Langsung ke konten utama

Wisata



Selendang Mayang Melayang di Kota Tua
Oleh Adji Subela
Warna pelangi Selendang Mayang begitu menggugah selera merangsang liur. Di tengah terik matahari siang di pelataran Taman Fatahillah, Kota Tua, Jakarta Barat, di hari Senin, Selendang Mayang mengibas pesonanya seolah merayu pengunjung Museum Sejarah Jakarta, atau mereka yang sekedar menikmati pemandangan, atau penendara sepeda onthel, untuk mencicipi-meresapi segarnya.
Es Selendang Mayang belakangan ini populer kembali, antara lain berkat siaran kuliner di televisi. Penghilang rasa haus khas Betawi ini telah bertengger di kawasan Kota Tua sejak tahun 1987 lalu. Penjualnya adalah warga asli Betawi dari kampung Kedoya, Kanda. Pria beranak tiga ini meneruskan usaha mertuanya. Pertama karena hanya ketrampilan ini yang ia punyai, kedua ingin supaya es model asli Betawi ini digemari lagi. Seingatnya, ketika masih kanak-kanak, es selendang mayang cukup populer di kalangan warga Betawi maupun pendatang.
Di tahun 70-an banyak penjualnya, sekarang di lingkungan Taman Fatahillah atau yang dulu disebut Taman Beos, tinggal dia yang bertahan. Meskipun demikian, di daerah Petak Sembilan masih ada juga yang menggelar Selendang Mayang tiap hari, dan belakangan laris juga.
Selendang selera
Es khas Betawi ini ujudnya biasa saja, yaitu santan yang diguyur air gula dan diberi pecahan es kecil-kecil. Tapi isinya hebat. Bentuknya mirip puding (podeng) asal Belanda itu. Warnanya merangsang, yaitu merah, hijau, putih. Puding tradisional ini dibuat dari tepung aren yang didatangkan dari Bekasi. Jadi bahannya mirip hunkue itu.
“Tepung aren dari sana bagus, bersih, dan lebih putih,” ujar Kanda. Puding itu ditutup pakai daun pisang, lantas diiris tipis-tipis memakai pisau bambu (sembilu), sebelum dituang di mangkok. Tiap hari Kanda menghabiskan dua nyiru besar puding aren ini.
Setiap hari pukul 06.30 Kanda berangkat dari rumah untuk naik kereta listrik pagi. Petang hari pukul 17.00 ia harus pulang supaya takketinggalan kereta. Semula Kanda berjualan di halaman Taman Fatahillah. Seingatnya, mulai 2007 makin banyak pengunjung yang datang, dan tahun 2009 Kanda diajak berjualan di cafe di dalam Museum Sejarah Jakarta, terletak di bagian belakang.
Ketika ditanya berapa penghasilannya, Kanda malu-malu. “Pokoknya bisa menghidupi saya, istri, tiga anak dan mertua saya,” jawabnya mengelak.
Sambil meresapi sejarah ibukota lewat Museum Sejarah Jakarta es Selendang Mayang menjadi komplemen nostalgik bagi penduduk Jakarta yang pernah mencecapi popularitas es puding tradisional tersebut di masa lalu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima