Legenda suntikan Mbah Galung, "mantri suntik" Ponorogo asal Sibolga
Oleh Adji Subela
Keluarga besar Mbah Galung dengan 10 anaknya. Paling kiri keponakannya |
Mbah Galung ini nama
aslinya adalah Alexander Hutagalung, lahir di Sibolga, Sumut, tahun 1912. Ia
menjadi orang Batak pertama – yang diketahui – yang datang dan menetap di
Ponorogo, Jatim, dan beranak-pinak hingga sekarang di Kota Reog itu. Setelah
perang kemerdekaan, baru menyusul keluarga Sitompul, pimpinan Bank Koperasi
Tani dan Nelayan (BKTN). Salah seorang putranya adalah aktor watak Maruli
Sitompul yang kini sudah almarhum. Seorang putranya yang lain adalah perwira
tinggi kepolisian. Keluarga ini masih ada hubungan keluarga dengan Alexander
Hutagalung dari garis ibu. Berikutnya keluarga Panggabean, Manurung dan Siahaan.
Kedua orang yang terakhir ini dikabarkan pulang ke tanah leluhurnya di Sumut,
akan tetapi ada anaknya yang menetap.
Merantau ke Jatim sejak remaja cilik
Alexander Hutagalung
sudah merantau ke Surabaya sejak klas satu sekolah menengah kesehatan di jaman
kolonial. Di sana ia bertemu dan bersahabat dengan teman sekolahnya, gadis asal
Wonorejo, Malang Selatan, yaitu Satiyem Legiman (lahir 1911). Keduanya menikah
lantas “dibenum” (ditugaskan) ke daerah Ponorogo hanya beberapa saat sebelum
Jepang masuk Indonesia.
Alex Hutagalung masa kecil |
Tugas pertamanya
adalah di Sumah Sakit (RS) Jarakan, kemudian pindah ke PMI, dan Di samping
tugas pokoknya di Rumah Sakit Jarakan, Alexander Hutagalung membuka praktik pengobatan
sore hari di sebuah rumah sewa di Jalan Sultan Agung. Mbah Galung ini merintis
klinik bersalin Panti Wanita di jalan itu juga tahun 1956 bersama koleganya,
Soedarman dan Soerojo. Pada tahun 2007 lalu klinik ini sudah menjadi RS Griyo
Waluyo. Dalam praktiknya Mbah Galung tak pernah menentukan tarif. Kalau pun
pasien datang tanpa membawa uang, dia malah memberinya uang untuk ongkos
pulang. Karena sifat kedermawannya itu, ia sangat dikenal di kalangan bawah.
Begitu populer dan dicintainya Alexander Hutagalung ini, maka ia pun mendapat nama
panggilan kesayangan yaitu Mbah Galung itu tadi.
Penawar
tangis bocah
Nama populer ini
manjur untuk menenangkan bocah yang menangis. Begitu ibunya bilang: “Awas kalau
enggak mau diam tak panggilkan Mbah Galung....”. Kontan anak itu diam. Umumnya
takut kalau disuntik. Warga daerah tenggara kota seperti Siman, Tonatan, dan
sekitarnya dulu memakai nama Mbah Galung untuk keperluan seperti itu.
Akibat dari “ancaman”
itu ketika anak-anaknya sakit dan dibawa ke Mbah Galung, mereka menangis menjerit-jerit.
Anehnya saat berhadapan dengan Mbah Galung sendiri mereka tenang. Ini karena
Mbah Galung sangat komunikatif dengan pasiennya.
Padi,
jagung, singkong
Karena
Mbah Galung sering menggratiskan ongkos pengobatan, maka warga yang umumnya
petani pada waktu itu punya cara untuk berterimakasih. Pada saat panen, mereka
mengusung padi, kedelai, singkong, pisang, atau apa pun yang mereka tanam ke
rumah asli Mbah Galung di Desa Tonatan. “Jadi biar pun kami tak punya sawah,
tiap panen kami juga menjemur padi,” tutur Natigor, putra tunggal dari 12 anak-anak
keluarga Alexander Hutagalung.
Bukan
hanya itu. Genteng rumah mereka juga sering penuh dengan singkong yang dijemur
menjadi gaplek lantaran sudah sangking banyaknya hasil kiriman dari para
pasien.
Mas
Tulang
Minus
nama keluarganya, keluarga Alexander Hutagalung sudah jadi orang Ponorogo
betul-betul. Panggilan mereka pada anak-anak saudaranya ya nduk, le, dan sebagainya seperti galibnya orang Ponorogo. Natigor
yang terkadang dipanggil tulang (paman)
oleh keponakannya, oleh warga setempat dipanggil Mas Tulang.
