Pria yang Diselamatkan
Oleh Adji Subela
Ketika aku berdiri di gundukan tanah ini, lalu menghadap ke arah timur, tampaklah olehku sejalur jalan tikus yang berliku-liku, naik turun, berkelit-kelit di antara gundukan tanah coklat serta semak-semak meranggas. Jalan itu mirip ular tanah yang menggeliat-geliat menghindari panas terik matahari. Panas sekali memang udaranya kala itu.
Kemudian ketika aku menoleh ke kanan, tampak olehku sejumlah pompa angguk yang mengisapi minyak dari kandungan bumi. Mereka memompai benda cair itu tak kenal lelahnya siang maupun malam, tak hirau akan hujan angin ataupun terik matahari seperti siang yang gersang ini.
Kacamata rayban-ku seolah tak mampu meredam ganasnya sinar surya tersebut, apalagi kerongkonganku pun mulai meronta minta dibasahi sesuatu minuman. Pelan-pelan aku turuni gundukan tadi kemudian kususuri jalan tikus yang mengular tadi, juga pelan-pelan. Bagaimana pun juga hawa hutan belantara masih juga pekat menyodoki hidung. Masih ada aroma segar yang bisa kuhirup.
Baru saja aku berjalan kira-kira sepuluh ayun langkah, tiba-tiba dari balik gundukan tanah kuning coklat dan semak-semak kering di sebelah kanan, muncul seorang anak perempuan yang masih berseragam SLTP, putih-biru. Di pundaknya tergantung tas kumal yang nampaknya penuh diisi buku-buku oleh yang empunya. Demi melihat orang asing berjalan di tempat tersebut, si gadis cilik itu terkejut dan menghentikan langkah serta menatapku dengan pandangan penuh curiga. Melihat sikapnya ini, maka tahulah aku bahwa tempat ini nampaknya tidak cocok buat seorang pria sepertiku, seorang pria muda berperawakan atletis, berkulit hitam manis dan bercelana jeans biru serta kaus oblong serta rayban bertengger di wajah halus ini. Segera aku tersenyum kepadanya sambil melambaikan tangan.
“Halo! Apa kabar dik, baru pulang sekolah?” tanyaku dengan suara yang kubuat seramah mungkin. Tiba-tiba di belakang gadis cilik itu muncul pula seorang budak laki-laki yang berseragam sekolah dasar. Anak ini tampak lucu. Rambutnya setengah gundul, wajahnya bulat, coklat berkilat-kilat. Matanya bulat dan penuh semangat.
“Dari mana Pak?” tanya si gundul itu kepadaku, mendahului kakaknya.
“Hai, oh, aku jalan-jalan dari kampung ujung sana,” jawabku sambil tersenyum ramah, supaya mereka tak takut atau curiga.
“Ukur tanah?” tanya si gundul lagi.
“Oh, tidak, tidak, hanya berjalan-jalan cari angin. Kalian baru pulang sekolahkah?”
“Iya, Pak, saya tunggu kakak lantas kami pulang lah sama-sama,” jawab di gundul sembari berjalan di sisi kananku. Kakaknya berjalan mengikuti dari belakang dengan wajah yang masih agak takut.
“Di mana kalian bersekolah?” tanyaku kemudian.
“Di sana Pak, di depan.........,” jawab si gundul sambil mengacungkan tangannya tinggi-tinggi guna menunjukkan bahwa sekolahnya itu jauh letaknya.
“Di Babusalamkah?”
“Betul, Pak.”
Aku kini paham. Tempat itu cukup jauh, kira-kira empat kilometer dari tempat sekarang kami berada. Itu kalau mereka pergi lewat jalan semestinya. Kedua anak ini kukira telah memotong jalan lewat perkampungan, rawa-rawa serta tanah tandus seperti yang ada sekarang ini. Hanya berdua saja di tengah teriknya siang!
“Kamu namanya siapa?” tanyaku kepada si kecil.
“Namaku Adi Pak! Ini kakakku namanya Lilis,” jawabnya dengan suara lantang. Gadis cilik itu tersenyum, malu-malu sambil menunduk.
“Kamu duduk di klas berapa Lilis?” begitu aku bertanya padanya, sambil menggandengnya pakai tangan kiriku.
“Klas satu, Pak, tahun lalu aku tinggal klas,” jawabnya.
“Kalau aku klas empat Pak, belum pernah tinggal klas. Aku pandai Pak, kakakku sedikit bodoh,” kata si gundul tanpa ditanya.
“Eeeeeee...banyak cakap kau! Rasakan nanti kau di SLTP. Di sana pelajaran sulit, tahu tak kau....,” potong kakaknya.
“Memang kau bodoh..ueeek....dia tak pernah mau belajar Pak, selalu dimarah Bapak!” teriak si gundul bersungguh-sungguh.
“Bohong dia Pak, dialah yang sering hendak dipukul Bapak karena sering lambat pulang.....benar tak?”
Aku ketawa.
“Sudahlah tak baik kalian bertengkar. Tak ada gunanya. Kalian bersaudara, jadi harus baik-baik, saling tolong-menolong....,” ujarku menghibur. Aku benar-benar menikmati kepolosan dan ketulusan anak-anak ini. Mereka tak malu-malu dan berterus-terang. Doaku, tentu, keteruaterangan itu mereka bawa hingga kelak jika mereka jadi orang penting di negeri ini.
Kami berjalan terus hingga sampai di sebuah pohon yang kebetulan daunnya agak rindang. Aku mengajak mereka untuk berteduh sebentar. Si gundul masih saja mengoceh mengenai sekolahnya. Katanya, tahun lalu sekolahnya libur seminggu karena atap bangunannya runtuh ketika turun hujan angin berjam-jam. Beruntung sekali mereka, karena kejadian itu berlangsung petang hari menjelang malam, hingga tak ada lagi murid-murid di sana. Sedangkan Lilis mengadu tentang sebagian gurunya yang jarang datang ke sekolah. Para guru itu, begitu tutur Lilis, suka mengajar di beberapa tempat lain.
Kukeluarkan sebungkus permen yang berisi sepuluh biji dari bermacam-macam rasa, lalu kutawarkan pada mereka. Si gundul menyambutnya dengan mata berbinar-binar sedangkan Lilis menerimanya dengan agak malu-malu. Terbayang pada wajah mereka kesenangan luar biasa mengulum permen yang murah harganya itu. Mengharukan memang.
Kami berjalan lagi dan beberapa saat kemudian melewati suatu tempat pembuatan batu bata milik ayah Adi dan Lilis. Segera saja keduanya berlari menghampiri ayahnya yang tengah memotongi gumpalan lumpur bahan pembuat bata.
“Pak, aku diberi permen Bapak itu! Kakak dapat juga!” teriak si gundul jenaka.
Ayahnya tersenyum padaku sambil mengangkat gumpalan tanah liat ke luar dari lubang pengadukan.
“Silakan, Pak!” ujarnya ramah.
Aku lulu duduk di sebongkah batu di bawah pohon kelapa yang tumbuh di tepi kubangan itu.
