Artikel-2
Capres tak bicara soal pengentasan PSK!
Oleh Adji Subela
Seorang perempuan pekerja seks komersial (PSK) di Tangerang tewas tenggelam di Sungai Cisadane akibat dirazia Satuan Polisi Pamong Praja baru-baru ini. Yang mengenaskan, para anggota Satpol PP itu dikabarkan tidak menolong, padahal korban tak bisa berenang.
Tragedi itu melengkapi nasib hitam PSK, ‘komoditas’ yang tak henti-hentinya dicaci, dijauhi, dinistakan, tapi juga diperlukan. Buktinya mereka tetap eksis dalam keadaan apa pun, menunjukkan permintaan (demand) akan jasanya tetap tinggi. Kelihatannya setelah dibayar persoalan selesai, dan kaum perempuan itu diuber-uber lagi. Siapa bisa menjamin bahwa di antara pria yang mencaci maki, menghina, menistakan, atau mengobrak-abrik praktik PSK itu bukan salah satu pelanggannya?
Persoalannya, jasa PSK hanya diperlukan untuk urusan syahwat liar sementara, dan setelah itu mereka tetap najis yang harus dikutuki, demi keyakinan agama, peraturan dan gengsi pria. Tabir pemisah antara diperlukan dan najisnya sangat tipis.
Masyarakat pun malu berdiskusi masalah ini, padahal persoalan itu ada, utuh wujudnya di depan mata, sehingga pemecahan persoalan prostitusi tetap tak pernah bulat. Eksistensi PSK abadi karena didorong sifat konsumennya yang cenderung poligamis, sisa budaya masa silam, selain tekanan ekonomi.
Larangan praktik prostitusi di negeri kita sudah ada sejak jaman kolonial Belanda. Gavin W. Jones dkk mengungkapkan dalam The Sex Sector (ILO, 1998), bahwa pada era 1600-an sudah ada larangan berzina bagi warga Belanda guna mencegah penularan penyakit kelamin. Tahun 1650 lebih maju lagi, pemerintah mendirikan semacam penjara bagi PSK. Berikutnya banyak aturan lainnnya sampai tahun 1913 diterbitkan Undang-undang Moralitas Publik hasil adopsi dari Negeri Belanda.
Usaha semacam itu juga gagal di Eropa. Kita kenal Abbaye yang diintrodusir di Prancis, juga usul Bernard Maudeville guna mendirikan bordil di Inggris di Abad Ke-XVII. Dalam perkembangannya sejumlah negara Eropa mengakui kegiatan prostitusi legal dan dikenai pajak pula, bukan membasminya.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat kegiatan prostitusi berkembang menjadi sektor ekonomi sendiri, baik resmi maupun tidak, berhubung banyaknya kesempatan kerja yang berkaitan dengannya. ILO dalam penelitiannya di tahun 1995 menemukan sirkulasi ekonomi sektor ini di Indonesia berkisar 1,2 hingga 3,3 milyar dolar AS (ibid). Kalau angka ini benar, itu jelas fakta hebat atau malah memalukan.
Yuyu A.N. Krisna di dasawarsa 70-an menulis buku Menyusuri Remang-remang Jakarta. Ia menemukan mayoritas PSK terpaksa menjalani profesi ini. Kelihatannya saat ini prostitusi sudah jadi pilihan sadar pelakunya, terutama di klas menengah ke atas dengan segala bentuk selubungnya. Banyak kasus yang menyimbolkan hal itu. Untuk kelas bawah pendorongnya disebut tetap akibat tekanan ekonomi, antara lain kurangnya pengetahuan-ketrampilan perempuan, di samping pemaksaan dan tipu daya.
Ketika buku Jakarta Undercover ditulis oleh Muamar, kondisinya PSK tetap, tapi modus makin canggih sesuai permintaan konsumen. Kongres Pelacur II di Brussels, Belgia, tahun 1986 menengarai, profesi sebagai PSK di negara maju umumnya karena pilihan sadar, sama derajatnya dengan profesi lainnya. Di dunia ketiga waktu itu, prostitusi diamati sebagai keterpaksaan, pengkhianatan, penipuan, dan penindasan. Nampaknya kecenderungan negara maju itu sudah menular ke Indonesia pula di awal Abad Ke-XXI ini, sedangkan ciri prostitusi negara Dunia Ketiga masih tetap berlangsung.
