Oleh Adji Subela
Judul : Lolita
Pengarang : Vladimir Nabokov
Penerjemah : Anton Kurnia
Penerbit edisi
Edisi : cetakan ke-2 Juni 2008
Isi : 529 halaman
Membaca buku harian orang gila tidak gampang. Kita harus siap diombang-ambingkan logika rusak mereka, dan sejumlah kesakitan yang membuat mereka terpuruk di sel-sel ruang perawatan. Ingat saja Catatan Harian Orang Gila karya Anton Chekov.
Humbert Humbert adalah pria separuh baya, duda, mengaku sastrawan, guru, dan apa saja. Yang terpenting dan faktual, ia pedofilia, pencinta kanak-kanak kelas berat, perusak moral bocah serta pembunuh kikuk. Vladimir Nabokov, sastrawan AS kelahiran St. Petersburg, Rusia, 23 April 1899, menulis novel kontroversial, Lolita, tahun 1955 dan langsung dicerca di mana-mana. Humbert, tokoh aku dalam Lolita, dianggap sangat tidak bermoral bagi masyarakat AS. Dia memengaruhi, bercinta, serta sangat terobsesi dengan gadis di bawah umur, 11 tahun, si bandel pemberontak anak janda Charlotte Haze yang egois.
Orang AS menerima perselingkuhan antardewasa, tapi jangan coba-coba melanggar hak anak di bawah umur apalagi bercinta dengannya. Itu bejat moral, hukumannya berat. Kendati demikian novel itu menyedot perhatian, dan dua kali difilmkan.
Saya melihat film Lolita yang disutradarai Adrian Lynch awal 2000-an. Di awal film Adrian sampai harus muncul bicara kepada penonton bahwa film ini tidak boleh dilihat kanak-kanak, bahkan harus di kalangan terbatas. Jelas, film ini tidak boleh beredar di bioskop di seluruh AS. Film yang dibintangi aktor Inggris Jeremy Iron sebagai Humbert dan bekas bintang Dracula yang gagal, Frank Langela, sebagai Quilty, memang bagus. Sinematografisnya berhasil dan terutama sekali mampu menggambarkan scene pembunuhan Quilty secara jempol. Adegan ini sangat hidup tanpa memanipulasi cerita aslinya, didukung akting dua aktor gaek itu.
Diceritakan, Humbert yang kelahiran Eropa berimigrasi ke AS, dan di sana ketemu janda Haze dengan putri bengalnya, Dolores Haze, alias Dolly di sekolah, alias Lola dan terutama Lolita bagi Humbert. Dengan latar belakang pedofilia-nya, Humbert mengawini janda Haze agar mendapatkan Lolita. Janda malang itu tewas dalam kecelakaan lalulintas, membuat Humbert bersenang-senang dengan Lolita keliling negeri.
Petualangan terhenti karena Lolita hilang, ikut Quilty, penulis drama yang setengah banci dan pecandu alkohol maupun obat-obatan terlarang. Tiga tahun lebih Humbert mencari dari motel ke motel hingga ketemu Lolita sudah menikah dengan buruh pabrik, veteran perang, dan tengah hamil tua. Lolita kirim surat minta uang pada ‘ayahnya’ sebagai modal suaminya bekerja di Alaska, 400 dolar. Humbert memberinya 400 dolar dan cek senilai 3.600 dolar, dengan syarat ia ingin tidur lagi dengan Lolita-nya. Sayang Ny . Richard Schiller itu menolak namun ia tetap mendapatkan uangnya asal memberitahu di mana Quilty. Tidak diperlihatkan pengakuan Lolita, tapi Humbert datang dengan sepucuk pistol dan membuat perhitungan karena merenggut Lolita. Adegan dua orang bodoh berkelahi digambarkan apik di bukunya, apalagi di film Adrian . Humbert menghadapi tuduhan pembunuhan tingkat satu dan selama dirawat di RS Jiwa dan penjara, ia menulis memoar sinting itu.
Cara Nabokov menggambarkan kondisi jiwa Humbert amat cantik, dan jelas melalui riset mendalam. Humor-humor tersembunyi bertaburan, membikin orang senyum-senyum simpul. Jangan harapkan ada adegan porno di buku ini, tapi di film digambarkan dengan halus tapi sangat terasa maksudnya. Di buku terkesan bahwa Lolita telah kehilangan keperawanannya dan ini digambarkan ia gelisah duduk di jok mobil karena sakit di bagian tertentunya. Kurang ajar memang.
Versi bahasa Inggrisnya jelas membikin pembaca agak pusing. Tapi terjemahan Anton Kurnia (salah seorang cerpenis terkemuka), yang diterbitkan Serambi Jakarta, cukup bagus gambarannya, dengan tambahan catatan kaki atas bahasa Prancis yang ada di sana-sini.
Sebelum ada UU Perlindungan Anak, apalagi di jaman feodal dahulu, menikahi atau menggundiki anak gadis di bawah umur sudah biasa. Para bangsawan Jawa banyak melakukannya. Ketika saya mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di daerah Indramayu di tahun-tahun 70-an anak SD sudah dikawinkan, mengharapkan status jandanya, karena maharnya makin mahal. Kemiskinan mendorong itu semua. Mengawini gadis cilik nampaknya menjadi semacam tradisi di beberapa bagian di tanah air, dan diduga ini menyumbang angka perceraian tinggi. Di Jawa Barat tahun 1950, diperkirakan angka perceraiannya tertinggi di dunia, disusul Jateng dan Jatim yang hanya berselisih sedikit (The Sex Sector, ILO, Geneva, 1998, Hlm 33). Di buku laporan Organisasi Buruh Se Dunia itu juga disebutkan, tradisi itu ikut menyumbang angka pelacuran di Indonesia .
Kini terjadi pergeseran sikap dan pola pikir berkat kemajuan jaman, dan makin banyak orang Indonesia sadar bahwa anak kecil harus diberi hak sesuai kodratnya. Kendati sifat pedofilia jelas masih ada, tetapi dengan UU Perlindungan Anak kita sudah mengantisipasinya.
Membaca Lolita pun kita bisa dibuat bergidik dengan kejahatan dan manipulasi jahat Humbert. Ia manusia bejat penderita borok moral. Membaca novel ini kita mengagumi ekspresinya yang penuh gaya, lincah, cerdas, konsisten sebagai orang sinting sejak awal hingga akhir, dan narasinya yang jungkir balik menantang pikiran, sambil mencaci-maki pengarangnya. Gayanya yang lincah mengingatkan kita pada Saijah dan Adinda-nya Multatuli. Mudah-mudahan kebobrokan moral itu hanya ada di karangan saja. Tapi siapa berani menjamin? Karena dari berita-berita surat-kabar atau televisi kita sering menyaksikan betapa kekerasan (seksual) terhadap kanak-kanak di tanah air kira kian menjadi-jadi.
Penulis adalah cerpenis tinggal di Depok, Jabar.
Komentar
Posting Komentar