Nabi Perlu Celana Baru
Oleh Adji Subela
Ia sudah berputus asa. Tak ada lagi tersisa harapan agar cucunya hidup layak untuk keesokan harinya. Ia sudah ingin mati, tapi tak tahu cara bagaimana agar apa yang diinginkannya itu dapat terkabul. Bahkan untuk mengakhiri hidupnya yang bopeng itu pun ia benar-benar sudah tak mampu lagi.
Nenek itu sudah tak tahan lagi melihat cucunya hidup seperti daun kering tertiup angin. Anak itu sudah sejak di dalam kandungan ibunya – anak perempuannya – selalu menuai masalah musykil. Siapa ayah anak itu tidak pernah jelas. Ah, ini cerita lama. Pria yang datang kemudian bersama si ibu anak itu, berbuat seolah-olah ialah ayahnya. Ketika adiknya kemudian lahir, pria itu cepat sekali menghilang, tak pernah terdengar kabarnya. Itu pun cerita lama pula.
Hal baru yang harus mereka terima, adalah ketika ibu si anak itu pulang kembali ke rumah si nenek dengan perut besar lagi. Adik si cucu, jadi yang kedua, telah agak lama meninggal karena kekurangan makanan. Adik berikutnya, yang belum lama lahir, ternyata berpulang juga. Nampaknya ia lebih suka balik kembali ke alam tiada dari pada hidup seperti kakak dan neneknya. Ia lebih beruntung karena sempat hidup, tapi tak sempat sengsara seperti nenek dan cucunya itu. Maka si cucu menjadi anak tunggal hingga sekarang. Ibunya pun sudah lama lenyap dari bisik-bisik tetangga. Mereka mungkin sudah lupa bahwa di desanya pernah ada perempuan yang tiga kali hamil, dan tiga kali tidak diketahui siapa suaminya yang kemudian selalu menghilang bila anaknya sudah lahir.
“Nek, siapa ayahku?” tanya si cucu.
“Oh, dia itu seorang yang budiman, Nak,” jawabnya, “ia sungguh penolong yang baik budinya.”
Si cucu diam. “Tapi kenapa dia tak pernah datang ke sini, Nek?”
“Nak, ayahmu itu sangatlah baik budinya tapi ia tak sempat menengokmu. Ia sering menolong perempuan-perempuan agar hamil, lalu meninggalkannya untuk menolong perempuan lainnya.”
Si cucu diam sesaat. Ia merasa bingung, tak paham maksudnya. Tapi ia ingin menjadi anak yang baik, maka ia pun berkata:
“Aku kelak ingin seperti ayah, menolong perempuan-perempuan agar hamil.”
Si nenek terperanjat, dan kemudian menyadari kalancangan mulutnya sendiri. Nenek selalu merasa pusing kepalanya bila ada pertanyaan siapa ayah si cucu, dan jika sudah kehilangan akal, ia akan kehilangan arah ke mana pembicaraan harus tertuju. Dan rasa ini selalu mengajaknya untuk segera mengakhiri hidup, satu tugas berat yang disandangnya selama bertahun-tahun, dan selalu gagal ia selesaikan.
“Tak perlu Nak, cukup kamu berbuat baik kepada siapa saja yang berbuat baik kepadamu,” jawab si nenek. Perempuan tua itu merenung. Kata-katanya selalu salah bila cucunya bertanya siapa ayahnya. Sesekali ia ingin berkata benar, demi masa depan si cucu. Setelah hidup menderita, ia ingin seseorang – apalagi cucunya sendiri – berbuat baik dan benar di dunia.
“Nak, bagaimana pun, kita harus hormati ayah kita, walau pun ia tak pernah datang,” ucapnya dengan nada sedih, sedangkan hatinya berkata sebaliknya, penuh umpatan.
“Baik Nek.”
Suasana kembali teduh, sampai kira-kira sebulan kemudian, datanglah seorang pria berpakaian aneh. Orang itu mengenakan semacam sprei yang ia buat berlubang di garis tengahnya, kemudian dimasukkannya kepalanya sehingga kain lebar itu menutupi hampir seluruh tubuhnya. Rambutnya tebal, panjang dan keriting. Di kedua tangannya terpasang gelang-gelang logam berkilatan, dan ada pula yang terbuat dari berbagai macam rumput serta akar bahar.