Kenapa masyarakat dari waktu ke waktu risih bicara masalah prostitusi secara terbuka? Padahal sejarah membuktikan kehidupan sejumlah pemimpin bangsa dekat dengan kaum PSK yang tentu saja klas atas. Filsuf kondang Socrates akrab dengan PSK bernama Aspasia. Perempuan ini berpengaruh dalam pemerintahan Yunani saat itu. Kaisar Romawi Claudius mengalaminya, begitu juga Raja Louis XV dari Prancis jatuh antara lain akibat ulah Madame du Barry. Banyak contoh lain di dunia yang menggambarkan antara harta, tahta, dan wanita memang dekat, bisa saling mendukung atau menjatuhkan. Evita Peron pernah menjalani masa kelam dalam hidupnya sebelum berhasil sadar dan menjadi ‘malaikat’ penyelamat rakyat miskin Argentina.
Jadi siapa bilang PSK itu nista, najis, tak bermartabat? Kelihatannya tergantung klasnya. Makin tinggi klas permainan PSK dan mampu menembus lingkaran kekuasaan, ia dianggap hebat, mungkin malah dipuji-puji dan dielu-elukan dan bisa jadi pahlawan. Pada tingkatan ini orang boleh bicara sambil melupakan latar belakang atau motivasi utama pelakunya.
Tapi bagi PSK klas cere, klas teri yang beroperasi di jalanan, jatahnya tetap saja yaitu dicaci maki, dinista, ‘diludahi’, diuber-uber. Mereka sering jadi korban kriminalitas, tewas terbunuh, dimutilasi dan jarang anggota keluarganya yang membelanya mati-matian, kendati hasil kerjanya mereka nikmati.
Masalah mereka persoalan kita juga, penyakit sosial yang harus dihadapi bersama. Selama ini mereka cukup ditangkapi, ‘dibina’, lalu dilepas untuk ditangkap lagi dalam razia berikutnya. Masalah utama PSK jalanan sudah jelas, yaitu faktor ekonomi. Mereka perlu pembinaan strategis dan tepat antara lain diberi kursus ekonomi seperti pendidikan kewirausahaan, modal, informasi yang cukup serta akses memadai guna memasarkan produk mereka, di samping pendidikan moral keagamaan. Jadi perlu pembinaan berkelanjutan. Kini sudah banyak LSM yang menangani mereka, yang kita harapkan menangani dengan tepat sehingga para PSK bermetamorfosis menjadi pengusaha yang mampu menarik kaumnya bekerja di jalur aman moral dan hukum.
Kita perlu bertanya berapa jumlah pengusaha yang mengentaskan kaum PSK untuk menjadi mitra binaannya dalam arti bersih dunia akhirat? Masalah prostitusi memang jelas ada di mata tapi kita pura-pura tak melihat. Jijik. Jadi tak usah dibicarakan terbuka, saru!
Oleh sebab itu kalau prostitusi tak pernah dibicarakan secara terbuka seperti halnya sektor-sektor lainnya, maka masih akan ruwet dan jatuh korban-korban lagi seperti di Tangerang.
Tanpa melihat potensi perputaran ekonominya (anggap saja mereka dalam posisi sebagai pengangguran), kenapa tidak ada usaha terbuka untuk membenahinya, sama seperti program pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Bahkan anggota DPR yang terhormat merasa tak terhormat untuk mengundang mereka dalam sidang dengar pendapatnya. Melihat perputaran ekonominya yang besar, sudah semestinya prostitusi menjadi masalah nasional, dibicarakan serius. Kegagalan negara-negara lain untuk mengatasi masalah ini bukan halangan tapi menjadi tantangan.
Dari wacana itu kita tak berharap prostitusi hilang, sebab sebagai profesi ia konon tertua di dunia. Paling tidak mari kita memandang prostitusi dengan kacamata baru, dengan terbuka, dan dan berhati nurani.
Jika tidak demikian, PSK tetap tersisih secara sosial, tertindas, tereksploitasi oleh orang-orang, bahkan dari oknum birokrat tingkat rendah yang menarik keuntungan dari perputaran ekonomi sektor ‘nista’ serta ‘menjijikkan’ ini.
Dalam program-program yang dijanjikan para capres tak ada yang menyinggung pengentasan PSK yang mungkin jumlahnya signifikan, apalagi dalam kesulitan ekonomi sekarang ini. Mungkin mereka jijik bicara soal saru satu ini sambil menutup mata sebelah [saja], padahal di tengah akibat krisis global maka sirkulasi uang di sex sector itu cukup signifikan, hingga perlu dimaknai macam apa prostitusi ini.
Tahun 1986 ada PSK klas tinggi Amerika, Norma Jean Almodovar, kampanye buat menjadi calon wakil Gubernur California. Mantan polisi yang libertarian ini bilang, antara pelacur dan politisi ada persamaannya. Katanya, siapa yang dapat dibayar dengan kekuasaan untuk berbuat apa saja, itu juga pelacuran namanya. Aduh, definisi itu keras sekali. Apa gara-gara itu masalah prostitusi tak pernah disentuh politisi secara terbuka?
Capres tak bicara soal pengentasan PSK!
Oleh Adji Subela
Seorang perempuan pekerja seks komersial (PSK) di Tangerang tewas tenggelam di Sungai Cisadane akibat dirazia Satuan Polisi Pamong Praja baru-baru ini. Yang mengenaskan, para anggota Satpol PP itu dikabarkan tidak menolong, padahal korban tak bisa berenang.
Tragedi itu melengkapi nasib hitam PSK, ‘komoditas’ yang tak henti-hentinya dicaci, dijauhi, dinistakan, tapi juga diperlukan. Buktinya mereka tetap eksis dalam keadaan apa pun, menunjukkan permintaan (demand) akan jasanya tetap tinggi. Kelihatannya setelah dibayar persoalan selesai, dan kaum perempuan itu diuber-uber lagi. Siapa bisa menjamin bahwa di antara pria yang mencaci maki, menghina, menistakan, atau mengobrak-abrik praktik PSK itu bukan salah satu pelanggannya?
Persoalannya, jasa PSK hanya diperlukan untuk urusan syahwat liar sementara, dan setelah itu mereka tetap najis yang harus dikutuki, demi keyakinan agama, peraturan dan gengsi pria. Tabir pemisah antara diperlukan dan najisnya sangat tipis.
Masyarakat pun malu berdiskusi masalah ini, padahal persoalan itu ada, utuh wujudnya di depan mata, sehingga pemecahan persoalan prostitusi tetap tak pernah bulat. Eksistensi PSK abadi karena didorong sifat konsumennya yang cenderung poligamis, sisa budaya masa silam, selain tekanan ekonomi.
Larangan praktik prostitusi di negeri kita sudah ada sejak jaman kolonial Belanda. Gavin W. Jones dkk mengungkapkan dalam The Sex Sector (ILO, 1998), bahwa pada era 1600-an sudah ada larangan berzina bagi warga Belanda guna mencegah penularan penyakit kelamin. Tahun 1650 lebih maju lagi, pemerintah mendirikan semacam penjara bagi PSK. Berikutnya banyak aturan lainnnya sampai tahun 1913 diterbitkan Undang-undang Moralitas Publik hasil adopsi dari Negeri Belanda.
Usaha semacam itu juga gagal di Eropa. Kita kenal Abbaye yang diintrodusir di Prancis, juga usul Bernard Maudeville guna mendirikan bordil di Inggris di Abad Ke-XVII. Dalam perkembangannya sejumlah negara Eropa mengakui kegiatan prostitusi legal dan dikenai pajak pula, bukan membasminya.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat kegiatan prostitusi berkembang menjadi sektor ekonomi sendiri, baik resmi maupun tidak, berhubung banyaknya kesempatan kerja yang berkaitan dengannya. ILO dalam penelitiannya di tahun 1995 menemukan sirkulasi ekonomi sektor ini di Indonesia berkisar 1,2 hingga 3,3 milyar dolar AS (ibid). Kalau angka ini benar, itu jelas fakta hebat atau malah memalukan.
Yuyu A.N. Krisna di dasawarsa 70-an menulis buku Menyusuri Remang-remang Jakarta. Ia menemukan mayoritas PSK terpaksa menjalani profesi ini. Kelihatannya saat ini prostitusi sudah jadi pilihan sadar pelakunya, terutama di klas menengah ke atas dengan segala bentuk selubungnya. Banyak kasus yang menyimbolkan hal itu. Untuk kelas bawah pendorongnya disebut tetap akibat tekanan ekonomi, antara lain kurangnya pengetahuan-ketrampilan perempuan, di samping pemaksaan dan tipu daya.
Ketika buku Jakarta Undercover ditulis oleh Muamar, kondisinya PSK tetap, tapi modus makin canggih sesuai permintaan konsumen. Kongres Pelacur II di Brussels, Belgia, tahun 1986 menengarai, profesi sebagai PSK di negara maju umumnya karena pilihan sadar, sama derajatnya dengan profesi lainnya. Di dunia ketiga waktu itu, prostitusi diamati sebagai keterpaksaan, pengkhianatan, penipuan, dan penindasan. Nampaknya kecenderungan negara maju itu sudah menular ke Indonesia pula di awal Abad Ke-XXI ini, sedangkan ciri prostitusi negara Dunia Ketiga masih tetap berlangsung.
Kenapa masyarakat dari waktu ke waktu risih bicara masalah prostitusi secara terbuka? Padahal sejarah membuktikan kehidupan sejumlah pemimpin bangsa dekat dengan kaum PSK yang tentu saja klas atas. Filsuf kondang Socrates akrab dengan PSK bernama Aspasia. Perempuan ini berpengaruh dalam pemerintahan Yunani saat itu. Kaisar Romawi Claudius mengalaminya, begitu juga Raja Louis XV dari Prancis jatuh antara lain akibat ulah Madame du Barry. Banyak contoh lain di dunia yang menggambarkan antara harta, tahta, dan wanita memang dekat, bisa saling mendukung atau menjatuhkan. Evita Peron pernah menjalani masa kelam dalam hidupnya sebelum berhasil sadar dan menjadi ‘malaikat’ penyelamat rakyat miskin Argentina.
Jadi siapa bilang PSK itu nista, najis, tak bermartabat? Kelihatannya tergantung klasnya. Makin tinggi klas permainan PSK dan mampu menembus lingkaran kekuasaan, ia dianggap hebat, mungkin malah dipuji-puji dan dielu-elukan dan bisa jadi pahlawan. Pada tingkatan ini orang boleh bicara sambil melupakan latar belakang atau motivasi utama pelakunya.
Tapi bagi PSK klas cere, klas teri yang beroperasi di jalanan, jatahnya tetap saja yaitu dicaci maki, dinista, ‘diludahi’, diuber-uber. Mereka sering jadi korban kriminalitas, tewas terbunuh, dimutilasi dan jarang anggota keluarganya yang membelanya mati-matian, kendati hasil kerjanya mereka nikmati.
Masalah mereka persoalan kita juga, penyakit sosial yang harus dihadapi bersama. Selama ini mereka cukup ditangkapi, ‘dibina’, lalu dilepas untuk ditangkap lagi dalam razia berikutnya. Masalah utama PSK jalanan sudah jelas, yaitu faktor ekonomi. Mereka perlu pembinaan strategis dan tepat antara lain diberi kursus ekonomi seperti pendidikan kewirausahaan, modal, informasi yang cukup serta akses memadai guna memasarkan produk mereka, di samping pendidikan moral keagamaan. Jadi perlu pembinaan berkelanjutan. Kini sudah banyak LSM yang menangani mereka, yang kita harapkan menangani dengan tepat sehingga para PSK bermetamorfosis menjadi pengusaha yang mampu menarik kaumnya bekerja di jalur aman moral dan hukum.
Kita perlu bertanya berapa jumlah pengusaha yang mengentaskan kaum PSK untuk menjadi mitra binaannya dalam arti bersih dunia akhirat? Masalah prostitusi memang jelas ada di mata tapi kita pura-pura tak melihat. Jijik. Jadi tak usah dibicarakan terbuka, saru!
Oleh sebab itu kalau prostitusi tak pernah dibicarakan secara terbuka seperti halnya sektor-sektor lainnya, maka masih akan ruwet dan jatuh korban-korban lagi seperti di Tangerang.
Tanpa melihat potensi perputaran ekonominya (anggap saja mereka dalam posisi sebagai pengangguran), kenapa tidak ada usaha terbuka untuk membenahinya, sama seperti program pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Bahkan anggota DPR yang terhormat merasa tak terhormat untuk mengundang mereka dalam sidang dengar pendapatnya. Melihat perputaran ekonominya yang besar, sudah semestinya prostitusi menjadi masalah nasional, dibicarakan serius. Kegagalan negara-negara lain untuk mengatasi masalah ini bukan halangan tapi menjadi tantangan.
Dari wacana itu kita tak berharap prostitusi hilang, sebab sebagai profesi ia konon tertua di dunia. Paling tidak mari kita memandang prostitusi dengan kacamata baru, dengan terbuka, dan dan berhati nurani.
Jika tidak demikian, PSK tetap tersisih secara sosial, tertindas, tereksploitasi oleh orang-orang, bahkan dari oknum birokrat tingkat rendah yang menarik keuntungan dari perputaran ekonomi sektor ‘nista’ serta ‘menjijikkan’ ini.
Dalam program-program yang dijanjikan para capres tak ada yang menyinggung pengentasan PSK yang mungkin jumlahnya signifikan, apalagi dalam kesulitan ekonomi sekarang ini. Mungkin mereka jijik bicara soal saru satu ini sambil menutup mata sebelah [saja], padahal di tengah akibat krisis global maka sirkulasi uang di sex sector itu cukup signifikan, hingga perlu dimaknai macam apa prostitusi ini.
Tahun 1986 ada PSK klas tinggi Amerika, Norma Jean Almodovar, kampanye buat menjadi calon wakil Gubernur California. Mantan polisi yang libertarian ini bilang, antara pelacur dan politisi ada persamaannya. Katanya, siapa yang dapat dibayar dengan kekuasaan untuk berbuat apa saja, itu juga pelacuran namanya. Aduh, definisi itu keras sekali. Apa gara-gara itu masalah prostitusi tak pernah disentuh politisi secara terbuka?
Komentar
Posting Komentar