Oleh Adji Subela
Judul film : The King’s Speech
Pemain : Colin Firth, Geoffrey Rush, Helena Bonham Carter, dll
Skenario : David Seidler
Sutradara : Tom Hooper
Apa jadinya kalau sang Raja yang diharapkan memberi semangat rakyatnya menghadapi Perang Dunia II ternyata bicara dengan tergagap-gagap, dingin dan tak berjiwa? Padahal Raja harus memberi semangat kepada rakyat, berhadapan dengan pidato Hitler yang menawan serta propaganda Joseph Gobbels yang tajam.
Kekecewaan Istana maupun publik dimulai saat Pangeran York alias Albert Frederick Arthur George, putra ketiga Raja Britania Raya George V, dan ayah dari Ratu Elizabeth II sekarang ini, harus berpidato mewakili ayahnya dalam penutupan British Empire Exhibition di Stadion Wembley, 31 October 1925. Ia tergagap-gagap. Maka ia harus menjalani terapi.
Dokter pertama yang memakai methode aneh-aneh a.l. mengulum kelereng di mulutnya gagal. Pihak gereja Westminster berusaha mencarikan seorang ahli bicara, tapi sang calon raja justru memilih pria asal Australia, Lionel Logue. Terjadi konflik antara dua pria ini. Lionel tetap memperlakukan Pangeran York alias Albert sebagai murid dan memanggilnya Bertie. Tapi keduanya ternyata cocok.
Sukses latihan Lionel pada Albert dibuktikan dalam pidato pembukaan sidang Parlemen Australia 12 Mei 1937. Pidato sang Pangeran ‘lancar’.
Raja George V mangkat 20 Januari 1936, digantikan kakak Albert, Raja Edward VIII. Tak sampai genap setahun pada 11 Desember 1936 Edward VIII turun tahta rela mencopot mahkota demi janda dua kali asal AS Wallis Simpson. Tahta jatuh ke Albert, yang semula menolak sebab sadar akan kegagapannya. Ia dinobatkan 12 Mei 1937, dan Raja bersikeras Lionel harus duduk di panggung keluarga Istana, membikin iri berbagai pihak.
Perang Dunia II pecah awal September 1939, Raja George VI memberi pidato untuk menenangkan dan memberi semangat rakyatnya. Tentu dengan Lionel di dekatnya. Ini menjadi pidato terbaik selama PD II.
Keteladanan Raja George VI ditunjukkan bersama Permaisuri, ia tak mau mengungsi walaupun London dihujani bom dan roket Jerman 7 September 1940, memakan korban 1.000 nyawa. Raja dan Permaisuri pun nyaris tewas dalam pemboman 13 September.
Persahabatan Raja George VI dan Lionel Logue berlangsung sampai ajal sang Raja 6 Februari 1952 karena serangan jantung. Lionel diangkat sebagai Komandan Royal Victorian, hadiah tertinggi bagi warga yang berbakti untuk Kerajaan.
Berbeda
Film diawali gambar-gambar mikrofon jaman itu yang besar-besar mirip hulu ledak peluru kendali. Mikrofon ini menjadi momok Pangeran York. Cerita berjalan lancar dan lembut. Film besutan sutradara Tom Hooper ini jelas berbeda dengan resep Hollywood umumnya yang serba gemerlap, gemebyar, dan dengan pengambilan gambar aneh-aneh. Tanpa ‘kegilaan’ Hollywood seperti itu, film The King’s Speech muncul menjadi kuat lewat kekuatan ceritanya, skenario sederhana, dan gambar-gambar simpel, konvensional layaknya film Inggris. Akan tetapi sesederhana apa pun gambar The King’s Speech cukup berani menabrak kaidah konvensional Inggris, dengan komposisi yang menyebal dari ‘buku pegangan’ film jaman dahulu.
Aktor Colin Firth yang selama ini kurang dikenal di Indonesia, bermain sangat menawan dan berhasil ‘menjadi’ Raja Britania Raya, seperti halnya sukses Yaphet Koto memerankan diktator Uganda Idi Amin dalam Rise and Fall of Idi Amin dahulu. Tidak heran ia merebut piala Oscar sebagai pemeran pria terbaik Februari lalu. Geoffrey Rush yang di Indonesia kita kenal dalam The Pirates of Carribean bermain bagus pula. Helena Bonham Carter mampu mengimbangi akting Firth dan Rush sebagai istri Duke of York yang setia mendampingi suaminya.
Kekuatan film ini memang di cerita serta akting para pemainnya tanpa manipulasi angle kamera yang aneh-aneh. Gambarnya sederhana, misterius mewakili keangkeran daratan Inggris dengan kastil-kastilnya. Kamera sering dibiarkan bertengger di tripod, tetapi ada adegan yang sangat bagus diambil dengan hand-held yaitu ketika Duke of York marah dan meninggalkan si terapis sendirian di jalan di tengah padang. Kamera follow pada Pangeran di satu sisi frame sedangkan si terapis dibiarkan tertinggal dengan tetap di sisi sebelahnya untuk keseimbangan gambarnya lalu out of focus pelan-pelan. Cantik memang, agak berbeda dengan film-film Inggris konvensional.
Kesederhanaan penceritaan diwakili skenario yang linear tanpa permainan flashback yang sering bikin bingung penonton itu. Kita jadi ingat bagaimana film ‘sederhana’ seperti Driving Miss Daisy serta A Trip to Bountiful yang menang di Academy Award dan terbukti di pasaran pun tidak jeblok.
Kejempolan film ini dibuktikan lewat pengakuan di ajang Academy Award yang mendapatkan sejumlah nominasi.
Teks foto: Raja George V asli (kiri). Colin Firth (kiri) yang mirip Raja George V dan Geoffrey Rush
Komentar
Posting Komentar