Bila pria itu tertawa, maka sederet gigi kotor kecoklatan meledak menyakitkan mata. Sialnya pun, ia sering ketawa, dengan keras-keras pula. Ia berjalan gontai tapi penuh dengan rasa percaya diri di jalan di kampung nenek. Ketika dilihatnya si cucu berdiri sendirian dengan pandangan kosong betul-betul, pria itu mendekati.
“Kamu siapa?” tanya si pria.
“Aku cucu nenek, aku mencari ayahku,” jawab si cucu. Pria itu terhenyak sejenak, matanya melebar penuh keheranan. Tiba-tiba mata itu memancarkan cahaya berkilat-kilat. Kelihatan sekali ia girang bukan main. Pria itu lantas berjongkok, memandangi wajah si cucu secermat-cermatnya. Ia kemudian berdiri, undur beberapa langkah membuat gerakan seperti vampir di film-film horror itu, dengan cara membentangkan kedua lengannya. Ia ketawa keras sekali dan kembali gigi kecoklatannya meledak menyakitkan mata.
“Akulah ayahmu, Nak,” teriaknya.
Ganti si cucu sekarang yang terhenyak. Mungkinkah pria ganjil itu ayahku, tanyanya dalam hati. Bisa jadi. Tapi tidak ah, orang itu aneh sekali. Baunya juga tidak enak. Giginya kecoklatan. Rambutnya keriting. Cara berjalannya lucu. Pakaiannya terlalu lebar. Tapi aku sudah lama menunggu ayahku. Biarlah aku dapatkan ayah seperti itu. Tapi aku ragu. Aku tak suka baunya, bajunya, giginya, dan suara tawanya.
“Bukan! Kamu bukan ayahku!” teriaknya kemudian.
“Ah, anakku, jangan begitulaaahh....,” tangkis si pria. “Inilah ayahmu. Aku datang menjemputmu, Nak, kamu akan aku bawa naik kuda, naik unta, dan terbang ke tempat tinggi, ke awan-awan. Ada banyak nyanyi merdu di sana. Kita akan datang ke taman bunga-bunga yang harum baunya. Kamu berhak mendapatkan itu karena kamu anak istimewa.”
“Kenapa kamu tak pernah tengok aku?”
“Oh, anakku. Aku sering datang dalam mimpimu. Aku menjauh darimu karena aku sedang menyiapkan sebuah surga untukmu. Surga yang tinggi tempatnya, meriah, penuh nyanyi, penuh harum bunga-bunga.....ayolah, mari kita pergi.”
“Aku ada nenekku.”
“Oh, ya, ya, tentu kita akan berpamitan padanya.”
Si cucu segera berlari-lari kecil pulang ke gubuk nenek, sedangkan pria ganjil itu mengikutinya. Nenek agak terperanjat mendengar penuturan si cucu, apalagi melihat wujud pria yang mengaku sebagai ayah dari cucunya itu.
“Nek, tentu nenek belum pernah berjumpa denganku. Sejujurnya, aku datang hendak meminta maaf karena tak pernah menengok anakku. Sekarang aku ke sini untuk menjemputnya,” tutur si pria aneh.
Si nenek, kendati selalu ingin sekali membiarkan cucunya pergi dari gubuknya, dan minggat ke mana pun kaki-kakinya membawa, ia kini merasa khawatir bila si cucu harus pergi dengan pria ganjil itu. Ia bukan pria baik-baik. Pakaiannya terlalu lebar, rambutnya lebat, keriting, gelang-gelang di tangannya terlalu banyak, dan giginya meledak kecoklatan bila ia tertawa. Nenek kini bimbang untuk melepaskan cucunya.
“Bukan! Bukan! Kamu orang gila. Pergi! Jangan ganggu cucuku! Pergi! Pergi! Pergi!” pekiknya. Belum pernah ia berteriak sekeras itu seumur hidupnya. Dan teriakannya itu lantas membikin tetangganya terperanjat, lalu beramai-ramai datang ke gubuk si nenek. Mereka langsung tahu penyebabnya. Pria aneh berdiri di depan gubuk si nenek dan cucunya.
“Lihat! Pria aneh itu hendak membawa cucuku! Ia mengaku ayahnya. Cucuku tak mungkin punya ayah seperti orang edan. Pergi!” kembali si nenek memekik-mekik.
Para tetangga mulai ikut marah. “Kamu pergi! Jangan ganggu nenek dan cucunya ini!”
Melihat perlakuan para tetangga nenek, pria itu tetap tenang saja. Ia berbalik, tertawa dan kemudian berkata:
“Saudara, saudari. Aku adalah utusan dari langit. Ia adalah anakku, yang kini terpilih untuk menjadi nabi berikutnya. Lihat, wajahnya. Bersih dan suci, bukan?”