Setiap
hari mereka memakai bahasa Jawa logat Ponorogo, dan hidup sebagai layaknya
orang daerah itu. Bahkan Natigor sering membantu pekerjaan di mesjid di dekat
rumahnya walaupun dia sendiri penganut Nasrani. Oleh karena gereja Huriah
Kristan Batak Protestan (HKBP) tidak ada, mereka beribadah ke Gereja Kristen
Jawi Wetan (GKJW). Malahan Mbah Galung menjadi salah seorang perintis
berdirinya gereja tersebut di Ponorogo. Semula mereka menyewa di gedung SMPN 1,
kemudian pindah ke Jalan Argopuro. Maka kompletlah kejawaan mereka. Bahasa Batak
masih mereka kenali berkat ayahnya tapi tidak pandai menggunakannya. Sedangkan
generasi ketiga Hutagalung sudah tidak mengenal bahasa nenek moyang Opung (kakek) mereka.
“Legenda”
kesehatan
Mbah
Galung seolah menjadi “legenda” di bidang kesehatan. Ketika pelayanan kesehatan
kepada rakyat miskin sekarang ini masih amburadul, Mbah Galung sudah
mempraktikkan pelayanan sosialnya sejak jaman Jepang.
Para
anak turun Mbah Galung kini masih banyak yang bermukim di wilayah Ponorogo
serta kota-kota lain di Jawa Timur. Keluarga ini sebenarnya memiliki 12 orang
anak, dua di antaranya sudah berpulang saat masih kecil, lalu 28 orang cucu, 22
orang cicit dan sudah memiliki 3 (tiga) orang canggah, yaitu anak dari cicit.
Mbah
Galung meninggal dunia April 1985, mengikuti istrinya yang sudah mendahuluinya
Agustus 1975. Rest in Peace.
siiippp tenan ... Saya termasuk cucu dari Mbah Galoenk ... Horas !!! Risna Deniarta
BalasHapusterima kasih kepada keluarga besat Hutagalung yang telah ikut merawat saya sejak kecil.sungguh bangga bisa menjadi bagian kecil dari keluaga hutagalung.
BalasHapusterutama bisa meneruskan jejak mbah galung di bidang kesehatan(menjadi perawat).
horasss
retno susanti
Terima kasih Bpk. Adji atas biografi ortu saya yang telah anda tulis, semoga Tuhan selalu menyertai Keluarga dan mendapat berkat melimpah. Tigor Hutagalung.
BalasHapussaya juga termasuk Penerus mbh Galung ..... Cu2 satu2nya BORGAL ( boru galung )
BalasHapuskapan-kapan foto anggota keluarga besarnya boleh juga lo ditampilkan,,,,saya punya tp sedikit sekali heheheheheheh...terutama foto penerus keluarga hutagalung di tonatan.
BalasHapussaya sering mendengar cerita tentang mBah Galung. Namun baru kali ini saya baru tahu siapa dan seperti apa sepak terjang beliau di dunia pengobatan Ponorogo.
BalasHapusMatur sembah nuwun Bapak informasinya.
salam.
{pardi)
Membaca kisah opung ini menggugah kisah tentang kebesaran hati,welas asih dan cinta kasih seorang manusia terhadap sesamanya. Opung merantau jauh dari tanah leluhurnya mengabdi utk masyarakat Ponorogo sebagai Mantri tanpa pamrih sejak sebelum era Kemerdekaan republik ini..
BalasHapusTerima kasih Opung. Aku bangga jadi cucu opung dan diberi berkat Tuhan dengan memiliki tanggal bulan kelahiran yang sama seperti opung.
Salam
Erissa Hutabarat
mbah buyutku sing iki terah top markotop,,,,
BalasHapusTolong investigasi juga bro apa Opung Galung tuh meariskan masakan khas Batak na niarsik.He..he..he..Memang wong Batak tuh mudah saja masuk di lingkungan apapun...
BalasHapusJangankan masakan "naniarsik" "naniura"pe diwariskan... bahkan "sangsang" dohot "Lapet", "ketupat" dll. bisa ... tergantung pesanan.
BalasHapusnn mengatakan .............................
BalasHapusEmang benar Opungku sakit banget waktu itu.......mknya pd bnyk yang kenal, walaupun sdh g ada...
opungku yang satu ini pancen jempolan tenan................................
BalasHapuswalaupun orang BATAK tapi masih punya tata krama & berjiwa sosial tenan.........
walau kadang kadang kejam sama anak2nya (tu kt ortuku lho).........wong aku belum lahir.....hehhe.....he....he. ..........
Heh, inget lho, orangtua jaman dulu memang "kejam" tapi itu pendidikan buat kita untuk disiplin...sekarnag pasti pada tahu manfaatnya..termasuk pelajran dari Opung kita ini. Iya apa ora?
BalasHapusya betul kali em orang dul pd kejam2 pd anakx tp kebanyakan bnyk yg berhasil. bravo OPUNG.................
BalasHapusIkut bahagia mengenang alm/almh bpk+ibu Hutagalung sebagai mitra pelayanan dlm Tuhan dan sesamanya dari ortu kami alm/almh bpk+ibu Soedarman.
BalasHapus