Hallo....ini Sentilan Haji Rosihan Anwar, Si Wartawan Lima Jaman
Oleh Adji Subela
Pernah terjadi, setiap pagi orang Amsterdam, Belanda, setia menunggu sesuatu. Koran Het Parool. Di dalamnya mereka mencari satu kolom kecil yang ditulis oleh Kronkel. Satu cerita pendek sekali, tapi tanpanya mereka merasa pagi jadi tak bersemangat. Kolom Kronkel berhasil memukau pembaca Het Parool setiap hari selama 35 tahun. ‘Candu’ itu ditulis oleh Simon Carmiggelt, pria kelahiran Den Haag tahun 1913. Isinya adalah gambaran masyarakat kota Amsterdam dan sekitarnya, ditulis secara lucu-melankolik.
Kata Simon ada ruang humor dalam kehidupan modern yang sesak dan serba terburu-buru, dan bagaimana tingkah manusianya sehari-hari mampu menjadi bahan renungan yang terkadang membikin tawa kecut. Ia merekam secara kocak bagaimana orang Amsterdam bersosialisasi sesamanya, menghabiskan waktu di kafe malam-malam, bersalaman sampai bagaimana mereka berkelahi adu fisik. Semua terekam dalam sudut mata jeli Simon.
Dalam Gerrit, Simon bercerita bagaimana ia terjebak hujan pagi dan berteduh di depan etalase toko. Di situ ada perempuan setengah tua, lalu penderitaannya pun dimulailah. Perempuan itu bilang dirinya mirip kakak lelakinya. Gagah. Si Kronkel senang. Tapi Gerrit, si kakak, ternyata suka minum, dan kalau mabuk gemar menggebuki istrinya sendiri. Kronkel gerah. Hobby lainnya adalah keluar masuk bui. Gerrit telah mati, ditabrak trem lin nomer 16 dalam keadaan teler. Semakin tak suka dirinya disamakan dengan si Gerrit, Kronkel nekad lari menerjang hujan dan hampir saja terlindas trem lin 16!
Dalam Kerbau, seorang karyawan pria menghadap atasannya dan minta maaf karena semalam kebanyakan minum dalam pesta kantor, dan memaki-maki boss-nya itu sebagai orang yang paling goblok. Ia juga minta maaf telah mencium sekretaris kantor pacar atasannya. Tentu saja si atasan heran, sebab semalam si pria itu membisu terkulai saja dan nona sekretaris sudah dua hari absen. Jadi karyawan itu telah menelanjangi dirinya sendiri soal sikapnya kepada atasannya selama ini.
Simon Carmiggelt mendapat penghargaan sastra tertinggi Belanda yaitu P.C. Hooft tahun 1977. Ia mengisi acara di radio, televisi, menerbitkan buku kumpulan cerpennya itu, dan juga mengasetkan karya-karyanya. Tokoh ini sudah meninggal tapi karyanya hidup terus.
Kolumnis Amerika Serikat Art Buchwald dulu terkenal dengan tulisannya yang humoris, menyentil, dan terkadang membikin telinga panas. Malahan kadang-kadang orang tak paham apa yang ditulisnya, baru beberapa waktu kemudian ketemu kunci humor Art Buchwald hingga baru ketawa. Untungnya ia hidup dan menulis untuk orang Amerika Serikat yang punya budaya tahan kritik. Kalau di Indonesia dia akan berpikir-pikir dulu.
* * *
Berbeda dengan Kronkel, Pak Rosihan punya gaya sendiri. Reputasinya sebagai wartawan senior yang kritis dan tajam dalam membedah masalah politik sejak jaman perjuangan kemerdekaan, sudah diakui orang. Pamor Harian Pedomanyang dipimpinnya di masa lalu amat moncer, gemerlap. Tapi ia lalu dicela orang ketika menulis kolom di harian Pos Kota, koran ‘sampah’ yang disukai warga ibukota. Ia punya alasan jitu: Pos Kota dibaca oleh hampir setengah juta orang – waktu itu – jadi sangat potensial untuk berkomunikasi. Kronkel dan Pak Rosihan sama-sama menulis di koran kota yang sangat populer dan menjadi pegangan pembaca sehari-hari.
Kendati tidak selama para kolumnis luar negeri, tapi Pak Rosihan mampu muncul di Pos Kota setiap minggunya dari tahun 1984 hingga kira-kira 1996. Lewat kolom yang diberinya nama Hallo...ini DKI, wartawan senior kelahiran Kubang Nan Duo, Sumbar, 10 Mei 1922 ini mampu bercerita banyak. Dari soal politik tingkat tinggi, ekonomi, sosial, seperti masalah Wanita Tuna Susila/WTS (3 April 1984) lalu tingkah-polah manusia hingga macam-macam yang lainlah. Malahan lewat rubrik yang semestinya spesial buat persoalan ibukota, ia kadang menyentil tingkah-polah orang Minang. Tentu saja dari kacamata orang Minang yang sudah hidup lama di Jakarta.
Sebagaimana tokoh-tokoh 45 lainnya, perbedaan pandangan politik bukan alasan untuk membenci dan mengucilkan temannya, tidak seperti tokoh-tokoh yang besar di era Orde Baru yang bersifat clingus (malu tapi mau) dan suka menghabisi secara bengis lawan-lawannya. Pak Rosihan menulis soal kakak-beradik pelukis Agus dan Otto Djaja (8 Mei 1984). Tulisannya penuh sanjungan pada karya dua pelukis itu kendati secara politis mereka berseberangan.
Geger mengenai penghasilan pejabat negara sudah di-ubek-ubek di Hallo...ini DKI Pak Rosihan 24 Oktober 1989. Ia menyentil bagaiman sulitnya menjalankan wajib daftar kekayaan pejabat. Hal itu dibandingkannya dengan nasib mengharukan ex-wartawan Pedoman yaitu almarhum Ramelan yang memiliki dedikasi tinggi tapi hidupnya sangat pas-pasan.
Kalau kita pada awal tahun 2009 yang lalu sibuk mengkritisi pendapatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang nampaknya menjadi daya tarik utama orang untuk menjadi calon legislator, Pak Rosihan telah menyentilnya 3 Maret 1993. Digambarkannya pendapatan mereka lebih dari Rp.4 juta per bulan, ditambah uang kehormatan Rp.300 ribu/bulan, Rp.75 ribu/hari sebagai uang makan, dan Rp.15 ribu honor sekali sidang. Dibandingkannya dengan dokter spesialis yang memiliki masa kerja 15 tahun yang cuma bergaji Rp.300 ribu/bulan. Padahal, tulisnya, dokter spesialis seperti itu di Malaysia bergaji Rp.1.200.000,-. Entah apa komentarnya saat ini ketika seorang anggota DPR menerima tidak kurang dari Rp.42 juta per bulan!
* * * *
Pak Rosihan dikenal sebagai pribadi yang sinikal buat orang yang belum kenal betul pribadinya. Padahal ia hangat dan humoris. Akan tetapi gaya tulisannya dalam Hallo....ini DKI, cukup rendah hati. Ia tak ingin menguliahi pembacanya dengan ide-ide serta pikirannya dengan misalnya gaya monolog.
Kolom itu secara konsisten memakai teknik dialog antara dua orang. Akan tetapi kentara sekali apa yang dipikirkan lulusan Algemene Middlebare School (AMS) jurusan Klasik Barat dan School of Journalism dari Columbia University tersebut. Terkadang nampak betul beda karakter dua tokoh itu, tapi sering pula sama.
Artikel-artikel yang ditulisnya sering punya gaya menyengat. Ia punya sudut pandang yang jarang dimiliki jurnalis umumnya, maka tulisannya menjadi menarik. Kekuatan lainnya adalah catatan hariannya, yang membikin tulisannya sungguh akurat. Dengan senjata andalannya itu ia mampu bercerita lebih banyak dari orang lain. Tak heran Pak Rosihan menjadi penulis khusus orbituari kalau ada tokoh meninggal dunia. Buku hariannya menjadi ‘Buku Suci’ sumber informasi yang luar biasa teliti. Jarang ada jurnalis (apalagi yang muda sekarang ini) yang memiliki ketlatenan seorang ‘kurator barang-barang seni’ seperti dirinya, yaitu rajin menulis kejadian-kejadian menarik setiap hari dalam sebuah buku harian.
