Langsung ke konten utama

Mengenang Alexander Hutagalung











Legenda suntikan Mbah Galung, "mantri suntik" Ponorogo asal Sibolga

Oleh Adji Subela
Keluarga besar Mbah Galung dengan 10 anaknya. Paling kiri keponakannya
Orang Ponorogo yang berusia di atas 45 tahun umumnya kenal siapa Mbah Galung. Tokoh ini sangat populer sebagai mantri kesehatan di Kota Reog sejak jaman Jepang. Dia dikenal sebagai orang yang murah hati, penyabar, dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya. Jiwa sosialnya sangat tinggi sehingga dia dicintai orang-orang dari strata sosial bagian bawah.
Mbah Galung ini nama aslinya adalah Alexander Hutagalung, lahir di Sibolga, Sumut, tahun 1912. Ia menjadi orang Batak pertama – yang diketahui – yang datang dan menetap di Ponorogo, Jatim, dan beranak-pinak hingga sekarang di Kota Reog itu. Setelah perang kemerdekaan, baru menyusul keluarga Sitompul, pimpinan Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN). Salah seorang putranya adalah aktor watak Maruli Sitompul yang kini sudah almarhum. Seorang putranya yang lain adalah perwira tinggi kepolisian. Keluarga ini masih ada hubungan keluarga dengan Alexander Hutagalung dari garis ibu. Berikutnya keluarga Panggabean, Manurung dan Siahaan. Kedua orang yang terakhir ini dikabarkan pulang ke tanah leluhurnya di Sumut, akan tetapi ada anaknya yang menetap.

 Merantau ke Jatim sejak remaja cilik
Alexander Hutagalung sudah merantau ke Surabaya sejak klas satu sekolah menengah kesehatan di jaman kolonial. Di sana ia bertemu dan bersahabat dengan teman sekolahnya, gadis asal Wonorejo, Malang Selatan, yaitu Satiyem Legiman (lahir 1911). Keduanya menikah lantas “dibenum” (ditugaskan) ke daerah Ponorogo hanya beberapa saat sebelum Jepang masuk Indonesia.
Alex Hutagalung masa kecil
Tugas pertamanya adalah di Sumah Sakit (RS) Jarakan, kemudian pindah ke PMI, dan Di samping tugas pokoknya di Rumah Sakit Jarakan, Alexander Hutagalung membuka praktik pengobatan sore hari di sebuah rumah sewa di Jalan Sultan Agung. Mbah Galung ini merintis klinik bersalin Panti Wanita di jalan itu juga tahun 1956 bersama koleganya, Soedarman dan Soerojo. Pada tahun 2007 lalu klinik ini sudah menjadi RS Griyo Waluyo. Dalam praktiknya Mbah Galung tak pernah menentukan tarif. Kalau pun pasien datang tanpa membawa uang, dia malah memberinya uang untuk ongkos pulang. Karena sifat kedermawannya itu, ia sangat dikenal di kalangan bawah. Begitu populer dan dicintainya Alexander Hutagalung ini, maka ia pun mendapat nama panggilan kesayangan yaitu Mbah Galung itu tadi.

Penawar tangis bocah
Nama populer ini manjur untuk menenangkan bocah yang menangis. Begitu ibunya bilang: “Awas kalau enggak mau diam tak panggilkan Mbah Galung....”. Kontan anak itu diam. Umumnya takut kalau disuntik. Warga daerah tenggara kota seperti Siman, Tonatan, dan sekitarnya dulu memakai nama Mbah Galung untuk keperluan seperti itu.  
Akibat dari “ancaman” itu ketika anak-anaknya sakit dan dibawa ke Mbah Galung, mereka menangis menjerit-jerit. Anehnya saat berhadapan dengan Mbah Galung sendiri mereka tenang. Ini karena Mbah Galung sangat komunikatif dengan pasiennya.

Padi, jagung, singkong
            Karena Mbah Galung sering menggratiskan ongkos pengobatan, maka warga yang umumnya petani pada waktu itu punya cara untuk berterimakasih. Pada saat panen, mereka mengusung padi, kedelai, singkong, pisang, atau apa pun yang mereka tanam ke rumah asli Mbah Galung di Desa Tonatan. “Jadi biar pun kami tak punya sawah, tiap panen kami juga menjemur padi,” tutur Natigor, putra tunggal dari 12 anak-anak keluarga Alexander Hutagalung.
            Bukan hanya itu. Genteng rumah mereka juga sering penuh dengan singkong yang dijemur menjadi gaplek lantaran sudah sangking banyaknya hasil kiriman dari para pasien.

Mas Tulang
            Minus nama keluarganya, keluarga Alexander Hutagalung sudah jadi orang Ponorogo betul-betul. Panggilan mereka pada anak-anak saudaranya ya nduk, le, dan sebagainya seperti galibnya orang Ponorogo. Natigor yang terkadang dipanggil tulang (paman) oleh keponakannya, oleh warga setempat dipanggil Mas Tulang.
            Setiap hari mereka memakai bahasa Jawa logat Ponorogo, dan hidup sebagai layaknya orang daerah itu. Bahkan Natigor sering membantu pekerjaan di mesjid di dekat rumahnya walaupun dia sendiri penganut Nasrani. Oleh karena gereja Huriah Kristan Batak Protestan (HKBP) tidak ada, mereka beribadah ke Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW). Malahan Mbah Galung menjadi salah seorang perintis berdirinya gereja tersebut di Ponorogo. Semula mereka menyewa di gedung SMPN 1, kemudian pindah ke Jalan Argopuro. Maka kompletlah kejawaan mereka. Bahasa Batak masih mereka kenali berkat ayahnya tapi tidak pandai menggunakannya. Sedangkan generasi ketiga Hutagalung sudah tidak mengenal bahasa nenek moyang Opung (kakek) mereka.

“Legenda” kesehatan
            Mbah Galung seolah menjadi “legenda” di bidang kesehatan. Ketika pelayanan kesehatan kepada rakyat miskin sekarang ini masih amburadul, Mbah Galung sudah mempraktikkan pelayanan sosialnya sejak jaman Jepang.
            Para anak turun Mbah Galung kini masih banyak yang bermukim di wilayah Ponorogo serta kota-kota lain di Jawa Timur. Keluarga ini sebenarnya memiliki 12 orang anak, dua di antaranya sudah berpulang saat masih kecil, lalu 28 orang cucu, 22 orang cicit dan sudah memiliki 3 (tiga) orang canggah, yaitu anak dari cicit.
            Mbah Galung meninggal dunia April 1985, mengikuti istrinya yang sudah mendahuluinya Agustus 1975. Rest in Peace.



Komentar

  1. siiippp tenan ... Saya termasuk cucu dari Mbah Galoenk ... Horas !!! Risna Deniarta

    BalasHapus
  2. terima kasih kepada keluarga besat Hutagalung yang telah ikut merawat saya sejak kecil.sungguh bangga bisa menjadi bagian kecil dari keluaga hutagalung.
    terutama bisa meneruskan jejak mbah galung di bidang kesehatan(menjadi perawat).

    horasss

    retno susanti

    BalasHapus
  3. Terima kasih Bpk. Adji atas biografi ortu saya yang telah anda tulis, semoga Tuhan selalu menyertai Keluarga dan mendapat berkat melimpah. Tigor Hutagalung.

    BalasHapus
  4. saya juga termasuk Penerus mbh Galung ..... Cu2 satu2nya BORGAL ( boru galung )

    BalasHapus
  5. kapan-kapan foto anggota keluarga besarnya boleh juga lo ditampilkan,,,,saya punya tp sedikit sekali heheheheheheh...terutama foto penerus keluarga hutagalung di tonatan.

    BalasHapus
  6. saya sering mendengar cerita tentang mBah Galung. Namun baru kali ini saya baru tahu siapa dan seperti apa sepak terjang beliau di dunia pengobatan Ponorogo.

    Matur sembah nuwun Bapak informasinya.
    salam.
    {pardi)

    BalasHapus
  7. Membaca kisah opung ini menggugah kisah tentang kebesaran hati,welas asih dan cinta kasih seorang manusia terhadap sesamanya. Opung merantau jauh dari tanah leluhurnya mengabdi utk masyarakat Ponorogo sebagai Mantri tanpa pamrih sejak sebelum era Kemerdekaan republik ini..

    Terima kasih Opung. Aku bangga jadi cucu opung dan diberi berkat Tuhan dengan memiliki tanggal bulan kelahiran yang sama seperti opung.

    Salam
    Erissa Hutabarat

    BalasHapus
  8. mbah buyutku sing iki terah top markotop,,,,

    BalasHapus
  9. Tolong investigasi juga bro apa Opung Galung tuh meariskan masakan khas Batak na niarsik.He..he..he..Memang wong Batak tuh mudah saja masuk di lingkungan apapun...

    BalasHapus
  10. Jangankan masakan "naniarsik" "naniura"pe diwariskan... bahkan "sangsang" dohot "Lapet", "ketupat" dll. bisa ... tergantung pesanan.

    BalasHapus
  11. nn mengatakan .............................
    Emang benar Opungku sakit banget waktu itu.......mknya pd bnyk yang kenal, walaupun sdh g ada...

    BalasHapus
  12. opungku yang satu ini pancen jempolan tenan................................
    walaupun orang BATAK tapi masih punya tata krama & berjiwa sosial tenan.........
    walau kadang kadang kejam sama anak2nya (tu kt ortuku lho).........wong aku belum lahir.....hehhe.....he....he. ..........

    BalasHapus
  13. Heh, inget lho, orangtua jaman dulu memang "kejam" tapi itu pendidikan buat kita untuk disiplin...sekarnag pasti pada tahu manfaatnya..termasuk pelajran dari Opung kita ini. Iya apa ora?

    BalasHapus
  14. ya betul kali em orang dul pd kejam2 pd anakx tp kebanyakan bnyk yg berhasil. bravo OPUNG.................

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par