengan wartawan cukup hangat. Kamera-kamera tv tak lelah-lelahnya merekam tanya jawab antara peserta dan wartawan hingga semacam debat antara mereka.

Perang ‘mafia’ Italia
            Orang-orang Italia memang terkenal berdarah panas. Mereka mudah sekali meledak emosinya dan dengan suara kencang suka bertengkar tak pandang tempatnya di mana. Seperti telah diceritakan di Bagian 6 bahwa seusai Kongres, sekelompok pelacur asal Italia terlibat pertengkaran dengan anggota LSM senegaranya di depan gedung Parlemen Eropa.
            Dalam sidang terakhir, serta komperensi pers terakhir, insiden semacam itu sudah terjadi. Suasana yang sudah ingar-bingar itu ditambah lagi dengan satu insiden menarik yang memalukan.
            Entah karena apa, tiba-tiba saja delegasi asal Italia bertengkar. Mereka nampaknya terpecah menjadi dua ‘fraksi’ yang saling bertentangan pendapat. Ketika satu fraksi menyatakan pendapat akhir, tiba-tiba fraksi saingannya menyerbu ke podium, berteriak-teriak membantah statemen lawannya. Ribut bukan main, dalam Bahasa Italia tentu saja.
            Dengan otomatis, perhatian kini beralih ke “perang mafia” itu. Suasana sendu yang terbangun sejak pernyataan delegasi Thailand dan Filipina, pecah berantakan menggemuruh menjadi ‘arena sabung ayam’. Teriak-teriakan mereka kencang sekali. Entahlah. Mungkin bertengkar itu salah satu unsur budaya penting Italia.
            Saya tergoda untuk memutar tombol penerjemah ke nomer untuk Bahasa Italia. Ternyata penerjemahnya sendiri kerepotan. Masalahnya teriakan fraksi penyerbu itu tidak masuk ke dalam mikrofon hingga dia tidak mendengarnya, sedangkan fraksi yang menjadi sasaran memilih bertengkar secara “perempuani” di luar podium.
            “Maaf, saya tidak mendengarkan suara mereka karena tidak masuk ke mikrofon,” ujar penerjemah, seorang perempuan, dalam Bahasa Inggris.
            Fraksi penyerang tak mau kalah, mereka merangsek ke podium dan berusaha merebut mikrofon. Terjadi tarik-menarik seeru. Kamera tv tak henti-hentinya merekam adegan seru tersebut. Malam ini tentu mereka mendapatkan berita besar selain berita-berita perang.
            Saya takutkan mereka lantas adu jotos dan cakar-cakaran seperti adegan di luar skenario, persis pergumulan dua artis dangdut yaitu Dewi Persik dan Julia Perez tempo hari. Tapi tidak bagaimanapun mereka masih cukup ‘beretika’.
            Akhirnya Margot St. James minta petugas keamanan turun tangan melerainya. Beberapa orang anggota satpam berbadan kekar menggiring dengan susah payah fraksi Italia pemberontak. Perempuan-perempuan itu seperti kesetanan, berteriak-teriak sekencang-kencangnya dalam bahasanya sendiri. Bahkan ketika mereka berhasil digiring sampai pintu keluar, sesaat sebelum pintu ditutup, pekikan dan raungan “mafia” mereka masih dapat terdengar jelas. Aman sudahlah ruangan kini.

....bersambung.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima