Artikel – 3
Jabatan, Komoditas Baru
Oleh F.X. Bachtiar
Ada komoditas baru dalam dunia perdagangan Indonesia yang booming dewasa ini: JABATAN.
Disebut barang dagangan karena tentu ada penjual dan pembelinya, yang menganut kaidah ekonomi yaitu: Kalau pembeli banyak dari yang dijual maka harga akan murah. Sebaliknya kalau yang dijual terbatas, semacam limited edition, maka harga akan mahal bahkan akan dilakukan cara lelang untuk menjaring pembeli dengan harga tertinggi.
Apakah jabatan terbatas? Ya! Mengapa? Karena memang sistem menetapkan begitu. Coba kalau jabatan presiden-wakil presiden ada 1.000, gubernur-wagub 50.000, walikota-wakilnya ada 1.000.000. apakah pembeli banyak? Jawabnya: Banyak sekali!Mengapa?
Pertama, karena JABATAN dianggap lapangan pekerjaan yang prestisius dan merupakan pintu menuju kualitas hidup yang jauh lebih baik.
Kedua, karena tingkat pengangguran sangat tinggi, mulai yang penganggur murni karena belum pernah mendapat kesempatan bekerja, penganggur karena kena PHK, dan mereka yang sebenarnya menurut usia tidak termasuk dalam golongan angkatan kerja misalnya para pensiunan, purnawirawan, mantan pejabat, dan sebagainya, tetapi masih sangat ingin mencapai kualitas hidup yang lebih baik.
Karena penganggur murni dan korban PHK tidak mungkin menyalurkan minatnya ke JABATAN karena harganya mahal maka mereka pilih yang harga ekonomis saja misalnya satpam Rp1 sampai Rp3 juta, TKI Rp5 sampai Rp20 juta, bintara Polri konon ,Rp30 juta.
Jadi siapa-siapa yang berminat membeli JABATAN? Mari kita mulai dulu dari penjualnya. Apakah negara yang menjual? Apakah rakyat?
Kalau bukan mereka lalu siapa si penjualnya? Ternyata ada yang jeli seperti jelinya pemulung yang melihat bahwa plastik bekas, koran bekas, botol bekas, besi bekas, kaleng bekas, bisa jadi komoditas yang menghasilkan uang hanya dengan modal tenaga dan kerajinan mengais timbunan sampah.
Apakah di penjual JABATAN juga bisa dimasukkan dalam kategori pemulung? Pasti tidak, karena pemulung harus bekerja keras berpanas-panas danberkotor-kotor sebelum bisa menjual hasil kaisannya, sedangkan penjual JABATAN tidak perlu berpayah-payah mencari/mengais dan menawarkan karena pembelinya berebut dan pasti beruang (baca: punya banyak uang) dan bahkan kelak di saat JABATAN itu habis masa berlakunya, maka yang akan jadi mantan pun siap untuk berebut membeli lagi bahkan dengan harga yang lebih mahal karena sudah banyak tabungan banyak sekali.
Si penjual adalah meeka yang betul-betul jeli memanfaatkan peluang membisniskan JABATAN yang tersedia gratis dan legal karena bukan barang curian atau selundupan. Berarti kalau harus ada yang salah pasti si pembeli.
Juga tidak! Bingung? Kenapa jadi salah kalau mekanisme untuk menjadi bakal calon pemangku JABATAN saja harus direstui oleh si penjual? Bisnis jual-beli JABATAN baru akan masuk ke wilayah pelanggaran hukum bila dalam tahap lanjutan terjadi tindakan pembeli membli suara atau mengintimidasi pemilih menjelang PILJABAT (Pemilihan Pejabat). Tahap berikutnya kalau pembeli setelah duduk pada JABATAN yang dibelinya melakukan korupsi untuk melunasi kewajiban pembayaran kepada penjual dan si penjual menerima pembayaran dengan uang hasil korupsi.
Bagaimana kalau si pembeli ternyata tidak terpilih padahal sudah setor “down payment” kepada penjual? Jawabannya: EGP..Emang Gue Pikirin. Silakan saja kedua pihak adu argumentasi tentnagn awal deal-nya. Mudah-mudahan paling banter kedua pihak menggunakan jasa pengaara profesional di jalur hukum yang sehat, bukannya mengerahkan pasukan debt collectors atau bodyguards baik preman maupun “aparat”.
Kesimpulannya, si penjual adalah wiraswastawan yang cerdik sedangkan si pembeli adalah investor yang berani tetapi maaf, STUPID.
Artikel tamu ini karya pengamat masalah sosial-politik, pertahanan, tinggal di Jakarta.
Jabatan, Komoditas Baru
Oleh F.X. Bachtiar
Ada komoditas baru dalam dunia perdagangan Indonesia yang booming dewasa ini: JABATAN.
Disebut barang dagangan karena tentu ada penjual dan pembelinya, yang menganut kaidah ekonomi yaitu: Kalau pembeli banyak dari yang dijual maka harga akan murah. Sebaliknya kalau yang dijual terbatas, semacam limited edition, maka harga akan mahal bahkan akan dilakukan cara lelang untuk menjaring pembeli dengan harga tertinggi.
Apakah jabatan terbatas? Ya! Mengapa? Karena memang sistem menetapkan begitu. Coba kalau jabatan presiden-wakil presiden ada 1.000, gubernur-wagub 50.000, walikota-wakilnya ada 1.000.000. apakah pembeli banyak? Jawabnya: Banyak sekali!Mengapa?
Pertama, karena JABATAN dianggap lapangan pekerjaan yang prestisius dan merupakan pintu menuju kualitas hidup yang jauh lebih baik.
Kedua, karena tingkat pengangguran sangat tinggi, mulai yang penganggur murni karena belum pernah mendapat kesempatan bekerja, penganggur karena kena PHK, dan mereka yang sebenarnya menurut usia tidak termasuk dalam golongan angkatan kerja misalnya para pensiunan, purnawirawan, mantan pejabat, dan sebagainya, tetapi masih sangat ingin mencapai kualitas hidup yang lebih baik.
Karena penganggur murni dan korban PHK tidak mungkin menyalurkan minatnya ke JABATAN karena harganya mahal maka mereka pilih yang harga ekonomis saja misalnya satpam Rp1 sampai Rp3 juta, TKI Rp5 sampai Rp20 juta, bintara Polri konon ,Rp30 juta.
Jadi siapa-siapa yang berminat membeli JABATAN? Mari kita mulai dulu dari penjualnya. Apakah negara yang menjual? Apakah rakyat?
Kalau bukan mereka lalu siapa si penjualnya? Ternyata ada yang jeli seperti jelinya pemulung yang melihat bahwa plastik bekas, koran bekas, botol bekas, besi bekas, kaleng bekas, bisa jadi komoditas yang menghasilkan uang hanya dengan modal tenaga dan kerajinan mengais timbunan sampah.
Apakah di penjual JABATAN juga bisa dimasukkan dalam kategori pemulung? Pasti tidak, karena pemulung harus bekerja keras berpanas-panas danberkotor-kotor sebelum bisa menjual hasil kaisannya, sedangkan penjual JABATAN tidak perlu berpayah-payah mencari/mengais dan menawarkan karena pembelinya berebut dan pasti beruang (baca: punya banyak uang) dan bahkan kelak di saat JABATAN itu habis masa berlakunya, maka yang akan jadi mantan pun siap untuk berebut membeli lagi bahkan dengan harga yang lebih mahal karena sudah banyak tabungan banyak sekali.
Si penjual adalah meeka yang betul-betul jeli memanfaatkan peluang membisniskan JABATAN yang tersedia gratis dan legal karena bukan barang curian atau selundupan. Berarti kalau harus ada yang salah pasti si pembeli.
Juga tidak! Bingung? Kenapa jadi salah kalau mekanisme untuk menjadi bakal calon pemangku JABATAN saja harus direstui oleh si penjual? Bisnis jual-beli JABATAN baru akan masuk ke wilayah pelanggaran hukum bila dalam tahap lanjutan terjadi tindakan pembeli membli suara atau mengintimidasi pemilih menjelang PILJABAT (Pemilihan Pejabat). Tahap berikutnya kalau pembeli setelah duduk pada JABATAN yang dibelinya melakukan korupsi untuk melunasi kewajiban pembayaran kepada penjual dan si penjual menerima pembayaran dengan uang hasil korupsi.
Bagaimana kalau si pembeli ternyata tidak terpilih padahal sudah setor “down payment” kepada penjual? Jawabannya: EGP..Emang Gue Pikirin. Silakan saja kedua pihak adu argumentasi tentnagn awal deal-nya. Mudah-mudahan paling banter kedua pihak menggunakan jasa pengaara profesional di jalur hukum yang sehat, bukannya mengerahkan pasukan debt collectors atau bodyguards baik preman maupun “aparat”.
Kesimpulannya, si penjual adalah wiraswastawan yang cerdik sedangkan si pembeli adalah investor yang berani tetapi maaf, STUPID.
Artikel tamu ini karya pengamat masalah sosial-politik, pertahanan, tinggal di Jakarta.
Komentar
Posting Komentar