Pesona
kota Paris, Prancis, tak habis-habisnya membius para pelukis,
penulis, dramawan, perancang mode, penggemar minyak wangi, dan masih
banyak lagi termasuk … pemimpi! Dan Gill Pander, seorang penulis
pemula asal California, adalah salah seorang di antaranya. Paris yang
sexy itu merangsang imajinasi dan seluruh nuraninya hingga ia abaikan
calon istrinya, Inez, yang kaya raya, perempuan yang justru
mengajaknya berlibur ke “ibukota seni” dunia itu untuk
mendapatkan kebebasan hidup dan fantasinya.
Gill
yang pemimpi tak suka dunia glamour pacarnya, dan membiarkan dirinya
larut ke remang malam Paris yang penuh inspirasi. Seperti cerita
Cinderella, malam romantis Paris itu baginya dimulai ketika lonceng
jam besar gereja memukul-mukul tanda jam 12 malam. Dan tiba-tiba saja
ia sudah dijemput mobil pemuda tampan dan kemudian bertemu dengan
sejumlah seniman besar dunia. Ada Pablo Picasso, ada Ernest
Hemingway, Degas, Cole Porter, Jean Belmonte, T.S. Elliot dan masih
banyak lagi, dan tentu saja Amanda si jelita.
Di
ruang fantasinya itu ia mendapat kritik Hemingway yang pemabuk, dan
mendapatkan pengarahan dari Poglar. Ia pun senang bertemu dengan
pelukis surrealis Salvador Dali. Paris di tengah malam ia cecapi
sepenuh hati hingga ia lupa adanya sang calon istri. Tentu saja
terjadi ketegangan antara si pemimpi dan calon istri yang sangat
Amerika. Calon mertua pun harus mengerahkan detektif swasta guna
menguntit Gill Pander pada tengah malam dan hasilnya malah tak ada
kabar berita darinya.
Paris
sebuah magnet
Paris
seperti
magnet dan benar-benar telah menyelingkuhi Gill hingga ia
berkeputusan untuk tetap tinggal di kota romantik itu dan membiarkan
hubungannya dengan Inez putus. Malam-malam indah Paris menggiring
Gill ke tepi Sungai Seine. Pendar-pendar pantulan sinar lampu di
pinggirnya begitu tenang, damai, seperti hati Gill Pander yagn sudah
menemukan sorga inspirasinya. Kebahagiaan itu lengkap ketika bertemu
dengan gadis Prancis dari kalangan biasa yang sering ditemuinya di
toko barang seni. Maka hujan yang mengguyur Paris di tengah malam tak
membuatnya beringsut dari tekad semula untuk tinggal di sana. Ia
pulang bersama si gadis.
Halus
tapi tetap menawan
Film
diawali establishing
shot
keindahan dan sekaligus ciri kota Paris seperti menara Eiffel, Arc
d’Triomphe, Monmartre, Place de la Concorde, museum Louvre dan
lainnya, diambil cut-to-cut
4 (empat) detik per shot. Adegan pun dibuat dengan gaya konvensional,
salah satu ciri sineas lama. Owen Wilson yang memerankan Gill Pander
yang ‘Pandir’ cukup berhasil menghidupkan karakter Gill yang agak
rapuh, kurang percaya diri dan gelisah dalam pencarian makna hidup.
Biasanya ia bermain dalam film bergenre komedi seperti di Shanghai
Noon
bersama Jakcy Chan dan lain-lainnya. Aktingnya mengesankan kali ini,
sayang tidak dilirik Oscar.Rachel McAdams yang berperan sebagai Inez
juga mampu mengangkat karakter perempuan muda Amerika yang ambisius,
penuh tekanan dan dikejar-kejar waktu serta target.
Bintang
pendukung lainnya seperti Andrien Broddy (The
Pianist)
sebagai Salvador Dali, Corey Stoll sebagai Hemingway ikut
menghidupkan film. Berbeda dengan The
Descendants
yang terlalu ‘sepi’, Midnight
in Paris
lumayan lincah. Woody Allem terkadang membuat shot panjang dengan
dialog panjang dan melibatkan empat pemain sekaligus. Sudah terbayang
bagaimana kesulitan mengelola adegan ini. Ini keberhasilan sineas
senior sekelas Woody Allen yang beberapa kali mendapatkan Oscar dan
penghargaan lainnya.
Film
drama halus berjudul Midnight
in Paris
ini ditulis skenarionya dan sekaligus disutradarai sineas kawakan
Woody Allen. Sayangnya film ini gagal meraih film terbaik, sutradara
terbaik, art director terbaik, dalam arena Oscar Februari lalu. Namun
Midnight
in Paris
merebut Oscar untuk skenario asli terbaik.
Komentar
Posting Komentar