Warga
di ibukota sudah terbiasa dengan berbagai macam jenis soto. Biasanya
jenis soto itu dikaitkan pada nama daerah misalnya soto Lamongan,
soto Surabaya, soto Madura, soto Padang, soto Kudus, soto Banjar,
soto Sokaraja, soto Bandung, soto Semarang, soto Kediri, dan
lain-lainnya. Mereka memiliki ciri-ciri khusus yang berkait dengan
nama tempat tadi. Dari jenis ini ada soto Tegal yang bisa disebut
tauto, yang sangat berbeeda dengan lainnya. Kalau yang lain umumnya
berkuah jernih, tauto keruh karena diberi tauco sehingga rasanya
khas, agak jauh berbeda dengan rekan-rekannya
Jenis
yang sudah disebutkan tadi adalah soto yang tidak memakai santan
dalam kuahnya. Di daerah Kutoarjo, Solo, dan sebagian Jawa Timur di
sebelah barat terkadang disebut pula sebagai saoto. Ada beberapa
jenis soto lainnya yang menggunakan santan misalnya soto Betawi.
Tapi
pernahkah Anda mendengar tentang soto Blitar? Bagi mereka yang
berasal dari kota tempat makam Bung Karno tentu tahu. Tapi jenis ini
belum populer sekali.
Nah,
di Depok, tepatnya di Jalan Margonda di sebelah barat di sisi barat,
ada warung kecil terselip di antara toko-toko atau kios lainnya.
Warung ini bernama Sakti menawarkan soto Blitar. Marilah kita masuk
sekedar mencicipi soto ini. Ketika disajikan, kita yang biasa
menikmati soto atau saoto tak akan kaget benar. Sosoknya tetap sama
seperti soto tanpa santan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kuahnya bening ditaburi toge kecil, sedikit soun, irisan-irisan
daging sapi dan ditaburi bawang merah goreng serta seledri.
Angkring atau pikulan soto yang khas. |
“Ini
‘kan saoto..,” komentar teman saya. Memang hampir tak ada bedanya
dengan saoto atau soto Sokaraja, Kediri, dan sejenisnya. Rasanya pun
tak banyak bedanya.
Penulis
ingat ketika masih duduk di SR (sekarang SD) pernah diajak orang tua
mampir warung soto di pinggir alun-alun Blitar yang ketika itu teduh
di bawah kerindangan pohon beringin serta kenari. Rasanya sotonya
memang mirip seperti yang ada di Margonda, Depok, tapi seingat
penulis soto di Blitar bumbunya lebih tegas. Jadi mungkin gaya
personal masing-masing pemasak yang membedakannya.
Tentu
saja sama seperti soto-soto di daerah Jateng dan Jatim, penyajiannya
di dalam mangkok kecil dan dicampur dengan nasi. Maka namanya adalah
nasi soto. Setiba di Jakarta mereka berkompromi dengan pasar dan
menawarkan campur atau dipisah. Dapat dipastikan jika pemesan memilih
campur, itu artinya dia berasal dari dua provinsi itu.
Apa
pun gaya soto alias saoto tersebut semuanya pasti enak ketika kita
nikmati saat kita betul-betul lapar di hari siang yang panas. Maka
semangkuk kecil soto apa pun juga memberi semangat lagi.
Komentar
Posting Komentar