“Begitulah Pak, nakal ‘kali anak-anak nih,” ujarnya lalu melemparkan gumpalan tanah ke dekat seorang perempuan, istrinya. Perempuan itu pun tertawa sambil mengaduk gumpalan tanah pemberian suaminya lalu ditaruhnya dengan sedikit dibanting di sebuah cetakan batu bata. Tangannya yang kurus ternyata terampil menekan-nekan adonan itu ke dalam cetakan tersebut, lalu setelah ruangan-ruangannya terisi padat, ia potong bagian atasnya dengan sebilah kayu tipis. Ketika cetakan itu diangkat, maka ada sepuluh batang batu bata tercetak di bawahnya. Perempuan itu lalu membasuh cetakan batanya dengan air di ember, lalu siap mencetak lagi. Berulang-ulang ia melakukannya.
Bapak Adi lalu berhenti mengaduk tanah liat, lalu memanjat ke luar dari kubangan itu.
“Wah, maaf, Pak, tangan aku kotor ‘kali nih,” ucapnya.
“Tak apa-apalah Pak, namanya juga kerja ‘kan,” jawabku kemudian.
“Yah, beginilah Pak, kerja kasar. Banyak tenaga keluar hasilnya sikit. Mau apa lagi Pak, kami ini tak ada pendidikan, SD pun tak tamat kami nih.”
“Sudahlah Pak, yang penting ‘kan halal dan anak-anak baik-baik, sehat semuanya,” begitulah aku menghibur pria yang kuyakini wajahnya tampak jauh lebih tua daripada umur sebenarnya. Si Adi kulihat langsung melepas baju seragam sekolahnya, dan berganti dengan celana lusuh yang digantungkannya di pasak tiang gubuk pembuatan bata orangtuanya. Tak lama kemudian ia sudah sibuk membantu mengangkati bata yang sudah agak keras ke luar, ke tempat penjemurannya. Sedangkan kakak perempuannya lalu membuka bungkusan besar yang ternyata berisi sebuah bakul. Rupanya mereka bersiap hendak makan siang.
“Marilah Pak, kita makan seadanya. Bapak sudah datang jauh-jauh tentunya perlu isi tenaga dululah,” ujar Bapak Adi dengan ramahnya. Aku tahu persis, di saat seperti itu kita tak boleh menolak tawaran mereka. Itu sebuah penghormatannya kepada orang lain, sehingga kalau ditolak, mereka tentu bersedih hati, atau bisa saja bathinnya terluka.
Jadilah aku makan bersama mereka. Nasi pera yang sulit untuk dikunyah serta sayuran yang direbus dan diberinya berbumbu. Lauknya ada ikan sepat kecil-kecil yang dipanggang. Bapak Adi bercerita minyak goreng pun belakangan sudah mahal.
“Aneh Pak. Di Riau ini banyak ‘kali perkebunan kelapa sawit, tapi harga minyak gorengnya nih, mahal ‘kali. Bagaimana pula kita ini Pak?” tanyanya yang tentu aku tak mampu menjawabnya.
Sungguh, baru kali ini aku merasakan nikmat makan yang sebenarnya, selama aku tinggal di Riau beberapa pekan ini. Semilir angin membasuh badan dari panasnya matahari, dan suasana tulus ikhlas memberi bumbu yang sedap pada masakan sederhana ini. Kulihat Adi begitu lahap mengunyah makanannya, sedangkan kakaknya – seperti juga Ibunya – lebih halus dan sesekali melayani Bapak dan aku juga.
Air minum dituang Ibu Adi dari botol plastik bekas air mineral dan dituangkannya ke cangkir yang sudah patah gagangnya. Terus terang untuk ukuranku – pria muda yang sedang gila makan – jumlah nasi yang kutelan masih menyisakan ruang di dalam lambungku. Tapi tentu aku tak bisa menambah makan lebih banyak lagi, lantaran khawatir mereka berempat tak akan kebagian makan malam nanti. Air di daerah ini agak keruh, apalagi di musim kemarau seperti sekarang ini. Tentu saja orang akan menjadi maklum kalau tahu bahwa daerah ini termasuk wilayah Kelurahan Air Jamban. Namanya sudah begitu kumuh, sekumuh kehidupan di sana. Begitu sumpek, menyesakkan dada.
Apa pun wujudnya, air itu kuminum dengan nikmat. Masalahnya tak ada lagi air yang lain, apalagi memimpikan air mineral atau air soda di tempat seperti ini.
“Pak, kalau mau istirahatlah di gubuk kami, tak jauh dari sini, biar anak-anak yang antarkan,” ujar Bapak Adi.
“Oh, terimakasih Pak, saya masih ingin melihat proses pembuatan bata di sini,” jawabku.
“Silahkan sajalah Pak, mudah-mudahan tak kepanasan di sini.”
Ah, biar di sini atau di gubuk mana pun letaknya, Riau tetap menyediakan hawa panas yang merepotkan bagi orang yang datang dari daerah pegunungan sepertiku. Kota Duri sudah seperti oven dapur. Dari atas kita diteriki matahari yang tepat berada di atas ubun-ubun, karena tak jauh dari lintasan garis katulistiwa, lantas hawa panas pun seolah muncul dari tanah yang kita pijak. Banyak orang yang percaya bahwa udara panas juga muncul dari dalam tanah karena di wilayah ini banyak terdapat sumur minyak, jumlahnya sampai ribuan.
Setelah beristirahat barang sebentar sambil menikmati rokok kretek yang kusodorkan, Bapak Adi beberapa saat kembali terjun ke kubangan tempat tanah liat bahan batu bata diolah. Bapak Adi, sahabat baruku itu, bercerita bahwa tanah di daerah ini sebenarnya kurang bagus untuk batu bata. Tapi mau apa lagi? Orang seolah kehabisan akal untuk mencari sesuap nasi, bahkan untuk yang pera seperti yang baru saja kumakan tadi.
Tapi orang-orang di Air Jamban itu punya akal yang jitu. Daripada mengolah tanah dengan tenaganya sendiri, mereka memakai jasa kerbau supaya lebih hemat tenaga. Dua ekor kerbau – hewan yang punya hobi berkubang – dibiarkan menginjak-injak lumpur di dalam lubang tanah dan diatur agar mereka mengaduk-aduk lumpur itu supaya lebih liat. Untuk itu, pembuat bata menyewa kerbau-kerbau dari orang lain selama setengah hari dengan bayaran tertentu.
Setelah liat, tanah itu diinjak-injak lagi sebentar oleh yang empunya lubang, kemudian bahan batu bata itu diangkat dan dicetak. Kalau cuaca sedang kering dan panas, maka dalam tempo dua hari batu bata itu siap untuk dibakar selama kurang lebih sehari semalam. Jika bata sudah matang, pembuatnya membiarkan dagangannya menumpuk sampai ada tengkulak datang menawarnya.
Paling-paling mereka mendapatkan uang sekitar sepuluh ribu rupiah per hari. Dan itulah biaya hidup Bapak Adi sekeluarga. Kalau hujan mengguyur daerah itu berhari-hari, maka sudah tak dapat disangkal lagi, mereka tak mampu membuat batu bata, tak akan ada penghasilan. Lantas hidup bertambah berat lagi serta godaan semakin besar.
“Berat, Pak. Kalau tak kuat-kuat nih iman, ikutlah kami dengan teman-teman kami yang sesat itu,” ujar Bapak Adi, beberapa waktu kemudian setelah berhenti mengangkati tanah liat.
“Yah, banyaklah Pak, teman-teman yang tergoda mencari besi-besi buat dijual,” ujarnya lagi. Ia menunjuk ke pompa-pompa minyak yang mengangguk-angguk bergantian.
Di sana, katanya ada logam-logam yang bisa diambil lalu dijual per kiloan kepada tengkulak yang datang ke sana. Ada kabel-kabel tembaga yang sering dipotong untuk kemudian dikumpulkan lantas dijual. Ada tutup instalasi listrik, barton chart, kabel reda, ada lagi aluminium tray tempat kabel-kabel disatukan, lalu transformator, tiang-tiang besi atau pagarnya sekalian. Check valve dan gate valve yang berukuran tiga sampai empat inchi sering disikat pula. Di kemudian hari aku dapat dengar bahwa dua alat terakhir ini berharga sekitar 40 dolar AS per buahnya. Sedangkan barton chart yang dipergunakan untuk mengalirkan air panas, bisa mencapai 400 dolaran.
“Saya sih tahu siapa-siapa yang jadi pancilok di sini, Pak, tapi buat apa saya ikut mencampuri urusan mereka? Paling-paling mereka memusuhi saya nantinya,” kata Bapak Adi dengan sungguh-sungguh.
Di musim paceklik, sejumlah warga di sana beralih membuat perkakas dari kayu. Ada kulihat rak-rak yang modelnya meniru furnitur knock down dari merk-merk terkenal. Ada juga yang kulihat membuat barang-barang dari bahan seng bekas.
“Tapi pasarannya seret jugalah Pak, sulit laku,” tutur Bapak Adi, “malahan batu bata pun belakangan sulit juga terasa Pak.” Pria itu menghela nafasnya dalam-dalam setelah menghembuskan segumpal asap rokok kretek Jie Sam Soe yang kuberikan padanya.
“Kalau saja pemerintah di sini nih, mau sikit saja membantu kami, misalkan pemasaran batu bata nih, tak usahlah kami repot-repot Pak,” tambahnya lagi. Selama ini mereka tak mampu membentuk koperasi untuk memasarkan batu bata atau perkakas kayu. Mereka akan kalah dengan perusahaan yang lebih besar yang mampu memberi komisi banyak kepada panitia pembelian barang-barang pemerintah.
Yang mereka sanggup sekarang ini, adalah melilitkan sabuk kelaparannya semakin dalam saja. Ada beberapa tempat ibadah di situ. Dan bila mereka sadar, berdoalah mereka di tempat-tempat semacam itu dan menghindari kemaksiatan, seperti mencuri misalnya.
Bagian dari wilayah Air Jamban ini seakan terlupakan oleh aparat pemerintahannya. Ada RT di sana ada RW pula di sana, dan mereka masih ditariki berbagai sumbangan desa. Tapi fasilitas dari pemerintah tak ada. Orang-orang itu memenuhi dirinya sendiri dengan segala akalnya, ada yang baik dan ada pula yang buruk.
Tak ada listrik. Yang ada hanyalah lampu minyak tempel atau petromaks seperti di warung Opung. Minyak di sana berharga antara 1.600 sampai 1.800 rupiah per liternya, lebih mahal dari harga di Pulau Jawa. Padahal, pompa minyaknya pun berada tak jauh dari tempat mereka tidur, hanya beberapa puluh meter saja. Malahan, pada pertengahan musim kemarau sebelumnya, minyak tanah tiba-tiba menjadi sulit didapatkan, dan barisan antrean pembeli minyak mengular tak jauh dari pipa minyak bumi.
Lalu adalah Tulang Sihol yang punya banyak akal. Ia membeli diesel generator kecil buatan RRC, lalu aliran listriknya dibagi-bagikannya kepada para tetangganya. Setiap rumah mendapatkan satu lampu ukuran lima Watt. Untuk itu per minggunya ia memungut tiga ribu rupiah. Tambah bola lampu akan menambah biaya sewa listrik ini pula. Celakanya, ketika genset itu beroperasi belum lagi tujuh bulan, pistonnya rusak dan kampung Adi kembali ke jaman kegelapan.
Kelihatannya satu-satunya orang yang amat peduli dengan kampung Adi itu hanyalah Apek, seorang warga keturunan Cina yang tiap hari rajin mengunjungi daerah kering itu. Ia mengendarai sebuah mobil Colt station yang lebih sering masuk ke bengkel dari pada masuk ke garasinya sendiri. Apek membawa barang dagangan kebutuhan warga Air Jamban. Ada rokok, tepung, gula, air mineral makanan kecil buat anak-anak, minuman botolan, air mineral dan lain-lainnya. Semuanya berharga murah, karena buatan lokal dengan merk yang aneh-aneh.
Kulihat Adi membeli minuman botolan di warung Opung. Minuman itu satu merk, tapi memiliki botol yang berbeda-beda. Di botol yang beraneka ragam itu dimasukkan cairan warna coklat mirip Coca Cola, lalu ditutup pakai prop dan di botol itu ditempeli merk yang mirip merk minuman botolan terkenal. Apek menjualnya Rp600 per botol kepada warung-warung di situ, dan pemilik warung menjualnya kepada warga seharga Rp1.000. Rasanya dahsyat luar biasa, membikin peminumnya bertambah haus dan bisa jadi pulang dengan batuk-batuk. Rasa manis dibuat dari gula biang (sakarin) yang bila kelebihan sedikit saja akan terasa pahit menyengat, dan aromanya sungguh mengerikan. Tapi hanya minuman seperti itulah yang mampu mereka beli.
Makanan kecilnya pun tak kalah menyeramkan pula. Wujudnya mirip pelet makanan ayam yang dipanggang sembarangan, dan keropos. Bau pengharumnya menyengat, dan lagi-lagi menggunakan pemanis buatan. Alangkah kasihannya anak-anak di sana itu.
Bapak Adi bercerita bahwa ia dan teman-temannya datang ke perbatasan wilayah PT Caltex itu sejak empat tahun lalu ketika krisis melanda ekonomi negeri kita. Ia dan keluarganya sudah putus asa untuk melangsungkan hidupnya. Kala itu ekonomi amatlah berat membebani keluarga sederhana itu dan mereka tak tahu harus berbuat apa. Daya tarik Riau yang gemerlap membawanya ia beserta istri dan dua anaknya yang masih kecil-kecil untuk mengadu nasib ke bumi Lancang Kuning tersebut dan terdamparlah ia di tepi selokan perusahaan minyak itu, menyelip di antara semak-semak perdu pinggiran hutan. Mereka membabati semak itu lantas mendirikan rumah gubuk mereka. Lantas hidup barunya dimulai walaupun tak ada ubahnya dengan keadaan di tempatnya yang dulu di ujung selatan Sumatra Utara.
Pria itu menceritakan, dirinya masih beruntung punya ketrampilan membuat perkakas dari kayu. Kalau saja tidak, katanya, ia tak ubahnya dengan teman-temannya yang suka mencuri barang-barang logam di kompleks perusahaan minyak. Berbagai cara mereka cari agar mendapatkan logam untuk bisa dijual. Para pegawai kontraktor yang suka nakal, terkadang membantunya dengan mengendorkan mur-mur atau baut dan membiarkannya hingga malam harinya untuk diambil temannya, tetangga kampung itu. Dan paginya mereka sudah ketawa-ketawa mendapat sabetan lumayan.
“Tak lah Pak, aku malu kalau harus ikut-ikut macam tuh,” kata Bapak Adi, “hidup jadi tak tenang, lantas apalah guna uang itu Pak?”
Aku kembali untuk kesekian kalinya menarik nafas panjang, panjang sekali lalu melempar pandanganku ke kejauhan sana, ke tempat pompa-pompa mengangguk-angguk menggali uang dari haribaan bumi Lancang Kuning. Uang yang selama dua tahun terakhir ini telah ikut memakmurkan negeri yang kaya raya, negeri kaum pujangga Abdul Kadir Munsyi serta Raja Ali Haji dan pahlawan-pahlawan perang seperti Hang Tuah, Hang Jebat dan lain-lainnya.
Tak terbayangkan olehku, kalau saja penyedotan minyak itu terganggu lantas apa yang terjadi dengan rakyat Riau? Bukankah penduduk seharusnya menjaga tambangnya itu agar hasilnya lebih besar dan anggaran pendapatan yang mereka dapat akan lebih besar lagi?
Tak terasa hari sudah mulai petang. Matahari mulai menukik ke kanopi langit sebelah barat. Aku duduk di sebuah bangku yang terbuat dari papan kayu, yang dipaku di pohon. Seorang demi seorang warga kampung kecil dan kumuh itu pulang ke rumah mereka. Ada yang menjinjing keranjang, dan ada pula yang menaruhnya di atas kepala mereka. Ketika melihat aku, seorang asing, reaksi mereka bermacam-macam. Ada yang biasa-biasa saja, ada yang menganggukkan kepala – yang tentu kubalas dengan anggukan dan senyuman – dan ada pula yang memandangku dengan sinar mata tak ramah. Mungkin kejemuan akan penderitaan membuatnya ia harus bercuriga kepada siapa saja. Atau karena ia merasa memiliki kesalahan yang ia simpan dan takut terbongkar oleh orang di luar lingkungannya, sepertiku, yang mungkin juga dikiranya aku ini seorang reserse. Di luar orang seperti ini, kuakui mereka sebenarnyalah ramah-ramah.
Petang itu semakin menggelap dan sudah pula terdengar suara genset dinyalakan orang. Beberapa detik kemudian, lampu-lampu kecil berpijaran di rumah-rumah gubuk itu. Sebuah kemewahan mereka sendiri. Rumah gubuk berfasilitas listrik, lima Watt. Dunia memang punya putarannya masing-masing. Dan di putaran kampung itu, lima Watt adalah luxury.
Bayangkan. Rumah-rumah itu dibuat dari kayu albasiah yang bertumbuhan di sana-sini. Atapnya dari daun kirai kering yang dianyam lalu ditumpuk bersap-sap di atasnya. Jendela adalah sebuah lubang di dinding kayu guna membiarkan sinar masuk sekedarnya dan juga biar angin sedikit menghibur raungan pengap itu.
Pada awalnya, kasur yang tersedia hanyalah hamparan tanah kuning coklat. Lalu ketika sekeping dua keping uang receh mereka dapatkan, orang-orang itu membeli tikar plastik sederhana. Supaya tidak masuk angin, katanya. Dan orang-orang yang hidup di tempat sekumuh itu pun mengenal ketakutan akan masuk angin. Masuk angin akan berarti sakit, dan tidak akan mampu bekerja. Artinya hari itu tak akan ada uang masuk. Artinya keluarganya akan kelaparan.
Jadi bukan hanya orang kaya-kaya saja yang takut setengah mati pada masuk angin, karena orang-orang dari Air Jamban pun ngeri pada penyakit itu walau dengan motif yang berbeda. Mereka takut tidak makan esok harinya. Orang kaya takut tak bisa berbelanja ke luar negeri.
Bunyi belalang atau pun cengkerik makin lama semakin riuh. Dan di kejauhan malam bertambah kelam saja, dan nampak pula kerlap-kerlip lampu proyek yang memompa minyak. Bapak Adi dan anak istrinya mungkin kini tengah istirahat, meluruskan lagi tulang-tulangnya yang pegal setelah bekerja seharian dan melemaskan lagi otot-otot yang kaku. Aku lantas berlalu berjalan di kegelapan.
“Ojek, Pak?” teriak seorang pemuda dari arah kegelapan.
“Baik. Berapa ke pasar?”
“Limo, Pak.”
“Tigo lah.”
“Ndak laaah dah malam kali ni.”
“Ayolah.”
Deru mesin dua tak sepeda motor tua itu menyedotku dari Air Jamban.
*******
Sebulan kemudian aku kembali ke kampung istimewa itu. Aneh, siang kali ini lebih panas, dan lebih sepi. Tak ada dua budak kecil berjalan berpanas-panas pulang ke rumah dari sekolah mereka. Kutemui kubangan yang pernah kusinggahi dulu kini telah kering dan mulai ditumbuhi rumput liar. Gubuknya pun telah rusak berat diterpa kekosongan. Rumah gubuk albasiah telah sepi, menganga berserakan. Opung berjalan mendekatiku. Di tangannya ada tas plastik kecil berwarna hitam.
“Orang itu sudah meninggal, Pak, sakit, kira-kira tiga minggu lalu,” kata Opung kepadaku, ketika ia melihatku termangu di depan gubuk Bapak Adi.
“Lalu ke mana keluarganya, Opung?” tanyaku padanya.
“Ah, pulanglah dia Pak. Mana tahan hidup di tempat seperti ini. Perempuan tua dengan dua anak pula. Aku dengar ke Kisaran mereka pulang......”
Aku kecewa dan juga sedih, lalu kusandarkan tubuhku ke tiang rumah yang kecil itu. Inilah hidup. Sebulan yang lalu ia menyambutku dengan keramahan yang tulus dan seminggu berikutnya ia meninggal karena sakit. Tak ada bayangan kesakitan atau kesengsaraan di wajah keluarga itu dulu, mereka begitu optimis menghadapi hari-hari yang berat menekan itu. Ia menjalani hidupnya dengan tawakal. Dalam hati aku bertanya-tanya. Mungkin ia diselamatkan oleh Tuhan supaya tidak menjadi pencuri, seperti beberapa kawannya yang tak mau ia sebutkan namanya.
Duri, Riau, Juni 2003.
Oleh Adji Subela
Ketika aku berdiri di gundukan tanah ini, lalu menghadap ke arah timur, tampaklah olehku sejalur jalan tikus yang berliku-liku, naik turun, berkelit-kelit di antara gundukan tanah coklat serta semak-semak meranggas. Jalan itu mirip ular tanah yang menggeliat-geliat menghindari panas terik matahari. Panas sekali memang udaranya kala itu.
Kemudian ketika aku menoleh ke kanan, tampak olehku sejumlah pompa angguk yang mengisapi minyak dari kandungan bumi. Mereka memompai benda cair itu tak kenal lelahnya siang maupun malam, tak hirau akan hujan angin ataupun terik matahari seperti siang yang gersang ini.
Kacamata rayban-ku seolah tak mampu meredam ganasnya sinar surya tersebut, apalagi kerongkonganku pun mulai meronta minta dibasahi sesuatu minuman. Pelan-pelan aku turuni gundukan tadi kemudian kususuri jalan tikus yang mengular tadi, juga pelan-pelan. Bagaimana pun juga hawa hutan belantara masih juga pekat menyodoki hidung. Masih ada aroma segar yang bisa kuhirup.
Baru saja aku berjalan kira-kira sepuluh ayun langkah, tiba-tiba dari balik gundukan tanah kuning coklat dan semak-semak kering di sebelah kanan, muncul seorang anak perempuan yang masih berseragam SLTP, putih-biru. Di pundaknya tergantung tas kumal yang nampaknya penuh diisi buku-buku oleh yang empunya. Demi melihat orang asing berjalan di tempat tersebut, si gadis cilik itu terkejut dan menghentikan langkah serta menatapku dengan pandangan penuh curiga. Melihat sikapnya ini, maka tahulah aku bahwa tempat ini nampaknya tidak cocok buat seorang pria sepertiku, seorang pria muda berperawakan atletis, berkulit hitam manis dan bercelana jeans biru serta kaus oblong serta rayban bertengger di wajah halus ini. Segera aku tersenyum kepadanya sambil melambaikan tangan.
“Halo! Apa kabar dik, baru pulang sekolah?” tanyaku dengan suara yang kubuat seramah mungkin. Tiba-tiba di belakang gadis cilik itu muncul pula seorang budak laki-laki yang berseragam sekolah dasar. Anak ini tampak lucu. Rambutnya setengah gundul, wajahnya bulat, coklat berkilat-kilat. Matanya bulat dan penuh semangat.
“Dari mana Pak?” tanya si gundul itu kepadaku, mendahului kakaknya.
“Hai, oh, aku jalan-jalan dari kampung ujung sana,” jawabku sambil tersenyum ramah, supaya mereka tak takut atau curiga.
“Ukur tanah?” tanya si gundul lagi.
“Oh, tidak, tidak, hanya berjalan-jalan cari angin. Kalian baru pulang sekolahkah?”
“Iya, Pak, saya tunggu kakak lantas kami pulang lah sama-sama,” jawab di gundul sembari berjalan di sisi kananku. Kakaknya berjalan mengikuti dari belakang dengan wajah yang masih agak takut.
“Di mana kalian bersekolah?” tanyaku kemudian.
“Di sana Pak, di depan.........,” jawab si gundul sambil mengacungkan tangannya tinggi-tinggi guna menunjukkan bahwa sekolahnya itu jauh letaknya.
“Di Babusalamkah?”
“Betul, Pak.”
Aku kini paham. Tempat itu cukup jauh, kira-kira empat kilometer dari tempat sekarang kami berada. Itu kalau mereka pergi lewat jalan semestinya. Kedua anak ini kukira telah memotong jalan lewat perkampungan, rawa-rawa serta tanah tandus seperti yang ada sekarang ini. Hanya berdua saja di tengah teriknya siang!
“Kamu namanya siapa?” tanyaku kepada si kecil.
“Namaku Adi Pak! Ini kakakku namanya Lilis,” jawabnya dengan suara lantang. Gadis cilik itu tersenyum, malu-malu sambil menunduk.
“Kamu duduk di klas berapa Lilis?” begitu aku bertanya padanya, sambil menggandengnya pakai tangan kiriku.
“Klas satu, Pak, tahun lalu aku tinggal klas,” jawabnya.
“Kalau aku klas empat Pak, belum pernah tinggal klas. Aku pandai Pak, kakakku sedikit bodoh,” kata si gundul tanpa ditanya.
“Eeeeeee...banyak cakap kau! Rasakan nanti kau di SLTP. Di sana pelajaran sulit, tahu tak kau....,” potong kakaknya.
“Memang kau bodoh..ueeek....dia tak pernah mau belajar Pak, selalu dimarah Bapak!” teriak si gundul bersungguh-sungguh.
“Bohong dia Pak, dialah yang sering hendak dipukul Bapak karena sering lambat pulang.....benar tak?”
Aku ketawa.
“Sudahlah tak baik kalian bertengkar. Tak ada gunanya. Kalian bersaudara, jadi harus baik-baik, saling tolong-menolong....,” ujarku menghibur. Aku benar-benar menikmati kepolosan dan ketulusan anak-anak ini. Mereka tak malu-malu dan berterus-terang. Doaku, tentu, keteruaterangan itu mereka bawa hingga kelak jika mereka jadi orang penting di negeri ini.
Kami berjalan terus hingga sampai di sebuah pohon yang kebetulan daunnya agak rindang. Aku mengajak mereka untuk berteduh sebentar. Si gundul masih saja mengoceh mengenai sekolahnya. Katanya, tahun lalu sekolahnya libur seminggu karena atap bangunannya runtuh ketika turun hujan angin berjam-jam. Beruntung sekali mereka, karena kejadian itu berlangsung petang hari menjelang malam, hingga tak ada lagi murid-murid di sana. Sedangkan Lilis mengadu tentang sebagian gurunya yang jarang datang ke sekolah. Para guru itu, begitu tutur Lilis, suka mengajar di beberapa tempat lain.
Kukeluarkan sebungkus permen yang berisi sepuluh biji dari bermacam-macam rasa, lalu kutawarkan pada mereka. Si gundul menyambutnya dengan mata berbinar-binar sedangkan Lilis menerimanya dengan agak malu-malu. Terbayang pada wajah mereka kesenangan luar biasa mengulum permen yang murah harganya itu. Mengharukan memang.
Kami berjalan lagi dan beberapa saat kemudian melewati suatu tempat pembuatan batu bata milik ayah Adi dan Lilis. Segera saja keduanya berlari menghampiri ayahnya yang tengah memotongi gumpalan lumpur bahan pembuat bata.
“Pak, aku diberi permen Bapak itu! Kakak dapat juga!” teriak si gundul jenaka.
Ayahnya tersenyum padaku sambil mengangkat gumpalan tanah liat ke luar dari lubang pengadukan.
“Silakan, Pak!” ujarnya ramah.
Aku lulu duduk di sebongkah batu di bawah pohon kelapa yang tumbuh di tepi kubangan itu.
“Begitulah Pak, nakal ‘kali anak-anak nih,” ujarnya lalu melemparkan gumpalan tanah ke dekat seorang perempuan, istrinya. Perempuan itu pun tertawa sambil mengaduk gumpalan tanah pemberian suaminya lalu ditaruhnya dengan sedikit dibanting di sebuah cetakan batu bata. Tangannya yang kurus ternyata terampil menekan-nekan adonan itu ke dalam cetakan tersebut, lalu setelah ruangan-ruangannya terisi padat, ia potong bagian atasnya dengan sebilah kayu tipis. Ketika cetakan itu diangkat, maka ada sepuluh batang batu bata tercetak di bawahnya. Perempuan itu lalu membasuh cetakan batanya dengan air di ember, lalu siap mencetak lagi. Berulang-ulang ia melakukannya.
Bapak Adi lalu berhenti mengaduk tanah liat, lalu memanjat ke luar dari kubangan itu.
“Wah, maaf, Pak, tangan aku kotor ‘kali nih,” ucapnya.
“Tak apa-apalah Pak, namanya juga kerja ‘kan,” jawabku kemudian.
“Yah, beginilah Pak, kerja kasar. Banyak tenaga keluar hasilnya sikit. Mau apa lagi Pak, kami ini tak ada pendidikan, SD pun tak tamat kami nih.”
“Sudahlah Pak, yang penting ‘kan halal dan anak-anak baik-baik, sehat semuanya,” begitulah aku menghibur pria yang kuyakini wajahnya tampak jauh lebih tua daripada umur sebenarnya. Si Adi kulihat langsung melepas baju seragam sekolahnya, dan berganti dengan celana lusuh yang digantungkannya di pasak tiang gubuk pembuatan bata orangtuanya. Tak lama kemudian ia sudah sibuk membantu mengangkati bata yang sudah agak keras ke luar, ke tempat penjemurannya. Sedangkan kakak perempuannya lalu membuka bungkusan besar yang ternyata berisi sebuah bakul. Rupanya mereka bersiap hendak makan siang.
“Marilah Pak, kita makan seadanya. Bapak sudah datang jauh-jauh tentunya perlu isi tenaga dululah,” ujar Bapak Adi dengan ramahnya. Aku tahu persis, di saat seperti itu kita tak boleh menolak tawaran mereka. Itu sebuah penghormatannya kepada orang lain, sehingga kalau ditolak, mereka tentu bersedih hati, atau bisa saja bathinnya terluka.
Jadilah aku makan bersama mereka. Nasi pera yang sulit untuk dikunyah serta sayuran yang direbus dan diberinya berbumbu. Lauknya ada ikan sepat kecil-kecil yang dipanggang. Bapak Adi bercerita minyak goreng pun belakangan sudah mahal.
“Aneh Pak. Di Riau ini banyak ‘kali perkebunan kelapa sawit, tapi harga minyak gorengnya nih, mahal ‘kali. Bagaimana pula kita ini Pak?” tanyanya yang tentu aku tak mampu menjawabnya.
Sungguh, baru kali ini aku merasakan nikmat makan yang sebenarnya, selama aku tinggal di Riau beberapa pekan ini. Semilir angin membasuh badan dari panasnya matahari, dan suasana tulus ikhlas memberi bumbu yang sedap pada masakan sederhana ini. Kulihat Adi begitu lahap mengunyah makanannya, sedangkan kakaknya – seperti juga Ibunya – lebih halus dan sesekali melayani Bapak dan aku juga.
Air minum dituang Ibu Adi dari botol plastik bekas air mineral dan dituangkannya ke cangkir yang sudah patah gagangnya. Terus terang untuk ukuranku – pria muda yang sedang gila makan – jumlah nasi yang kutelan masih menyisakan ruang di dalam lambungku. Tapi tentu aku tak bisa menambah makan lebih banyak lagi, lantaran khawatir mereka berempat tak akan kebagian makan malam nanti. Air di daerah ini agak keruh, apalagi di musim kemarau seperti sekarang ini. Tentu saja orang akan menjadi maklum kalau tahu bahwa daerah ini termasuk wilayah Kelurahan Air Jamban. Namanya sudah begitu kumuh, sekumuh kehidupan di sana. Begitu sumpek, menyesakkan dada.
Apa pun wujudnya, air itu kuminum dengan nikmat. Masalahnya tak ada lagi air yang lain, apalagi memimpikan air mineral atau air soda di tempat seperti ini.
“Pak, kalau mau istirahatlah di gubuk kami, tak jauh dari sini, biar anak-anak yang antarkan,” ujar Bapak Adi.
“Oh, terimakasih Pak, saya masih ingin melihat proses pembuatan bata di sini,” jawabku.
“Silahkan sajalah Pak, mudah-mudahan tak kepanasan di sini.”
Ah, biar di sini atau di gubuk mana pun letaknya, Riau tetap menyediakan hawa panas yang merepotkan bagi orang yang datang dari daerah pegunungan sepertiku. Kota Duri sudah seperti oven dapur. Dari atas kita diteriki matahari yang tepat berada di atas ubun-ubun, karena tak jauh dari lintasan garis katulistiwa, lantas hawa panas pun seolah muncul dari tanah yang kita pijak. Banyak orang yang percaya bahwa udara panas juga muncul dari dalam tanah karena di wilayah ini banyak terdapat sumur minyak, jumlahnya sampai ribuan.
Setelah beristirahat barang sebentar sambil menikmati rokok kretek yang kusodorkan, Bapak Adi beberapa saat kembali terjun ke kubangan tempat tanah liat bahan batu bata diolah. Bapak Adi, sahabat baruku itu, bercerita bahwa tanah di daerah ini sebenarnya kurang bagus untuk batu bata. Tapi mau apa lagi? Orang seolah kehabisan akal untuk mencari sesuap nasi, bahkan untuk yang pera seperti yang baru saja kumakan tadi.
Tapi orang-orang di Air Jamban itu punya akal yang jitu. Daripada mengolah tanah dengan tenaganya sendiri, mereka memakai jasa kerbau supaya lebih hemat tenaga. Dua ekor kerbau – hewan yang punya hobi berkubang – dibiarkan menginjak-injak lumpur di dalam lubang tanah dan diatur agar mereka mengaduk-aduk lumpur itu supaya lebih liat. Untuk itu, pembuat bata menyewa kerbau-kerbau dari orang lain selama setengah hari dengan bayaran tertentu.
Setelah liat, tanah itu diinjak-injak lagi sebentar oleh yang empunya lubang, kemudian bahan batu bata itu diangkat dan dicetak. Kalau cuaca sedang kering dan panas, maka dalam tempo dua hari batu bata itu siap untuk dibakar selama kurang lebih sehari semalam. Jika bata sudah matang, pembuatnya membiarkan dagangannya menumpuk sampai ada tengkulak datang menawarnya.
Paling-paling mereka mendapatkan uang sekitar sepuluh ribu rupiah per hari. Dan itulah biaya hidup Bapak Adi sekeluarga. Kalau hujan mengguyur daerah itu berhari-hari, maka sudah tak dapat disangkal lagi, mereka tak mampu membuat batu bata, tak akan ada penghasilan. Lantas hidup bertambah berat lagi serta godaan semakin besar.
“Berat, Pak. Kalau tak kuat-kuat nih iman, ikutlah kami dengan teman-teman kami yang sesat itu,” ujar Bapak Adi, beberapa waktu kemudian setelah berhenti mengangkati tanah liat.
“Yah, banyaklah Pak, teman-teman yang tergoda mencari besi-besi buat dijual,” ujarnya lagi. Ia menunjuk ke pompa-pompa minyak yang mengangguk-angguk bergantian.
Di sana, katanya ada logam-logam yang bisa diambil lalu dijual per kiloan kepada tengkulak yang datang ke sana. Ada kabel-kabel tembaga yang sering dipotong untuk kemudian dikumpulkan lantas dijual. Ada tutup instalasi listrik, barton chart, kabel reda, ada lagi aluminium tray tempat kabel-kabel disatukan, lalu transformator, tiang-tiang besi atau pagarnya sekalian. Check valve dan gate valve yang berukuran tiga sampai empat inchi sering disikat pula. Di kemudian hari aku dapat dengar bahwa dua alat terakhir ini berharga sekitar 40 dolar AS per buahnya. Sedangkan barton chart yang dipergunakan untuk mengalirkan air panas, bisa mencapai 400 dolaran.
“Saya sih tahu siapa-siapa yang jadi pancilok di sini, Pak, tapi buat apa saya ikut mencampuri urusan mereka? Paling-paling mereka memusuhi saya nantinya,” kata Bapak Adi dengan sungguh-sungguh.
Di musim paceklik, sejumlah warga di sana beralih membuat perkakas dari kayu. Ada kulihat rak-rak yang modelnya meniru furnitur knock down dari merk-merk terkenal. Ada juga yang kulihat membuat barang-barang dari bahan seng bekas.
“Tapi pasarannya seret jugalah Pak, sulit laku,” tutur Bapak Adi, “malahan batu bata pun belakangan sulit juga terasa Pak.” Pria itu menghela nafasnya dalam-dalam setelah menghembuskan segumpal asap rokok kretek Jie Sam Soe yang kuberikan padanya.
“Kalau saja pemerintah di sini nih, mau sikit saja membantu kami, misalkan pemasaran batu bata nih, tak usahlah kami repot-repot Pak,” tambahnya lagi. Selama ini mereka tak mampu membentuk koperasi untuk memasarkan batu bata atau perkakas kayu. Mereka akan kalah dengan perusahaan yang lebih besar yang mampu memberi komisi banyak kepada panitia pembelian barang-barang pemerintah.
Yang mereka sanggup sekarang ini, adalah melilitkan sabuk kelaparannya semakin dalam saja. Ada beberapa tempat ibadah di situ. Dan bila mereka sadar, berdoalah mereka di tempat-tempat semacam itu dan menghindari kemaksiatan, seperti mencuri misalnya.
Bagian dari wilayah Air Jamban ini seakan terlupakan oleh aparat pemerintahannya. Ada RT di sana ada RW pula di sana, dan mereka masih ditariki berbagai sumbangan desa. Tapi fasilitas dari pemerintah tak ada. Orang-orang itu memenuhi dirinya sendiri dengan segala akalnya, ada yang baik dan ada pula yang buruk.
Tak ada listrik. Yang ada hanyalah lampu minyak tempel atau petromaks seperti di warung Opung. Minyak di sana berharga antara 1.600 sampai 1.800 rupiah per liternya, lebih mahal dari harga di Pulau Jawa. Padahal, pompa minyaknya pun berada tak jauh dari tempat mereka tidur, hanya beberapa puluh meter saja. Malahan, pada pertengahan musim kemarau sebelumnya, minyak tanah tiba-tiba menjadi sulit didapatkan, dan barisan antrean pembeli minyak mengular tak jauh dari pipa minyak bumi.
Lalu adalah Tulang Sihol yang punya banyak akal. Ia membeli diesel generator kecil buatan RRC, lalu aliran listriknya dibagi-bagikannya kepada para tetangganya. Setiap rumah mendapatkan satu lampu ukuran lima Watt. Untuk itu per minggunya ia memungut tiga ribu rupiah. Tambah bola lampu akan menambah biaya sewa listrik ini pula. Celakanya, ketika genset itu beroperasi belum lagi tujuh bulan, pistonnya rusak dan kampung Adi kembali ke jaman kegelapan.
Kelihatannya satu-satunya orang yang amat peduli dengan kampung Adi itu hanyalah Apek, seorang warga keturunan Cina yang tiap hari rajin mengunjungi daerah kering itu. Ia mengendarai sebuah mobil Colt station yang lebih sering masuk ke bengkel dari pada masuk ke garasinya sendiri. Apek membawa barang dagangan kebutuhan warga Air Jamban. Ada rokok, tepung, gula, air mineral makanan kecil buat anak-anak, minuman botolan, air mineral dan lain-lainnya. Semuanya berharga murah, karena buatan lokal dengan merk yang aneh-aneh.
Kulihat Adi membeli minuman botolan di warung Opung. Minuman itu satu merk, tapi memiliki botol yang berbeda-beda. Di botol yang beraneka ragam itu dimasukkan cairan warna coklat mirip Coca Cola, lalu ditutup pakai prop dan di botol itu ditempeli merk yang mirip merk minuman botolan terkenal. Apek menjualnya Rp600 per botol kepada warung-warung di situ, dan pemilik warung menjualnya kepada warga seharga Rp1.000. Rasanya dahsyat luar biasa, membikin peminumnya bertambah haus dan bisa jadi pulang dengan batuk-batuk. Rasa manis dibuat dari gula biang (sakarin) yang bila kelebihan sedikit saja akan terasa pahit menyengat, dan aromanya sungguh mengerikan. Tapi hanya minuman seperti itulah yang mampu mereka beli.
Makanan kecilnya pun tak kalah menyeramkan pula. Wujudnya mirip pelet makanan ayam yang dipanggang sembarangan, dan keropos. Bau pengharumnya menyengat, dan lagi-lagi menggunakan pemanis buatan. Alangkah kasihannya anak-anak di sana itu.
Bapak Adi bercerita bahwa ia dan teman-temannya datang ke perbatasan wilayah PT Caltex itu sejak empat tahun lalu ketika krisis melanda ekonomi negeri kita. Ia dan keluarganya sudah putus asa untuk melangsungkan hidupnya. Kala itu ekonomi amatlah berat membebani keluarga sederhana itu dan mereka tak tahu harus berbuat apa. Daya tarik Riau yang gemerlap membawanya ia beserta istri dan dua anaknya yang masih kecil-kecil untuk mengadu nasib ke bumi Lancang Kuning tersebut dan terdamparlah ia di tepi selokan perusahaan minyak itu, menyelip di antara semak-semak perdu pinggiran hutan. Mereka membabati semak itu lantas mendirikan rumah gubuk mereka. Lantas hidup barunya dimulai walaupun tak ada ubahnya dengan keadaan di tempatnya yang dulu di ujung selatan Sumatra Utara.
Pria itu menceritakan, dirinya masih beruntung punya ketrampilan membuat perkakas dari kayu. Kalau saja tidak, katanya, ia tak ubahnya dengan teman-temannya yang suka mencuri barang-barang logam di kompleks perusahaan minyak. Berbagai cara mereka cari agar mendapatkan logam untuk bisa dijual. Para pegawai kontraktor yang suka nakal, terkadang membantunya dengan mengendorkan mur-mur atau baut dan membiarkannya hingga malam harinya untuk diambil temannya, tetangga kampung itu. Dan paginya mereka sudah ketawa-ketawa mendapat sabetan lumayan.
“Tak lah Pak, aku malu kalau harus ikut-ikut macam tuh,” kata Bapak Adi, “hidup jadi tak tenang, lantas apalah guna uang itu Pak?”
Aku kembali untuk kesekian kalinya menarik nafas panjang, panjang sekali lalu melempar pandanganku ke kejauhan sana, ke tempat pompa-pompa mengangguk-angguk menggali uang dari haribaan bumi Lancang Kuning. Uang yang selama dua tahun terakhir ini telah ikut memakmurkan negeri yang kaya raya, negeri kaum pujangga Abdul Kadir Munsyi serta Raja Ali Haji dan pahlawan-pahlawan perang seperti Hang Tuah, Hang Jebat dan lain-lainnya.
Tak terbayangkan olehku, kalau saja penyedotan minyak itu terganggu lantas apa yang terjadi dengan rakyat Riau? Bukankah penduduk seharusnya menjaga tambangnya itu agar hasilnya lebih besar dan anggaran pendapatan yang mereka dapat akan lebih besar lagi?
Tak terasa hari sudah mulai petang. Matahari mulai menukik ke kanopi langit sebelah barat. Aku duduk di sebuah bangku yang terbuat dari papan kayu, yang dipaku di pohon. Seorang demi seorang warga kampung kecil dan kumuh itu pulang ke rumah mereka. Ada yang menjinjing keranjang, dan ada pula yang menaruhnya di atas kepala mereka. Ketika melihat aku, seorang asing, reaksi mereka bermacam-macam. Ada yang biasa-biasa saja, ada yang menganggukkan kepala – yang tentu kubalas dengan anggukan dan senyuman – dan ada pula yang memandangku dengan sinar mata tak ramah. Mungkin kejemuan akan penderitaan membuatnya ia harus bercuriga kepada siapa saja. Atau karena ia merasa memiliki kesalahan yang ia simpan dan takut terbongkar oleh orang di luar lingkungannya, sepertiku, yang mungkin juga dikiranya aku ini seorang reserse. Di luar orang seperti ini, kuakui mereka sebenarnyalah ramah-ramah.
Petang itu semakin menggelap dan sudah pula terdengar suara genset dinyalakan orang. Beberapa detik kemudian, lampu-lampu kecil berpijaran di rumah-rumah gubuk itu. Sebuah kemewahan mereka sendiri. Rumah gubuk berfasilitas listrik, lima Watt. Dunia memang punya putarannya masing-masing. Dan di putaran kampung itu, lima Watt adalah luxury.
Bayangkan. Rumah-rumah itu dibuat dari kayu albasiah yang bertumbuhan di sana-sini. Atapnya dari daun kirai kering yang dianyam lalu ditumpuk bersap-sap di atasnya. Jendela adalah sebuah lubang di dinding kayu guna membiarkan sinar masuk sekedarnya dan juga biar angin sedikit menghibur raungan pengap itu.
Pada awalnya, kasur yang tersedia hanyalah hamparan tanah kuning coklat. Lalu ketika sekeping dua keping uang receh mereka dapatkan, orang-orang itu membeli tikar plastik sederhana. Supaya tidak masuk angin, katanya. Dan orang-orang yang hidup di tempat sekumuh itu pun mengenal ketakutan akan masuk angin. Masuk angin akan berarti sakit, dan tidak akan mampu bekerja. Artinya hari itu tak akan ada uang masuk. Artinya keluarganya akan kelaparan.
Jadi bukan hanya orang kaya-kaya saja yang takut setengah mati pada masuk angin, karena orang-orang dari Air Jamban pun ngeri pada penyakit itu walau dengan motif yang berbeda. Mereka takut tidak makan esok harinya. Orang kaya takut tak bisa berbelanja ke luar negeri.
Bunyi belalang atau pun cengkerik makin lama semakin riuh. Dan di kejauhan malam bertambah kelam saja, dan nampak pula kerlap-kerlip lampu proyek yang memompa minyak. Bapak Adi dan anak istrinya mungkin kini tengah istirahat, meluruskan lagi tulang-tulangnya yang pegal setelah bekerja seharian dan melemaskan lagi otot-otot yang kaku. Aku lantas berlalu berjalan di kegelapan.
“Ojek, Pak?” teriak seorang pemuda dari arah kegelapan.
“Baik. Berapa ke pasar?”
“Limo, Pak.”
“Tigo lah.”
“Ndak laaah dah malam kali ni.”
“Ayolah.”
Deru mesin dua tak sepeda motor tua itu menyedotku dari Air Jamban.
*******
Sebulan kemudian aku kembali ke kampung istimewa itu. Aneh, siang kali ini lebih panas, dan lebih sepi. Tak ada dua budak kecil berjalan berpanas-panas pulang ke rumah dari sekolah mereka. Kutemui kubangan yang pernah kusinggahi dulu kini telah kering dan mulai ditumbuhi rumput liar. Gubuknya pun telah rusak berat diterpa kekosongan. Rumah gubuk albasiah telah sepi, menganga berserakan. Opung berjalan mendekatiku. Di tangannya ada tas plastik kecil berwarna hitam.
“Orang itu sudah meninggal, Pak, sakit, kira-kira tiga minggu lalu,” kata Opung kepadaku, ketika ia melihatku termangu di depan gubuk Bapak Adi.
“Lalu ke mana keluarganya, Opung?” tanyaku padanya.
“Ah, pulanglah dia Pak. Mana tahan hidup di tempat seperti ini. Perempuan tua dengan dua anak pula. Aku dengar ke Kisaran mereka pulang......”
Aku kecewa dan juga sedih, lalu kusandarkan tubuhku ke tiang rumah yang kecil itu. Inilah hidup. Sebulan yang lalu ia menyambutku dengan keramahan yang tulus dan seminggu berikutnya ia meninggal karena sakit. Tak ada bayangan kesakitan atau kesengsaraan di wajah keluarga itu dulu, mereka begitu optimis menghadapi hari-hari yang berat menekan itu. Ia menjalani hidupnya dengan tawakal. Dalam hati aku bertanya-tanya. Mungkin ia diselamatkan oleh Tuhan supaya tidak menjadi pencuri, seperti beberapa kawannya yang tak mau ia sebutkan namanya.
Duri, Riau, Juni 2003.
Komentar
Posting Komentar