* * * *
Para pembaca koran di Jakarta yang berusia di atas 40 tahun tentu ingat Surat Kabar Harian Prioritas antara tahun 1986 hingga 1987. Ada kolom yang ditunggu-tunggu pembaca tiap pagi yaitu Selamat Pagi Indonesia yang ditulis oleh Pemimpin Redaksi harian tersebut, almarhum Nasruddin Hars. Kolom ini melumat-lumat isu di bidang politik (terutama), ekonomi, sosial, dan lain-lainnya dengan style sangat pedas, kritis, dan omong apa adanya untuk kurun waktu itu. Padahal pemerintah Orde Baru tengah kuat-kuatnya mempertahankan kekuasaan, antara lain lewat Departemen Penerangan yang luar biasa rajin memelototi isi surat kabar. Aneh – dan inilah daya tariknya – kolom itu sempat hidup beberapa lama dan kontan menjadi favorit pembaca yang amat haus akan suara lain dari rutinitas materi dan penyajian berita yang kala itu sangat membosankan.
‘Suara dari surga’ itu jelas tak hidup lama, berbarengan dengan dibreidelnya Prioritas pada Juli 1987. Nasib yang sudah banyak diperkirakan orang, terutama pembaca fanatiknya, sehingga kematian Prioritas dapat dimengerti walaupun banyak pula ditangisi.
Pada era 90-an wartawan Harian Berita Buana, Bambang Soeroso, rajin merekam denyut nadi hidup orang kecil di Jakarta saban hari. Segala macam aneka rupa. Ada yang menggelikan, ada yang mengharukan, dan sering memberi inspirasi bagaimana orang mampu bertahan hidup di kota Megapolitan ini tanpa predikat kaya raya, banyak harta, banyak kuasa (bisa jadi banyak gendak pula). ‘Orang-orang sederhana’ itu mampu bertahan di ibukota karena membawa filosofi dari kampungnya yaitu berbuat sekuatnya dari apa yang dikuasainya lantas hidup apa adanya, tidak melebihi kemampuan. Dari ‘hidupnya sebagai orang kecil’ itu ternyata banyak dari mereka yang justru punya tanah dan rumah di kampung, dan ada yang mampu menguliahkan anaknya! Dan yang penting, koruptor kakap bukan berasal dari kalangan mereka ini. Betapa banyak penduduk Megapolitan Jakarta tak mampu punya rumah dan menyekolahkan anaknya secara benar, biar mengantongi sederet kartu kredit dan punya sejumlah rekening bank.
Tapi kolom Bambang Soeroso itu bersifat jurnalistik murni, lugas, apa adanya tanpa bumbu sinikal atau pun humor. Sayangnya setelah bertahan kurang lebih empat tahun kolom itu mati, lantaran wartawannya pindah profesi.
Kolom Pak Rosihan punya visi dari penulisnya. Mengutip slogan majalah Minggu Pagi dari Yogyakarta yang terbit sejak tahun 50-an yaitu: “Enteng berisi”, jadi macam itulah kolom Pak Rosihan di Pos Kota. Perlu diingat, tak gampang orang menulis opininya di era Orde Baru dahulu. Ada begitu banyak mata memandangnya dengan penuh rasa curiga, geram, serta ada wartawan yang karena itu ‘terbirit-birit’ ketakutan setengah mati khawatir kedudukannya terancam. Selama itu kolom Pak Rosihan kelihatannya oke-oke saja, meskipun ia kerap pula mengeluh artikelnya kena semacam sensor. Tentu saja siapa pun penulisnya kalau sampai artikelnya sempat ‘disunat’, apalagi ukuran penyunatannya terlampau eksesif, dijamin artikel itu impoten serius. Obat kuat apa pun takkan mampu mengobati rasa kecewa penulisnya. Risiko di jaman itu!
Pada masa awal ‘musim semi Orde Baru’ Pak Rosihan sempat menulis kolom dengan nama samaran Haji Waang. Tentu saja bobot dan gayanya beda dengan Hallo...ini DKI, karena korannya dibaca kalangan menengah ke atas.
Barangkali sejarah atau latar belakang bagaimana artikel-artikel itu akhirnya muncul di koran bakal menarik buat disimak saat ini, ketika media massa tengah menikmati bulan purnama kebebasan dan kebablasannya.
Selamat menikmati sentilan dan gurauan H. Rosihan Anwar ini, wartawan senior yang mengalami jaman Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi.
Komentar
Posting Komentar