“Bohong! Bohong! Penipu!”
“Oh, tidak, saudaraku. Lihat!” sambil berkata demikian ia mengeluarkan korek api lalu menyalakannya, sementara tangan lainnya memegangi jari-jari kecil si cucu. Pria itu menyuluti jari-jari si cucu dengan cara menggoyang-nggoyangkan korek menyalanya melewatinya berkali-kali. Semua orang terkesiap, tapi segera mendesis-desis keheranan. “Lihat, anak itu tidak merasakan apa-apa. Jadi ia memang istimewa...”
“Betul. Hanya nabi yang mampu demikian ini. Inilah anakku, nabi berikutnya. Ia akan kubawa ke surga yang riuh penuh suara musik, penuh wewangi bunga-bungaan.”
Semua orang, termasuk si nenek, kini percaya bahwa anak kecil itu ternyata seorang nabi. Mereka menyesali, mengutuki, dan memaki-maki diri mereka sendiri yang selama ini telah menyia-nyiakan calon nabi.
“Tapi saudara saudariku. Nabi kita perlu celana baru. Lihat, apa pantas nabi memakai celana dekil seperti ini? Apakah kita tidak merasa berdosa telah membiarkan dia mengenakan celana kotor? Alangkah sakitnya api neraka itu! Dan Tuhan akan memurkai kalian yang telah membiarkan nabi kita sengsara,” seru si pria ganjil, “aku sendiri sebagai ayahnya, merasa berdosa. Maka aku kini menyumbang nabi kita lima ribu rupiah agar aku terbebas dari dosa dan terhindar dari api neraka itu.”
Pria itu mengeluarkan sebuah kantong yang terbuat dari kain dan memasukkan selembar uang lima ribu rupiah ke dalamnya. “Aku kini terbebas dari dosa!” teriaknya, sambil melambaik-lambaikan kantongnya. Orang-orang takut. Mereka lalu berusaha mengorek apa yang ada di kantung atau dompet lusuh mereka, dan memasukkannya ke kantung. Ada yang seribu, lima ratus, bahkan seratus rupiah pun. Mereka lega, terhindar dari api neraka.
“Jadi nenek, ijinkan aku menjemput nabi kita dan akan aku bawa ke surga,” katanya kepada nenek, lalu mencium tangan si cucu, dan menyembahnya. Semua orang mengikutinya. Nenek lega. Akhirnya ia terlepas dari beban neraka dunia membesarkan cucunya, dan akan terhindar dari api neraka dengan memasukkan uang seratus rupiah ke kantung.
“Saudara saudariku! Kini kami akan ke kota dahulu untuk membelikan nabi kita celana baru, baru aku antar ia ke surga di atas sana, biar pantaslah ia masuk ke sana,” teriak si pria ganjil.
Kepergian pria dan anak kecil itu diikuti doa para tetangga nenek. Malam harinya mereka mulai merasa kesepian karena si cucu nenek telah pergi. Mereka menyesal tidak minta rejeki kepada nabi. Hingga larut malam mereka berbincang-bincang berkelompok kelompok, menghabiskan air kopi encer sambil tak henti-hentinya membicarakan cucu si nenek yang ternyata seorang nabi itu.
Ketika akhirnya mulai bubar hendak tidur, seorang anak kecil berisik kepada ayahnya: “Pak, aku juga seorang nabi. Lihat.....,” tuturnya sambil mengayun-ayunkan korek api ke jarinya, dan ia tidak merasa panas! Ayahnya terperanjat!
****
Lima hari kemudian si cucu telah mengenakan celana baru, lebih dekil, lebih kotor, dan tentu saja lebih jelek daripada celana yang ia pakai di dusun dahulu. Ia kini berada di surga, di atas kepala orang-orang, berdiri di salah satu jembatan penyeberangan di Jakarta. Suara musik tak henti-hentinya mendentam dari kolong jembatan, tempat orang-orang berjualan kaset serta CD musik bajakan, dan bau harum bunga yang dijual orang di sampingnya menusuk-nusuk. Ia memegangi kantung kain kepunyaan si pria ganjil, menanti orang-orang baik budi memasukkan uang ke dalamnya. “Ayah benar, surga itu ada di atas orang-orang, ada terdengar musik-musik, harum baunya. Tapi panas sekali mataharinya,” keluhnya dalam hati.
Desa Hepuhulawa, Gorontalo, Juni 2006.
Komentar
Posting Komentar